FILSAFAT & SOSIOLOGI PERUBAHAN SOSIAL SEBUAH PENGANTAR: RETHINGKING TEORI PERUBAHAN SOSIAL1

FILSAFAT & SOSIOLOGI PERUBAHAN SOSIAL SEBUAH PENGANTAR: RETHINGKING TEORI PERUBAHAN SOSIAL1

Hand-Out 01
FILSAFAT & SOSIOLOGI PERUBAHAN SOSIAL

SEBUAH PENGANTAR: RETHINGKING TEORI PERUBAHAN SOSIAL1

Prawacana
Sudah lama dirasakan adanya jurang yang memisahkan antara dunia teoretis dari kalangan akademisi yang mem bicarakan teori perubahan sosial maupun paradigma pem bangunan dan dunia para praktisi perubahan sosial untuk keadilan sosial (social justice) yang bekerja di dalam berbagai aksi maupun proyek perubahan sosial bersama kelompok- kelompok marginal seperti kaum buruh, para petani dan nelayan, perempuan miskin di pedesan, maupun anak jalanan serta masyarakat adat di berbagai daerah. Terdorong oleh keinginan untuk menjembatani dialog antara teori dan praktik perubahan sosial di akar rumput, maka suatu refleksi kritis ini disistematisasikan dan dinarasikan sebagai bahan yang memfasilitasi terjadinya perenungan dan pembangkitan kesadaran kritis para teoritisi maupun praktisi lapangan. Se bagai suatu refleksi, tulisan ini tidak berpretensi menjadi acuan teoretik mengenai teori perubahan sosial. Tulisan ini ditulis karena didorong oleh keinginan untuk membuka ruang dialog kritik ideologi terhadap proses dan teori perubahan sosial, bukan ditulis dari hasil studi akademik dari kalangan universitas, melainkan lebih banyak refleksi dari aksi dan dialog yang panjang dari bahan bacaan yang diperoleh secara tidak sistematik maupun hasil refleksi dari keterlibatan dengan berbagai program bersama rakyat di akar rumput di dunia selatan.
Meskipun demikian, tulisan ini memang tidak dimaksud untuk memberikan uraian teoretik tentang teori perubahan sosial dan pembangunan. Akan tetapi, lebih didasarkan pada refleksi terhadap pengalaman dan pengamatan penulis serta sejumlah aktivis pergerakan sosial di Indonesia, untuk merefleksikan kaitan teori-teori perubahan sosial dan praktik lapangan pro gram-program pemberdayaan mayarakat serta dorongan untuk menghentikan kecenderungan ketimpangan dalam dunia teori sosial dalam pengertian semakin kuatnya monopoli informasi dan pengetahuan oleh kalangan akademisi elitis, yakni mereka yang mempunyai kesempatan luas untuk mem baca, membahas, dan mendiskusikan paradigma dan berbagai teori pembangunan di dalam lingkungan universitas, semen tara mereka yang bekerja di masyarakat, yakni aktivis sosial dan organisasi sosial kemasyarakatan yang terjun ke masya rakat untuk melakukan aksi sosial, tetapi tidak memiliki ke sempatan untuk mempelajari berbagai teori tersebut di univer sitas. Dengan demikian, tulisan ini ditulis dengan keinginan ganda. Selain menyediakan bahan bacaan untuk khalayak umum dan aktivis lapangan tentang paradigma dan teori pem bangunan, juga didorong oleh suatu semangat untuk merobohkan anggapan bahwa urusan ideologi, paradigma, dan teori perubahan sosial hanya patut dan khusus dibaca, dipahami, dan dikontrol oleh kalangan akademisi dan birokrasi, dan tabu untuk dibaca oleh kalangan masyarakat biasa. Dengan kata lain, tulisan ini melakukan demistifikasi terhadap bahan kajian ilmiah untuk menjembatani jarak antara para aktivis lapangan dan berbagai paradigma dan teori ilmu sosial di univeritas.
Selain itu, semangat penulisan tulisan ini juga didorong oleh adanya gejala timbulnya kerancuan teoretik dan para digmatik dari banyak aktivis lapangan. Yang dimaksudkan dengan kerancuan teoretik ini adalah persoalan yang dihadapi oleh mereka yang bekerja untuk melakukan perubahan sosial di lapangan, yakni para pekerja sosial masyarakat, baik kalangan aktivis lapangan ornop maupun tokoh keagamaan, yang tanpa disadari telah menggunakan dasar teoretik dan visi ideologis mengenai suatu perubahan sosial yang menjadi landasan dan aktivitas praktis sehari-hari, tetapi sesungguhnya hakekat teori yang sedang dipraktikkannya tersebut secara teoretik bertolak belakang dengan tujuan yang mereka cita -citakan. Dengan demikian, tuntutan akan perlunya pema haman mengenai paradigma dan berbagai teori perubahan sosial yang mereka jadikan pijakan untuk mengidentifikasi, memahami, dan menangani masalah-masalah kemasyarakat an semakin meningkat. Lemahnya visi ideologi dan teori mengenai perubahan sosial ini juga mempengaruhi metodologi yang diterapkan, seperti bagaimana banyak organisasi sosial menempatkan masyarakat sebagai obyek, padahal sementara itu bercita-cita melakukan pemberdayaan masyarakat. Demi kian halnya dalam merencanakan, menyusun, dan menetap kan program pengembangan masyarakat, maupun dalam mengevaluasi kegiatan tersebut. Kegiatannya banyak men cerminkan anti-pemberdayaan masyarakat. Ketidakjelasan visi dan teori ini tidak saja telah melahirkan inkonsistensi antara cita-cita dan teori yang digunakan, tetapi juga telah berakibat menghambat peran atau partisipasi masyarakat dalam perubahan sosial, yakni peranan masyarakat sipil (civil society) sebagai pelaku sejarah utama dalam upaya demokrati sasi ekonomi, politik, budaya, gender, serta aspek sosial lainnya.
Gejala kerancuan teoretik ini terlihat dalam bagaimana para aktivis sosial di lapangan mendefinisikan masalah kemasyarakatan dan memandang teori 'mainstream' per ubahan sosial pembangunan dewasa ini. Namun demikian, sesungguhnya di kalangan aktivis sosial telah timbul kesadar an akan perlunya secara kritis mempertanyakan kembali paradigma, teori, serta implikasinya terhadap metodologi dan teknik lapangan. Kegairahan di kalangan aktivis sosial untuk memahami berbagai teori politik ekonomi dan perubahan sosial dalam pendidikan politik dan advokasi mendorong penulis untuk segera merampungkan tulisan teori perubahan sosial ini.
Namun demikian, secara garis besar motivasi utama penyusunan tulisan ini didorong untuk memenuhi kebutuhan bacaan teoretis dan memfasilitasi perdebatan teoretik bagi mereka yang bekerja di lapangan. Secara umum tulisan ini merupakan pengkajian teoretis dan mendasar, membahas kerangka ideologi, paradigma, dan teori tentang perubahan sosial, yang diharapkan mampu memacu pembaca untuk me refleksikan kegiatan lapangan mereka dengan berbagai ideo logi dan aliran teori perubahan sosial. Selain itu tulisan ini juga merupakan refleksi kritik terhadap posisi teoretik berbagai teori yang dominan tentang perubahan sosial dan pembangun an. Kritik ini diharapkan akan memberikan bekal teoretik bagi pembaca, khususnya yang terlibat dalam proses per ubahan sosial dan yang sedang memikirkan paradigma alternatif perubahan sosial. Terakhir, secara khusus tulisan ini disajikan bagi aktivis lapangan untuk mendorong mereka melakukan refleksi dan dialog tentang berbagai teori per ubahan sosial sebagai bagian dari aktivitas lapangan sehari- hari.

Sebuah Refleksi Teoretik bagi Aktivis Sosial
Maksud terutama penyusunan tulisan ini adalah dalam rangka memfasilitasi para praktisi untuk melakukan refleksi terhadap aksi yang selama ini mereka lakukan di tingkat akar rumput. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa seorang aktivis lapangan atau praktisi perubahan sosial dalam memperjuang kan "social justice", politik dan ekonomi yang demokratis, serta pengembangan masyarakat menuju masyarakat adil sejah tera sangat membutuhkan teori sebagai acuan, refleksi, maupun motivasi. Tugas utama suatu teori sosial pada dasar nya tidak sekedar memberi makna terhadap suatu realitas sosial sehingga memungkinkan lahimya kesadaran dan pe mahaman terhadap suatu realitas sosial. Akan tetapi, teori sosial juga bertugas untuk "mengubah realitas sosial" yang dianggapnya bermasalah dan tidak adil sehingga sampai sekarang masalah tersebut masih diperdebatkan. Tanpa disadari setiap pekerja dan aktivis sosial seperti guru, akivis sosial, wartawan, dan pemimpin agama terlibat dalam pertarungan teoretis secara nyata. Pertarungan tersebut berupa penerapan teori dalam kegiatan mereka sehari-hari dan tanpa disadari teori sosial juga memiliki dimensi penerapan. Dengan demikian, penulis berpendirian bahwa tugas ilmu sosial tidak sekedar mencoba memahami suatu realitas sosial, tetapi juga mengubahnya.
Berbagai teori sosial, ekonomi, politik, dan budaya lahir tidak saja dalam rangka pertarungan memberi makna terhadap suatu realitas sosial, tetapi juga berimplikasi pada perubahan sosial karena pada dasamya perubahan sosial dibangun di atas pemahaman teoretik dan suatu teori sangat berpengaruh dalam membentuk suatu program aksi di lapangan. Meskipun pada realitas sosial yang sama, dua teori selalu memberi makna berbeda atau bahkan bertolak belakang dan akibatnya akan membawa perubahan sosial secara berbeda pula. Misalnya saja dalam melihat hubungan 'buruh-majikan' satu teori me lihatnya sebagai hubungan yang 'saling menguntungkan', tetapi teori lain justru menganggapnya sebagai hubungan eksploitasi. Atas asumsi teoretik ini, bagaimana suatu perubahan hubungan masa depan antara buruh dan majikan akan diproyeksikan. "Rekayasa sosial" yang oleh satu teori dianggap sebagai ke harusan pendekatan, tetapi oleh teori lain justru dianggap sebagai suatu bentuk dominasi dan 'penindasan' dari ilmuwan sosial terhadap masyarakat. Perbedaan asumsi tersebut tidak saja mempengaruhi berbagai metode penelitian dan pendidikan sosial, tetapi juga membawa perbedaan visi dan orientasi hubungan antara ilmuwan sosial dan masyarakat dalam proses perubahan sosial. Dengan demikian, teori sosial membantu aktivis lapangan ataupun pekerja sosial untuk menyadari apa yang mereka lakukan serta kemana dan model apa suatu perubahan sosial akan dituju. Tanpa pemahaman akan teori ilmu sosial, dalam menjalankan program sosial ekonomi di masyarakat, seorang aktivis tidak saja bekerja tanpa visi dan orientasi, tetapi juga bisa melakukan kegiatan yang sesungguh nya bertentangan dengan keyakinannya. Seorang aktivis sosial akan selalu dihadapkan pada pilihan untuk memihak antara status quo dan perubahan; antara pertumbuhan dan keadilan; antara rekayasa sosial dan partisipasi, antara tirani dan demokrasi, dan seterusnya. Dalam kaitan itulah teori sangat membantu memahami relasi sosial secara kritis.
Dalam praktik lapangan, dewasa ini terdapat dua paham teori sosial yang kontradiktif yang melibatkan setiap pekerja sosial, yakni antara teori-teori sosial yang digolongkan pada "teori sosial regulasi" berhadapan dengan teori-teori sosial emansipatori atau juga yang dikenal dengan kritis. Teori sosial regulasi yang bersemboyan bahwa ilmu sosial harus mengabdi pada stabilitas, pertumbuhan, dan pembangunan, bersifat objektif serta secara politik netral dan bebas nilai. Dalam pandangan ini teori sosial dikontrol oleh teorisi sedangkan masyarakat dilihat hanya sebagai obyek pembangunan mereka. Pandangan teori sosial ini berhasil memunculkan kaidah 'rekayasa sosial' yang menempatkan masyarakat se bagai obyek para ahli, direncanakan, diarahkan, dan dibina untuk berpartisipasi menurut selera yang mengontrol. Teori sosial telah menciptakan birokrasinya: di mana teoretisi memiliki otoritas kebenaran untuk mengarahkan praktisi dan masyarakat. Dalam hubungan ini aktivis sosial lapangan dan masyarakat hanya diletakkan sebagai pekerja sosial tanpa kesadaran ideologis dan teoretis secara kritis.
Sementara itu, bagi aliran kritis tugas ilmu sosial justru melakukan penyadaran kritis masyarakat terhadap sistem dan struktur sosial 'dehumanisasi' yang membunuh kemanusiaan. Gramsci menyebut proses ini sebagaj upaya counter hegemoni. Proses dehumanisasi tersebut terselenggara melalui meka nisme kekerasan, baik yang fisik dan dipaksakan, maupun melalui cara penjinakan yang halus, yang keduanya bersifat struktural dan sistemik. Artinya, kekerasan dehumanisasi tidak selalu berbentuk jelas dan mudah dikenali. Kemiskinan struktural misalnya, pada dasarnya adalah suatu bentuk ke kerasan yang memerlukan analisis untuk menyadarinya. Bahkan, kekerasan sebagian besar terselenggara melalui proses hegemoni, yakni cara pandang, cara berpikir, ideologi, kebudayaan, bahkan 'selera' golongan yang mendominasi telah dipengaruhkan dan diterima oleh golongan yang di dominasi. Dengan begitu kegiatan sosial bukanlah arena netral dan apolitik. Kegiatan sosial tidaklah berada dalam ruang dan masa yang steril, tetapi merupakan kegiatan politik meng hadapi sistem dan struktur yang bersifat hegemonik.
Bagi paham kritis, dalam dunia yang secara struktural tidak adil, ilmu sosial yang bertindak tidak memihak, netral, objektif, serta berjarak atau detachment adalah suatu bentuk sikap ketidakadilan tersendiri, atau paling tidak ikut me langgengkan ketidakadilan. Paham ini menolak objektivitas dan netralitas ilmu sosial dengan menegaskan bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh dan tidak mungkin pernah netral. Oleh karena itu, teori sosial haruslah subjektif, memihak dan penuh atau sarat dengan nilai-nilai demi kepentingan politik dan ekonomi golongan tertentu. Teori ilmu-ilmu sosial, ter masuk juga paham kebudayaan dan pandangan keagamaan dalam paradigma kritis ini selalu memihak dan mengabdi demi kepentingan tertentu. Masalahnya, kepada golongan yang mana suatu teori sosial harus mengabdi. Itulah makanya, dalam pandangan ini, teori sosial dan praktik pengabdian masyarakat yang netral dan objektif, sementara masyarakat berada pada suatu sistem dan struktur sosial yang tidak adil dan dalam proses 'dehumanisasi', ilmuwan dan pekerja sosial dianggap menjadi tak bermoral karena ikut melanggengkan ketidakadilan.
Sesungguhnya sudah cukup lama diperdebatkan mengenai masalah objektivitas, hakikat, dan tugas ilmu sosial. Apakah teori sosial dan aktivis sosial harus netral, tidak memihak, ataukah harus mengabdi demi kepentingan tertentu seperti golongan lemah. Namun, dalam perspektif teori sosial kritis, ilmu sosial tidaklah sekedar diabdikan demi kepentingan golongan lemah dan tertindas, tetapi lebih mendasar daripada itu, teori sosial haruslah berperan dalam proses pembangkitan kesadaran kritis, baik yang tertindas maupun yang menindas, terhadap sistem dan struktur sosial yang tidak adil. Teori sosial harus mengabdi pada proses transformasi sosial yakni terciptanya hubungan (struktur) yang baru dan lebih baik. De ngan kata lain, dalam prespektif teori sosial kritis, ilmu sosial tidaklah sekedar memihak kepada yang tertindas dan yang termarjinalisasi belaka, tetapi lebih berusaha menciptakan ruang yang akan menumbuhkan kesadaran, baik bagi golongan menindas dan yang tertindas untuk menyadari bahwa mereka telah berada dalam sistem sosial yang tidak adil. Teori sosial harus membangkitkan kesadaran kritis. baik bagi yang men dominasi maupun yang didominasi, untuk perubahan menuju terciptanya suatu hubungan (struktur) dan sistem sosial yang secara mendasar lebih baik, yakni suatu sistem masyarakat tanpa eksploitasi, tanpa penindasan, tanpa diskriminasi, dan tanpa kekerasan. Dengan demikian, tugas teori sosial adalah memanusiakan kembali manusia yang telah lama mengalami dehumanisasi, baik yang menindas maupun yang ditindas.

Teori Perubahan Sosial dan Teori Pembangunan: Suatu Penjelasan
Umumnya orang beranggapan bahwa pembangunan adalah kata benda netral yang maksudnya adalah suatu kata yang digunakan untuk menjelaskan proses dan usaha untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, politik, budaya, infra struktur masyarakat, dan sebagainya. Dengan pemahaman seperti itu, 'pembangunan' disejajarkan dengan kata "perubah an sosial". Bagi penganut pandangan ini konsep pembangunan adalah berdiri sendiri sehingga membutuhkan keterangan lain, seperti, pembangunan model kapitalisme, pembangunan model sosialisme, ataupun pembangunan model Indonesia, dan seterusnya. Dalam pengertian seperti ini teori pembangun an berarti teori sosial ekonomi yang sangat umum. Pandangan ini menjadi pandangan yang menguasai hampir setiap dis kursus mengenai perubahan sosial.
Sementara itu, di lain pihak terdapat suatu pandangan lebih minoritas yang berangkat dari asumsi bahwa kata 'pem bangunan' itu sendiri adalah sebuah discourse, suatu pendirian, atau suatu paham, bahkan merupakan suatu ideologi dan teori tertentu tentang perubahan sosial. Dalam pandangan yang disebut terakhir ini konsep pembangunan sendiri bukanlah kata yang bersifat netral, melainkan suatu "aliran" dan ke yakinan ideologis dan teoretis serta praktik mengenai per ubahan sosial. Dengan demikian, dalam pengertian yang kedua ini pembangunan tidak diartikan sebagai kata benda belaka, tetapi sebagai aliran dari suatu teori perubahan sosial. Ber samaan dengan teori pembangunan terdapat teori-teori per ubahan sosial lainnya seperti sosialisme, dependensia, ataupun teori lain. Oleh karena itulah banyak orang menamakan teori pembangunan sebagai pembangunanisme (developmentalism). Dengan demikian pengertian seperi ini menolak teori-teori, seperti teori pembangunan berbasis rakyat, atau teori inte grated rural development, atau bahkan pembangunan berke lanjutan (sustainable development) dan merupakan alternatif dari pembangunanisme, melainkan variasi-variasi lain dari ideologi pembangunanisme.
Oleh karena itu, tulisan ini pada dasarnya lebih memfokus kan pembahasan mengenai seluk-beluk paradigma dan teori perubahan sosial, yakni teori tentang bagaimana suatu masya rakat berubah serta dinamika dan proses sekitar perubahan tersebut. Dengan demikian, teori dan kritik terhadap pem bangunan yang banyak dibahas dalam tulisan ini nanti, dalam hubungan ini dipahami dan diletakkan sebagai salah satu ideologi dan teori serta salah satu bentuk dari teori perubahan sosial. Dengan kata lain, salah satu dari teori perubahan sosial yang akan dibahas adalah teori pembangunan. Sebagai salah satu dari berbagai teori perubahan sosial, teori pembangunan, dewasa ini telah menjadi mainstream dan teori yang paling dominan mengenai perubahan sosial. Pembangunan sebagai salah satu teori perubahan sosial adalah fenomena yang luar biasa, karena sebuah gagasan dan teori begitu mendominasi dan mempengaruhi pikiran umat manusia secara global, ter utama di bagian dunia yang disebut sebagai "dunia ketiga". Gagasan dan teori pembangunan, bagi banyak orang bahkan mirip 'agama baru' yakni menjanjikan harapan baru untuk memecahkan masalah-masalah kemiskinan dan keterbela kangan bagi berjuta-juta rakyat di dunia ketiga.
Istilah pembangunan atau development tersebut kini telah menyebar dan digunakan sebagai visi, teori, dan proses yang diyakini oleh rakyat di hampir semua negara, khususnya dunia ketiga, dengan setelah diterjemahkannya ke dalam bahasa dengan menggunakan kata yang sesuai dengan bahasa lokal di masing-masing negara. Di negara-negara Amerika Latin, misalnya, kata ini disamakan dengan kata dessarollo. Bahkan, di negara yang belum memiliki bahasa nasional seperti Filipina, misalnya, kata yang digunakan untuk me lokalkan 'development' adalah dalam tiga bahasa daerah utama, yakni pang-unlad untuk bahasa Tagalok, sedang dalam bahasa Ilongo adalah Pag-uswag, dan dalam bahasa Ilocano menjadi progreso. Di Indonesia, kata development diterjemahkan dengan 'pembangunan'.
Kata 'pembangunan' menjadi diskursus yang dominan di Indonesia erat kaitannya dengan munculnya pemerintah an orde baru. Selain sebagai semboyan mereka, kata 'pem bangunan' juga menjadi nama bagi pemerintahan orde baru, hal itu bisa dilihat bahwa nama kabinet sejak pemerintahan orde baru selalu dikaitkan dengan kata 'pembangunan', mes kipun kata 'pembangunan' sesungguhnya telah dikenal dan digunakan sejak masa orde lama. Kata pembangunan dalam konteks orde baru, sangat erat kaitannya dengan discourse-de velopment yang dikembangkan oleh negara negara Barat. Uraian berikut mencoba melakukan penyelidikan secara kritis ter hadap discourse development, yang menjadi sumber dari dis kursus 'pembangunan' di Indonesia. Oleh karena itu, perhatian uraian ini tidaklah mengusahakan tinjauan dari segi bahasa, tetapi mencoba menstudi politik ekonomi dalam permulaan discourse development, dan bagaimana development disebar-serapkan ke dunia ketiga, serta hubungannya dengan diskursus 'pembangunan' di Indonesia sejak pemerintahan militer orde baru, yakni suatu pemerintahan militer selama 32 tahun, yakni sejak militer Indonesia mengambil alih kekuasaan Presiden Sukarno tahun 1967 hingga kejatuhan rezim militer ini oleh suatu revolusi sosial tahun 1998.
Namun, jika dilihat secara lebih mendalam dari pengerti an dasarnya, pembangunan merupakan suatu istilah yang dipakai dalam bermacam-macam konteks, dan seringkali di gunakan dalam konotasi politik dan ideologi tertentu. Ada banyak kata yang mempunyai persamaan makna dengan kata pembangunan, misalnya perubahan sosial, pertumbuhan, progres, dan modernisasi. Dari kata-kata tersebut hanya istilah perubahan sosial yang memberi makna perubahan ke arah lebih positif. Oleh karena makna pembangunan bergantung pada konteks siapa yang menggunakannya dan untuk kepen tingan apa, uraian mengenai pengertian pembangunan akan dilihat dari konteks sejarah bagaimana istilah tersebut di kembangkan.
Pertanyaan dasarnya adalah apakah konsep "pembangun an" itu adalah suatu kategori tersendiri, atau jenis dari suatu yeng lebih besar. Dalam tulisan ini penulis meletakkan pem bangunan sebagai suatu teori dibawah payung teori perubah an sosial. Dengan kata lain, salah satu bahasan dalam ilmu -ilmu sosial adalah masalah perubahan sosial. Banyak teori dan dimensi pendekatan perubahan sosial, di antaranya: dimensi evolusi dan revolusi sosialistik dan kapitalistik, dan dimensi -dimensi lainnya. Salah satu teori perubahan sosial tersebut adalah teori pembangunan. Lambat-laun, pembangunan sebagai teori berubah dan menjadi suatu pendekatan dan ideo logi, bahkan menjadi suatu paradigma dalam perubahan sosial. Selama orde baru, bahkan pembangunan oleh para birokrat dan akademisi diperlakukan lebih dari sekedar teori perubahan sosial. Selain berhasil menjadi ideologi orde baru, pembangunan juga dinamakan kabinet selama kekuasaan orde baru dibawah presiden Suharto.

Read More......
Template by : Kendhin x-template.blogspot.com