Sejarah Perkembangan Kapitalisme Indonesia
“Konsepsi materialis tentang sejarah dimulai dari proposisi bahwa produksi kebutuhan-kebutuhan untuk mendukung kehidupan manusia dan, di samping produksi, pertukaran barang-barang yang diproduksi, merupakan dasar dari semua struktur masyarakat; bahwa dalam setiap masyarakat yang telah muncul dalam sejarah, cara kekayaan didistribusi dan cara masyarakat dibagi ke dalam kelas-kelas atau tatanan-tatanan bergantung pada apa yang diproduksi, bagaimana itu diproduksi, dan bagaimana produk-produk itu dipertukarkan. Dari sudut pandang ini, sebab-sebab akhir dari semua perubahan sosial dan revolusi-revolusi politis mesti dicari, tidak dalam benak-benak manusia, tidak dalam wawasan manusia yang lebih baik akan kebenaran dan keadilan abadi, tetapi di dalam perubahan-perubahan dalam cara-cara produksi dan pertukaran. Itu semua mesti dicari, tidak dalam filsafat tetapi di dalam perekonomian satu epos tertentu.” (Engels, Anti-Duhring)
Sejarah Indonesia dan perubahan-perubahan sosial di dalamnya tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa melihat ke dalam perubahan-perubahan ekonomi yang telah dilaluinya di setiap tahapan. Sejarah Indonesia adalah satu sejarah yang terhubungkan secara dekat dengan perkembangan kapitalisme semenjak kelahirannya di abad ke-16. Oleh karena itu, untuk memahami kapitalisme di Indonesia sekarang ini, kita harus kembali sejauh jaman kolonial Belanda. Secara umum, kita dapat membagi tahapan sejarah Indonesia seperti berikut: koloni Belanda (1600-1945), perjuangan kemerdekaan (1945-1949), Orde Lama (1949-1965), Orde Baru (1965-1998), dan Reformasi 1998 dan sesudahnya (1998-sekarang)
Indonesia dan Kolonialisme Belanda
Sampai awal abad ke-20, tidak ada yang namanya Indonesia seperti dalam pengertian sekarang. Yang ada adalah sekelompok pulau antara sub-benua India dan Australia yang tersatukan secara longgar oleh ikatan kolonialisme Belanda. Kata “Indonesia” pertama kali digunakan sekitar tahun 1850 oleh para peneliti Inggris yang menganjurkan penggunaannya sebagai penamaan geografi, dan bukan sebagai rujukan bangsa-negara. Hanya pada awal tahun 1920an nama Indonesia mendapatkan arti politik. Sebelumnya, seluruh daerah yang mencakup Indonesia masa kini disebut sebagai Hindia Timur Belanda.
Semenjak penjajahan Belanda terhadap Indonesia, nasib Indonesia telah terhubungkan dengan perkembangan kapitalisme dunia. Oleh karena itu kita perlu menggunakan periode ini sebagai titik tolak analisa kita. 350 tahun kekuasaan Belanda atas Indonesia dapat dibagi menjadi tahapan-tahapan ekonomi sebagai berikut:
a. Periode V.O.C (1600-1800)
b. Periode “Kekacauan” dan “Ketidakpastian” (1800-1830)
c. Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) (1830-1870)
d. Periode Liberal (1870-1900)
e. Tahun-tahun Etis (1900-1930)
f. Depresi Hebat (1930-1940)
Tahapan-tahapan ini bersesuaian dengan perubahan-perubahan administratif, sosial, dan politik di Indonesia, Belanda, dan seluruh dunia. Oleh karena itu mustahil untuk mempelajari perkembangan ekonomi dan politik Indonesia terpisah dari Belanda dan Eropa. Pecahnya revolusi di Eropa (Pemberontakan Belanda, Revolusi Inggris, Revolusi Prancis, dan lalu Revolusi Rusia) mengubah jalannya sejarah di Indonesia.
Indonesia dan Revolusi Belanda
Sejarah kolonialisme di Indonesia adalah sejarah eksploitasi kapitalis imperialis. Bahkan yang lebih penting untuk dimengerti adalah bahwa penjajahan di Indonesia adalah yang pertama kali dilakukan oleh kaum borjuasi. Tidak dikenal dan dilupakan oleh kebanyakan kaum Marxis, revolusi borjuis yang pertama terjadi di Belanda dan bukan Inggris. Pemberontakan Belanda pada abad ke 16 (1568-1609) mungkin adalah revolusi borjuis “klasik” yang paling terabaikan. Walaupun Marx dan Engels hanya menulis beberapa kalimat yang terpencar-pencar mengenai Pemberontakan Belanda, jelas bahwa mereka mengakuinya sebagai salah satu momen penting dalam kebangkitan borjuis yang historis. Pada tahun 1848, Marx menulis “Model dari revolusi 1789 [Prancis] adalah revolusi 1648 [Inggris]; dan model untuk revolusi 1648 hanyalah pemberontakan Belanda melawan Spanyol [Pemberontakan Belanda].”[1]
Lagi di volume pertama Kapital, Marx menulis:
“Sejarah administrasi koloni Belanda – dan Belanda adalah model negara kapitalis di abad ke-17 – adalah ‘salah satu sistem pengkhianatan, penyuapan, pembantaian, dan kekejaman yang paling hebat.’ Tidak ada yang lebih karakteristik daripada sistem penculikan mereka, guna mendapatkan budak-budak dari Jawa. Para penculik dilatih untuk ini. Sang pencuri, penerjemah, dan penjual, adalah agen-agen utama dalam perdagangan ini, sang pangeran-pangeran pribumi sebagai penjual utama. Orang-orang muda diculik, dijebloskan ke penjara-penjara rahasia di Sulawesi, sampai mereka siap untuk dikirim ke kapal-kapal budak ... Dimanapun mereka memijakkan kaki, kehancuran dan penyusutan penduduk menyusul. Banyuwangi, sebuah propinsi di Jawa, pada tahun 1750 berpenduduk lebih dari 80.000 orang, pada tahun 1811 hanya 18.000. Perdagangan yang manis!”[2] [Penekanan dari penulis]
Marx menjelaskan bahwa “awal penaklukan dan penjarahan Hindia Timur ... menandai fajar indah dari era produksi kapitalis. Aktivitas ini adalah momentum utama dari akumulasi primitif.”[3]
Merebut perdagangan Asia dari tangan Spanyol dan Portugal yang telah menguasai samudera selama lebih dari satu abad membutuhkan sebuah investasi yang besar. Bagaimana Belanda yang saat itu penduduknya kurang dari satu juta mampu mengumpulkan kapital yang diperlukan? Solusi dari masalah ini melibatkan sebuah konsep organisasi bisnis yang baru: perusahaan saham-gabungan (joint-stock company), dan di sinilah kapitalisme moderen pertama kali menemukan aplikasinya.
Seorang ahli sejarah Belanda, George Masselman, menulis: “Ekonomi zaman pertengahan tidak membutuhkan kapital, seperti yang dicontohkan oleh gilda-gilda pedagang yang menghambat inisiatif pribadi dan kompetisi. Belanda yang sedang bangkit mengambil pandangan yang berbeda: mereka menginginkan perdagangan sebanyak mungkin ... Satu-satunya hal yang dapat menghambat seorang pedagang adalah kekurangan kapital. Tentu saya dia dapat bekerja sama dengan pedagang lainnya dan melakukan perdagangan bersama; atau dia dapat membujuk orang luar untuk menaruh uang kepadanya, menawarkan kepada mereka sebagian dari laba.”[4] Inilah awal dari perusahaan saham-gabungan kapitalis moderen. Contoh utamanya adalah VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau Perserikatan Perusahaan Hindia Timur) yang dibentuk pada tahun 1602 dengan kapital sekitar 6,5 juta guilders.[5]
VOC dibentuk ketika pemerintah Belanda memberikannya sebuah monopoli untuk melakukan aktivitas kolonial di Asia. Ini adalah perusahaan saham-gabungan multinasional pertama yang mengeluarkan saham publik. Pada pembentukannya, VOC membuka bursa saham pertama dunia, Bursa Saham Amsterdam, untuk memperdagangkan saham dan surat obligasinya. VOC memiliki otoritas quasi-pemerintah dimana ia mampu melakukan peperangan, merundingkan perjanjian perdamaian, mencetak uang, dan membentuk koloni.
Secara efektif, Hindia Timur selama dua abad tidaklah dijajah oleh Republik Belanda melainkan oleh sebuah perusahaan saham-gabungan, VOC. Cukup indikatif bahwa selama periode tersebut rakyat Hindia Timur menyebut penjajah mereka “kompeni” (dari nama VOC, Compagnie). Selama 2 abad selanjutnya, VOC menjadi perusahaan dagang yang paling penting di Eropa. Ia menciptakan monopoli di perdagangan rempah-rempah, terutama lada, kayu manis, dan cengkeh. Selama 90 tahun pertamanya, VOC meraup dividen sebesar 18,7% setiap tahunnya.[6
Pemberontakan Belanda menandai kebangkitan historis kaum borjuasi dan kolonialisasi Hindia Timur oleh VOC adalah basis dari akumulasi kapital primitif dari apa yang bisa kita sebut sebagai masyarakat borjuis pertama. Hasilnya jelas. Pada abad ke-17 Belanda adalah negara paling maju di Eropa. Marx menulis di Kapital: “Belanda, yang pertama kali mengembangkan sistem kolonial, pada tahun 1748 telah berdiri di puncak keagungan komersialnya ... Total kapital dari Republik [Belanda] barangkali lebih besar daripada total keseluruhan kapital di benua Eropa.”[7]
VOC memasuki periode kemunduran pada tahun 1692 dan akhirnya dibubarkan pada tahun 1798. Republik Belanda menanggung utang VOC, sebesar 134 juta guilders, dengan syarat bahwa VOC harus menyerahkan semua asetnya di Hindia. Dengan ini, Republik Belanda memperoleh sebuah koloni di Asia pada tahun 1798.[8]
Kemunduran VOC adalah manifestasi dari kemunduran Republik Belanda pada abad ke-18. Ini seperti yang ditulis oleh Marx: “Sejarah kemunduran Belanda sebagai negara komersial yang berkuasa adalah sejarah ketaklukan kapital perdagangan terhadap kapital industri.”[9] Pada abad ke-18, Belanda menyerahkan posisi hegemoninya ke Inggris. “Pada awal abad ke-18, manufaktur Belanda telah kalah. Belanda berhenti menjadi negara utama dalam perdagangan dan industri.”[10] Namun, perannya sebagai pedagang uang tetap penting sampai abad ke-19, dimana Belanda meminjamkan kapital yang sangat besar untuk Inggris. Kapital yang telah diakumulasi oleh Belanda melalui perdagangan berfungsi sebagai basis kebangkitan industri manufaktur di Inggris, seperti yang ditulis oleh Marx: “Salah satu usaha bisnis utamanya, oleh karena itu, dari tahun 1701-1775, adalah meminjamkan kapital yang sangat besar, terutama kepada musuh besarnya Inggris. Hal yang sama sekarang terjadi antara Inggris dan Amerika Serikat. Kapital yang besar, yang timbul hari ini di Amerika Serikat tanpa akta kelahiran sama sekali, kemarin ada di Inggris yang dikucurkan dari darah anak-anak.”[11] Jadi, kebangkitan yang cepat dan pendek dari Belanda sebagai sebuah negara pedagang kapitalis pada abad ke-17 adalah dasar untuk kebangkitan negara industri kapitalis, terutama Inggris.
Tahun-tahun “Kekacauan” dan “Ketidakpastian” (1800-1830)
Revolusi Hebat Prancis pada tahun 1789 melempar seluruh Eropa ke dalam satu kekacauan. Seluruh penduduk Republik Beladan terjangkiti semangat Revolusi Prancis, dan pada tahun 1795 sebuah revolusi popular pecah dan menyerukan pembentukan Republik Batavia yang pendek umurnya (1795-1806). Selama periode yang pendek ini, semangat Revolusi Prancis juga menjangkiti kebijakan kolonial dengan banyak gagasan, yang berdasarkan kebebasan berusaha dan liberalisme, bermaksud membawa semangat liberté, égalité, fraternité (kebebasan, kesamarataan, persaudaraan) ke rakyat pribumi Hindia Timur Belanda. Akan tetapi, semua ocehan dan rencana untuk memajukan rakyat pribumi, untuk membawa logika (reason) ke Hindia Timur yang primitf, tidak lain adalah sebuah “kerajaan borjuis yang ideal”.
Republik Batavia berakhir ketika Napoleon Bonaparte memasang sepupunya, Louis Bonaparte, sebagai Raja Belanda pada tahun 1806. Tahun 1815, Napoleon jatuh dan Belanda memperoleh kembali kemerdekaannya. Inggris, yang memegang kendali Hindia Timur di bawah Raffles tahun 1811, mengembalikannya ke Belanda pada tahun 1815.
Di dalam periode kekacauan dan ketidakpastian ini, administrasi kolonial secara perlahan-lahan mengkooptasi elit-elit penguasa lokal ke dalam administrasi. Dimana sebelumnya selama periode kekuasaan VOC para elit lokal dibiarkan mengontrol subyek mereka sesuka hati mereka, di bawah pretensi untuk melindungi rakyat Hindia dari perlakukan semena-mena (untuk membangun masyarakat berhukum dan tertib) sebuah mesin negara yang lebih ketat diimplementasikan di Hindia Timur Belanda dimana penguasa-penguasa lokal secara efektif adalah karyawan bayaran dan dipilih oleh pemerintah kolonial. Pemerintahan desa, vergadering, prinsip “yang sama menguasai yang sama” (memasukkan kelas penguasa lokal ke dalam pemerintah kolonial), semua ini didesain sesuai dengan kebutuhan ekonomi karena sistem tanam paksa membutuhkan sebuah pemerintah yang kuat.
Sistem Tanam Paksa
Setelah Perang Jawa 1825-1830 yang berakhir dengan menyerahnya kerajaan Mataram, yang menandai penaklukan penuh pulau Jawa, Belanda memperkenalkan sebuah sistem tanam paksa. Berbeda dari sistem transaksi rempah-rempah sebelumnya, sistem Tanam Paksa , dimana pemerintah kolonial mengorganisasi sebuah sistem produksi hasil bumi (cash-crop) untuk ekspor, membawa evolusi industri perkebunan yang membentuk sejarah Indonesia sebagai sebuah negara eksportis bahan mentah untuk abad selanjutnya. Dari menjadi sumber bahan mentah untuk kapitalisme perdagangan, Hindia Timur perlahan-lahan menjadi sumber bahan mentah untuk kapitalisme industrial.
Sistem Tanam Paksa – sebuah sistem dimana Belanda memaksa petani Indonesia untuk menanam hasil bumi untuk eskpor – adalah sebuah sistem yang memberikan basis untuk kemajuan ekonomi di Belanda. Sistem ini adalah sebuah eksploitasi kolonial yang klasik. Tujuan utamanya untuk meningkatkan kapasitas produksi pertanian (terutama di pulau Jawa) guna kepentingan penbendaharaan Belanda. Sistem ini adalah satu kesuksesan yang besar dari sudut pandang kapitalisme Belanda, menghasilkan produk ekspor tropikal yang sangat besar jumlahnya, dimana penjualannya di Eropa memajukan Belanda. Dengan kopi dan gula sebagai hasil bumi utama, seluruh periode Sistem Tanam Paksa menghasilkan keuntungan sebesar kira-kira 300 juta guilder dari tahun 1840-59.
Tabel I. Hasil dari Sistem Tanam Paksa, 1840-1859 (‘000 guilder)[12]
1840-1849
1850-1854
1855-1859
Kopi
64827
77540
105599
Gula
-4082
3385
33705
Lain-lain (nila, cochineal, kayu manis, merica, teh, tembakau)
13653
5610
3299
Total
74398
86535
142603
Kapitalis Belanda sama sekali tidak tertarik untuk mengembangkan kapasitas produksi pertanian. Otoritas kolonial menyediakan sedikit sekali kapital investasi, dengan hampir tidak ada perkembangan dalam teknik produksi dan manufaktur.
Kaum tani dipaksa berjalan berkilo-kilometer dari desa mereka ke tempat perkebunan kopi, dan kadang-kadang harus meninggalkan desa selama berbulan-bulan, hidup di tempat penampungan sementara dekat dengan area perkebunan kopi. Untuk perkebunan tebu, para petani dipaksa mengubah ladang padi mereka (dan irigasi mereka) menjadi ladang tebu. Para petani tidak hanya diharuskan mempersiapkan ladang, menanam, dan menjaga perkebunan tersebut, mereka juga harus menuainya dan mengangkutnya ke pabrik dengan cara dipanggul di atas pundak mereka karena kurangnya alat transportasi dan binatang, dan kondisi jalanan yang tidak baik. Mereka juga sekaligus bekerja di pabrik.
Sistem Tanam Paksa juga menyita sejumlah besar tenaga kerja dari para petani untuk membangun infrastruktur yang dibutuhkan untuk operasi sistem tanam paksa, termasuk membangun jalan dan jembatan untuk transportasi hasil bumi, pengembangan fasilitas pelabuhan, konstruksi perumahan untuk para pejabat, membangun pabrik dan gudang-gudang untuk hasil bumi, membangun dam dan irigasi, dan bahkan benteng pertahanan.[13]
Eksploitasi dari sistem ini tidak ada presedennya dalam sejarah penjajahan Belanda. Satu pejabat senior mengatakan bahwa di bawah Sistem Tanam Paksa para petani dipaksa untuk melakukan 4 atau 5 kali lebih banyak kerja daripada yang biasanya dituntut sebelum 1830.[14] Kebanyakan petani harus bekejra selama lebih dari 150 hari dalam setahun untuk cultuurstelsel. Pembayaran yang diterima oleh petani sangatlah kecil dan mereka dipajak sangat tinggi. Gubernur Jendral pada saat itu (1845-1851), Jan Jacob Rochussen, memperkirakan pada tahun 1857 bahwa sekitar 2/3 pembayaran yang diterima oleh petani diterima kembali oleh Pemerintah melalui berbagai macam pajak.[15] Kapitalisme di Belanda dan Eropa sungguh bangkit dari keringat dan darah jutaan petani di Hindia Timur.
Industri gula dikembangkan oleh pemerintah koloni Belanda dengan bantuan “kontraktor” swasta Belanda dan para priyayi, kepala desa (lurah), dan elit-elit lokal. Kecepatan pertumbuhan laba gula (lihat Tabel I) cukup untuk menunjukkan cepatnya pertumbuhan industri ini dan bagaimana ia mempengaruhi periode selanjutnya. Fabriek (pabrik) gula menjadi pemandangan umum dari daerah pedesaan. Sekitar 100 pabrik milik Eropa memproduksi lebih dari 130 ribu ton gula pertahun. Tebu-tebu ini ditanam oleh lebih dari 100 ribu petani yang mengerjakan sekitar 12 ribu hektar tanah.[16]
Periode Liberal (1870-1900)
Sistem Tanam Paksa menyediakan basis untuk periode ekonomi selanjutnya, yang disebut periode Liberal. Selama periode sebelumnya, pemerintah menyuntik kapital yang besar untuk membangun perkebunan hasil-bumi dan fasilitas-fasilitasnya, terutama gula dan kopi, dan juga memastikan penyediaan tenaga kerja murah melalui kerja paksa. Sistem Tanam Paksa sangatlah menguntungkan. Namun, sistem Cultuurstelsel yang dijalankan pemerintah ini dipenuhi dengan nepotisme, dimana kontraktor pemerintah, pengusaha penanam swasta, perusahaan ekspor-impor, dan pegawai negeri Belanda semua mempunyai hubungan keluarga. Ini membawa kegusaran kapitalis Belanda (dan kapitalis asing lainnya) yang berada di luar klik Jawa ini, yang melihat keuntungan besar dari bisnis ini dan ingin sepotong darinya. Inilah alasan sebenarnya mengapa Sistem Tanam Paksa dihentikan pada tahun 1870, bukan karena kekhawatiran moral kaum imperialis Belanda terhadap kesengsaraan yang dihadapi oleh kaum tani Indonesia akibat sistem eksploitatif ini. Kita dapat melihat ini dengan jelas di dalam nilai ekspor setelah Sistem Tanam Paksa, yang tumbuh bahkan dengan kecepatan yang lebih pesat dan tidak lain menandakan sebuah eksploitasi yang lebih ganas terhadap rakyat Hindia Timur Belanda.
Banyak dari loncatan nilai ekspor dan produktivitas ini adalah karena peningkatan teknologi yang mengijinkan transportasi yang lebih baik dan pemrosesan yang lebih efisien. Beberapa orang akan berargumen bahwa periode Liberal adalah tidak lebih eksploitatif daripada Sistem Tanam Paksa karena para petani diperlakukan lebih manusiawi dan pada saat yang sama produktivitas mereka dibuat lebih tinggi. Namun kita kaum Marxis bukanlah kaum moralis kacangan. Kita melihat eksploitasi dari sudut pandang nilai surplus yang disedot oleh kaum kapitalis dari kaum buruh dan tani, bukan hanya besarnya kesengsaraan yang mereka alami. Walaupun tentu saja kesengsaraan yang dialami oleh buruh dan tani Hindia Timur sangatlah keji dan memuakkan. Oleh karena itu, dari sudut pandang ini, selama periode Liberal penindasan rakyat Hindia Timur adalah lebih parah seperti yang ditunjukkan oleh statistik.
Tabel 2. Ekspor Hindia Timur Menurut Komoditas, 1823-1938 (‘000 guilder)[17]
Periode
(rata-rata per tahun)
Gula
Kopi
Tembakau
Karet
Minyak
Total**
1823-25*
507
10358
120
13256
1826-30*
824
6221
59
9835
1831-35*
3371
10093
45
18513
1836-40*
10295
21907
136
42785
1841-45*
13476
24323
793
51187
1845-50*
18446
16021
712
48804
1851-55*
19986
26729
707
59502
1856-60*
32214
32740
1005
85945
1861-65*
32214
36616
1692
87425
1866-70*
33282
37052
3320
88479
1871-73*
46203
40717
8149
113479
1874-75
51234
69014
9895
128
59
173127
1876-80
56013
69922
20319
97
236
193723
1881-85
70842
50438
17111
274
47
190898
1886-90
58369
42481
25398
397
4
186338
1891-95
66862
51708
31603
184
1262
211344
1896-1900
65878
37204
37898
564
7717
227551
1901-1905
75764
24005
38703
1917
16200
279971
1906-1908
117511
16592
58574
7666
29392
388734
1909
167800
10100
46100
3300
30000
438000
1910
139600
11000
32500
6900
37700
422100
1911
132100
24100
72500
6800
46300
462900
1912
131700
28800
94700
21300
52400
543200
1913
152800
20400
90700
23900
113400
620500
1914
182600
21000
63700
26800
136800
640700
1915
213200
34700
73000
56500
141900
758200
1916
258800
21600
75800
96200
153000
856700
1917
212400
9100
13200
124100
158700
785100
1918
183600
3200
27700
73100
189500
675900
1919
763200
120000
121100
213300
349900
2162100
1920
1049800
51000
169400
164000
310200
2231300
1921
414900
26800
91000
68300
266000
1193000
1922
270900
41500
76600
88800
332400
1142400
1923
499200
29600
85400
169900
179200
1377900
1924
491100
65600
123600
199000
158300
1530600
1925
369500
68200
110500
582200
158000
1784800
1926
269600
70300
72900
480000
177100
1566100
1927
365300
74400
113900
417100
149900
1622300
1928
375800
81400
95600
278000
144100
1576600
1929
311600
69500
83300
237300
185200
1443200
1930
254300
35700
58600
172800
190100
1157200
1931
129300
24200
51100
82600
147100
747200
1932
99300
35200
46800
34000
98500
541400
1933
62100
25600
32000
37800
105000
467900
1934
45500
22500
37000
88800
99800
487300
1935
36000
18700
29300
70000
87400
445700
1936
34100
15900
37900
87800
97500
527700
1937
51100
26000
41100
298100
166600
951200
1938
45200
13700
38800
135400
164000
657800
* Data ekspor dari pulau Jawa dan Madura. Catatan pemerintah kolonial untuk seluruh Hindia Timur hanya dimulai pada tahun 1874. Sebelumnya, informasi hanya tersedia untuk Jawa dan Madura.
** Total nilai ekspor termasuk produk-produk lain seperti rempah-rempah, beras, teh, nila, tembaga, timah, dsb.
Dengan dihapuskannya Sistem Tanam Paksa – yang ditandai dengan disetujuinya Peraturan Gula 1870 – aktor utama dalam perkembangan industri perkebunan bergeser lebih ke perusahaan swasta dan kapital luar. Kapitalis swasta dan kapitalis petualang masuk ke dalam industri perkebunan Hindia Timur Belanda. Tahun 1925, sudah ada 121 perusahaan gula (suikerondernemingen) yang beroperasi di Hindia Timur Belanda, dan jumlah total pabrik gula (suikerfabrieken) yang dimiliki atau dikelola oleh perusahaan ini adalah 195.[18]
Pada tahun 1896, aliansi industri gula diperkuat dengan dibentuknya Sindikat Pemilik Pabrik Gula di Hindia Belanda (Algemeene Syndicaat van Suikerfabricanten in Nederlandsch Indie) yang mengikutsertakan hampir semua perusahaan gula di koloni. Jadi, di dalam industri perkebunan gula di Hindia Timur Belanda kita dapat menyaksikan evolusi kapitalisme dari kompetisi bebas ke kapitalisme kartel. Mari kita lihat apa yang ditulis oleh Lenin mengenai proses ini dalam bukunya yang terpenting Imperialisme: Tahapan Tertinggi Kapitalisme:
“Tahapan utama dalam sejarah monopoli adalah sebagai berikut: (1) 1860-1870, tahapan tertinggi, puncak dari perkembangan kompetisi bebas; monopoli masihlah dalam tahapan embrionik yang hampir tak terlihat. (2) Setelah krisis tahun 1873, sebuah periode perkembangan kartel yang panjang; tetapi mereka masihlah pengecualian. Kartel-kartel ini belumlah bertahan lama. Mereka masih merupakan fenomena transisi. (3) Boom ekonomi pada akhir abad ke-19 dan krisis 1900-1903. Kartel-kartel menjadi salah satu fondasi dari seluruh kehidupan ekonomi. Kapitalisme telah bertransformasi menjadi imperialisme.”[19]
Dan benarlah, awal Periode Liberal pada tahun 1870 menyaksikan puncak kompetisi bebas dalam industri perkebunan dimana kapital swasta masuk membanjiri setelah dihapuskannya Sistem Tanam Paksa. Pada akhir abad ke-19, kebanyakan perusahaan gula telah bersatu ke dalam satu sindikat dimana sindikat ini “mencapai persetujuan dalam hal penjualan, tanggal pembayaran, dll. Mereka membagi pasar di antara mereka sendiri. Mereka menetapkan jumlah barang yang akan diproduksi. Mereka membagi laba di antara berbagai perusahaan, dsb.”[20]
Kebanyakan perusahaan yang beroperasi di Hindia Timur diorganisasi sebagai perusahaan saham-gabungan, dimana mayoritas dari mereka berafiliasi dengan sebuah institusi finansial yang unik yang bernama cultuurbanken, sebuah kapital finans yang dibentuk untuk menyediakan investasi kapital bagi industri perkebunan di Hindia Timur Belanda. Dominasi kapital finansial adalah karakter umum dari kapitalisme di tahapan ini, dimana “kepemilikan kapital terpisahkan dari aplikasi kapital dalam produksi, dimana uang kapital terpisahkan dari kapital industrial atau produktif, dan dimana peminjam uang yang hidup sepenuhnya dari pendapatan yang diperolehnya dari uang kapital terpisahkan dari para pengusaha dan dari semua yang terlibat langsung dengan manajemen kapital. Imperialisme, atau dominasi finans kapital, adalah tahapan tertinggi kapitalisme dimana pemisahan ini mencapai proporsi yang luas.”[21]
Pada saat yang sama, kita juga menyaksikan industri minyak dan karet masuk ke pulau-pulau di luar Jawa pada awal tahun 1870. Ekspansi kontrol Belanda atas pulau-pulau luar-Jawa terjadi bersamaan dengan kepentingan perkebunan tembakau, karet, teh, kopi, dan kelapa di Borneo, Sulawesi, dan Sumatra Utara; tetapi daerah utama untuk aktivitas perkebunan di luar Jawa adalah Pantai Timur Sumatra, yang berubah dari hutan belantara yang tidak ada akhirnya pada tahun 1860an menjadi salah satu daerah perkebunan utama di dunia pada tahun 1920an.
Sampai pada tahun 1870an, 80 hingga 90 persen dari total nilai ekspor Hindia Timur Belanda ditujukan ke Belanda.[22] Ini adalah hasil dari Sistem Tanam Paksa dimana pemerintahan Belanda bermaksud memperluas produksi ekspor di Jawa dan mengorientasikan ini secara eksklusif ke Belanda. Produksi dan ekspor di koloni ada di bawah kontrol ketat pemerintah. Dengan berakhirnya Sistem Tanam Paksa dimana aktor utama dalam perkembangan industri perkebunan semakin bergeser ke perusahaan swasta, dan juga dengan pembebasan tarif, bagian ekspor ke Belanda jatuh secara signifikan sedangkan ekspor intra-Asia meningkat. Pada permulaan abad ke-20, porsi ekspor ke Belanda telah jatuh ke 30% sedangkan pada periode yang sama porsi ekspor ke Asia (terutama Singapura, diikuti oleh Cina/Hong Kong, India, dan Jepang) meningkat dari 13% pada awal 1870 ke 47% pada tahun 1908.[23] Sebagai pelabuhan entri untuk perdagangan bebas, Singapura mengirim kebanyakan ekspor Hindia Timur Belanda yang mendarat di pelabuhannya ke tujuan final di tempat lain, terutama ke Amerika Serikat.
Perkembangan pesat dari industri perkebunan bergerak bersamaan dengan perkembangan dominasi kolonial atas daerah Asia Tenggara oleh Inggris (di Malaya dan Burma), Prancis (Indochina: Vietnam, Laos, Kamboja), AS (Filipina), dan Belanda (Indonesia). Kemajuan dalam transportasi dan komunikasi antara Asia Tenggara dan Eropa juga berkontribusi pada perkembangan ini, terutama dibukanya Kanal Suez pada tahun 1869 dan diletakkannya kabel bawah laut untuk telekomunikasi telegraf antara Eropa dan Asia pada tahun 1860an dan 1870an.
Ekonomi koloni Asia Tenggara moderen mencapai pertumbuhan yang tidak ada preseden antara tahun 1870an hingga 1920an, bersamaan dengan periode boom kapitalis. Setelah kekuasaan penuh kolonial telah diamankan di daerah tersebut, kekuatan-kekuatan Eropa (Inggris, Prancis, AS, Belanda) mengkonsolidasikan dua pilar ekonomi, yakni industri perkebunan di Asia Tenggara Insular (Indonesia, Malaysia, dan Filipina), dan daerah penghasil beras di Daratan Utama Asia Tenggara (Mekong di Indochina, Chao Phraya di Thailand, dan Ayeyardwady di Burma) yang menyediakan bahan makanan nasi untuk Asia Tenggara Insular dimana nasi tidak cukup karena perkebunan yang meluas dan populasi yang meningkat. Secara singkat, perkembangan ini dicapai di bawah sebuah sistem perdagangan dan finansial internasional yang berpusat di Inggris pada saat itu.
Periode Etis (1900-1930) dan Kebangkitan Nasionalisme Indonesia
Di senja abad ke-20, kaum moralis dari borjuasi Belanda hati nuraninya sangat terusik dengan kemiskinan rakyat pribumi Hindia Timur akibat eksploitasi kolonial Belanda, sehingga mereka meminta peningkatan kesejahteraan moral dan material untuk rakyat Hindia Timur. Akan tetapi, kebijakan etis sebenarnya hanyalah satu ekspresi dari kebutuhan ekonomi, dan bukan karena kebaikan hati dari kaum borjuasi Belanda.
Keperluan untuk semakin menyedot sumber daya alam Indonesia untuk memenuhi selera besar dari kapitalisme yang sedang meledak di Eropa dan AS memaksa para penindas untuk menciptakan basis dasar untuk ini. Mereka tidak bisa lagi hanya mengandalkan ekspatriat untuk menjalankan koloni dengan industri perkebunan, ekonomi, dan pemerintah yang semakin membesar. Makin banyak sekolah dibangun untuk rakyat pribumi guna melatih mereka untuk menjadi buruh kereta api, dokter, kasir, guru, dan administrator lokal, dsb. Kita sedang menyaksikan pembentukan embrio kaum intelektual dan proletariat Indonesia.
Di tingkatan dunia, periode ini ditandai dengan Perang Dunia Pertama dan Depresi Hebat. Karakter unik dari periode ini adalah kontraksi impor dan ekspor ke Belanda dan Inggris, dan ekspansi ekspor dan impor dengan AS dan Jepang. Ini menandai menurunnya kapitalisme Inggris dan Belanda, dan bangkitnya kekuatan adidaya AS dan Jepang.
Seperti yang kita lihat di Tabel 2 di atas, ekspor karet dan minyak menanjak selama periode ini dan mencapai puncaknya pada pertengahan 1920an, bersamaan dengan permintaan besar dari industri mobil yang sedang meledak di AS. Produksi gula juga mencapai zaman keemasannya pada tahun 1920an dimana Jawa adalah produsen ketiga terbesar dari tebu gula setelah Kuba dan India.[24] Namun, di balik boom produksi karet dan gula tersirat masalah over-produksi yang pada akhirnya menyebabkan anjloknya harga karet dan sugar di dunia. Semenjak Depresi Hebat, gula sudah bukan lagi komoditas ekspor utama di Indonesia, dan diambil alih oleh karet dan minyak bumi. Karet tetap menjadi komoditas ekspor utama Indonesia hingga paruh pertama 1960an. Ekspor minyak adalah komoditas ekspor kedua setelah karet, tetapi porsi total ekspornya tetap kurang dari 20%, dan minyak tidak akan menjadi komoditas ekspor utama hingga pada akhir 1960an. Pergeseran dari gula ke karet sebagai komoditas ekspor utama negeri ini juga menandai sebuah pergeseran dalam pusat pendapatan valuta asing dari Jawa ke pulau-pulau luar-Jawa, terutama Sumatra dan diikuti oleh Kalimantan.
Satu karakter unik lainnya dari periode ini adalah ekspansi ekspor ke AS setelah Perang Dunia Pertama, bukan hanya dari Hindia Timur Belanda, tetapi juga dari daerah-daerah perkebunan seluruh Asia Tenggara Insular (Filipina, Indonesia, dan Malaya). Dari akhir Perang Dunia Pertama sampai 1920an, porsi total ekspor ke AS meningkat sangat besar: di Filipina ini meningkat dari 37% pada tahun 1913 ke 75% tahun 1927, di Hindia Timur Belanda dari 2% pada tahun 1913 ke 13% tahun 1920, di Malaya dari 14% pada tahun 1913 ke 44% tahun 1927.[25] Selama periode yang sama, daerah ini juga meningkatkan impor dari AS. Ini menandakan satu periode restrukturisasi imperialisme, dimana AS bangkit sebagai sebuah negara super power yang baru dan Kerajaan Inggris Raya yang tua sedang menurun.
Pada awal abad ke-20, kita melihat bangkitnya nasionalisme di kebanyakan koloni-koloni. Di satu pihak, kekuatan imperialis telah menciptakan pasar bersama (common market) dan mengukir perbatasan-perbatasan artifisial di koloni-koloni yang tidak punya perbatasan sebelumnya, dan oleh karenanya dengan paksaan mereka menciptakan kerangka untuk sebuah bangsa-negara; di pihak lain, identitas nasional diciptakan di antara rakyat yang terjajah melalui perjuangan bersama melawan sang penjajah. Hindia Timur, dengan 16 ribu pulaunya, 300 suku yang berbeda-beda, dan 740 bahasa dan dialek – sebuah surga untuk antropologis – disatukan oleh sebuah sejarah penjajahan oleh Belanda. Lapisan pertama yang mengartikulasikan nasionalisme Indonesia adalah kaum intelektual muda yang belajar di luar negeri yang membawa pulang dengan mereka semangat Revolusi Prancis, semangat liberté, égalité, fraternité, semangat revolusi borjuis-demokratik. Kekalahan pasukan Tsar Rusia oleh Jepang juga membantu melunturkan mitos keperkasaan Eropa. Rusia saat itu dianggap sebagai satu kekuatan Eropa yang dikalahkan oleh sebuah negara Asia yang sedang bangkit. Gagasan lain yang menggoncang dunia pada periode tersebut adalah Revolusi Rusia. Di tengah sturm und drang (topan dan badai) dari Perang Dunia Pertama, sebuah negeri yang mencakup 1/6 dunia melaksanakan Revolusi Proletariat yang pertama dan menjangkiti seluruh dunia, termasuk dunia koloni, dengan semangatnya. Partai Komunis Indonesia pada tahun 1920an adalah kekuatan utama dari perjuangan nasionalis, dimana ia berdiri jauh lebih tinggi, secara politik dan organisasional, dari elemen-elemen nasionalis lainnya. PKI menyatukan perjuangan untuk pembebasan nasional dan sosialisme, sampai pada kejatuhannya di pemberontakan 1926-27. Ketika PKI bangkit kembali, ia telah menjadi alat birokrasi Stalinis dan telah memisahkan perjuangan pembebasan nasional dan sosialisme dengan teori dua-tahapnya.
Kemerdekaan Nasional
Sejak penghancuran PKI secara fisik pada tahun 1927, secara praktikal panggung gerakan nasionalis didominasi oleh elemen-elemen borjuis-nasionalis seperti Soekarno dan Mohammad Hatta. Kekalahan PKI pada tahun 1927 dan Depresi Hebat yang menyusul – yang memukul Indonesia cukup keras karena ekonominya sangat tergantung pada ekonomi internasional (dimana populasi meningkat dari 61 juta pada tahun 1930 menjadi 70 juta pada tahun 1940, pendapatan nasional jatuh dari 3,5 milyar guilder ke 2 milyar guilder[26]) – membuka satu periode semi-reaksi di Indonesia, dimana gerakan nasionalis terpukul mundur secara politik dan organisasional. Sekitar 13 ribu penangkapan terjadi dimana ribuan orang dikirim ke kamp konsentrasi Boven Digul yang terkenal itu, yakni Siberianya Indonesia.
Gerakan nasionalis Indonesia hanya mendapatkan momentumnya kembali setelah kekalahan Belanda di tangan Jepang pada tahun 1942, menandai berakhirnya tiga-setengah-abad penjajahan Belanda dan awal dari tiga-setengah-tahun penjajahan Jepang. Namun jenis nasionalisme yang bangkit adalah nasionalisme borjuis yang secara ketat dikendalikan oleh Jepang dalam kerangka Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya dengan slogan “Asia untuk Orang Asia”. Jepang mengasuh di bawah sayap mereka pemimpin-pemimpin penting Indonesia, di antara mereka adalah Soekarno dan Hatta, guna mendapatkan dukungan dari rakyat Indonesia untuk mesin perang mereka dalam mempertahankan wilayah-wilayah yang sudah mereka taklukkan dari pasukan Sekutu. Pada saat yang sama, pemimpin-pemimpin lain yang menunjukkan kecenderungan sosialis ditindas dengan kejam. Hanya organisasi-organisasi yang disetujui oleh Jepang diperbolehkan eksis, seperti Putera dan Djawa Hokokai. Organisasi-organisasi ini tidak lain adalah instrumen pemaksa dan pengontrol Jepang.
Di belakang janji Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia adalah satu usaha untuk mengendalikan gerakan nasionalis, supaya bila Indonesia merdeka ia tetap akan berada di bawah kekuasaan langsung mereka. Macam pemimpin nasionalis yang diasuh oleh Jepang menunjukkan warna mereka yang sesungguhnya ketika momen-momen yang menentukan datang. Bahkan setelah menyerahnya Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta takut memproklamirkan kemerdekaan Indonesia tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan Jepang. Mereka harus dipaksa oleh kaum muda militan, yang tidak setuju kalau Indonesia mendapatkan kemerdekaannya sebagai sebuah hadiah dari Jepang. Terutama dengan penyerahan tanpa syarat dari Jepang, dimana ini berarti bahwa pasukan bersenjata Jepang di Indonesia akan bertindak sebagai perwakilan dari kekuatan Sekutu yang ingin mengembalikan koloni ini ke Belanda.
Setelah banyak negosiasi dan keraguan, pada pagi hari 17 Agustus 1945, Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, dan mulailah babak baru dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, yang diperjuangkan di lapangan militer melawan kekuatan Sekutu dan di lapangan politik antara kaum reformis dan kaum revolusioner. Kaum reformis, yang dipersonifikasi oleh Hatta dan Sjahrir, merasa cukup dengan kemerdekaan Indonesia di bawah jempol imperialisme, sedangkan kaum revolusioner, yang dipersonifikasi oleh Tan Malaka dan front persatuannya Persatuan Perjuangan, menuntut 100% Merdeka. Kaum revolusioner berjuang dengan berani melawan pasukan Sekutu dan juga melawan pemimpin nasionalis seperti Hatta yang ingin berkapitulasi pada kekuatan imperialis dan mengembalikan semua perusahaan dan perkebunan Belanda, yang nota-bene berarti penundukan ekonomi Indonesia terhadap Belanda. Kaum nasionalis borjuis ini mengirim pasukan mereka untuk melawan milisi rakyat yang sedang berjuang mempertahankan negara mereka. Ribuan pejuang muda yang berani, yang dianggap terlalu revolusioner, diburu dan dibunuh oleh pasukan pemerintah, termasuk Tan Malaka pada tahun 1949.
Pada tanggal 27 Desember 1949, setelah banyak pertempuran yang gagah berani, yang menewaskan lebih dari 200 ribu orang Indonesia, Belanda terpaksa mengakui kemerdekaan Indonesia. Namun, para pemimpin nasionalis telah menjual seluruh Indonesia dengan menyetujui pengembalian seluruh perusahaan, tanah perkebunan, dan tambang-tambang Belanda dan membayar 4,3 milyar guilder (atau senilai 10,1 milyar dollar pada tahun 2009) yang merupakan agresi militer Belanda di Indonesia selama 4 tahun. Ini menaruh ekonomi Indonesia di bawah jempol kaum imperialis dan program 100% Merdeka dikhianati.
Orde Lama
Ekonomi Indonesia digambarkan sebagai “kemerosotan kronik” oleh Benjamin Higgins, penulis buku terkemuka mengenai Ekonomi Perkembangan pada periode tersebut. Dia menyimpulkan bahwa “Indonesia tentu harus dicatat sebagai kegagalan nomor satu di antara negara-negara kurang berkembang.”[27]
Sultan Hamengkubowono IX pada tahun 1966 menjelaskan situasi pada saat itu sebagai berikut: “Setiap orang yang mengatakan bahwa masyarakat Indonesia sedang mengalami sebuah situasi ekonomi yang menguntungkan sungguh kurang melakukan studi yang intensif ... Bila kita membayar semua utang luarnegeri kita, kita tidak ada valuta asing tersisa untuk memenuhi kebutuhan rutin kita ... Pada tahun 1965 harga-harga secara umum naik lebih dari 500 persen ... pada tahun 1950an anggaran negara mengalami defisit sebesar 10 hingga 30 persen, dan pada tahun 1960an defisit ini meningkat hingga lebih dari 100 persen. Pada tahun 1965, ini bahkan mencapai 300 persen.”[28]
Kondisi sosial tidak lebih baik, dengan kontras antara yang kaya dan yang miskin semakin menajam pada saat itu, kendati pengumuman berulang-ulang dari pemerintah Soekarno mengenai cita-cita masyarakat adil dan makmur. Ini digarisbawahi oleh kutipan berikut ini dari seorang pengamat Indonesia selama pertengahan 1960an: “ ... jumlah konsumsi barang mewah di Jakarta tampak meningkat ... tajamnya peningkatan jumlah mobil, pada saat dimana transportasi publik semakin memburuk dengan serius, memberikan indikasi mengenai kesenjangan ini ... setiap kali selalu ada peraturan ekspor-impor baru untuk menghentikan impor barang-baran mewah, tetapi entah bagaimana mereka tetap masuk.”[29]
Tabel 3. Indikator-Indikator Perkembangan Ekonomi Indonesia, 1960-1965[30]
1960
1961
1962
1963
1964
1965
Produk Domestik Nasional (Rp Milyar), Harga 1960
391
407
403
396
407
430
Pendapatan per kapita, % perubahan
-1,6
1,7
-3,0
-4,0
0,3
3,2
Defisit anggaran dalam % pengeluaran
17
30
39
51
58
63
Suplai Uang (M1), % perubahan
37
41
101
94
156
302
Inflasi (CPI, % perubahan)
20
95
156
129
135
594
Indikator ekonomi di atas selama periode 1960-65 jelas menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia sedang menukik secara katastropik. Dalam 5 tahun, inflasi naik dari 20% hinggal 600%, defisit anggaran naik dari 17% hinggal 63%. Penyebab segera dan langsung dari meningkatnya inflasi, yang bagi buruh dan tani berarti menurunnya pendapatan riil mereka, tidak sulit untuk ditemukan. Suplai uang mulai meningkat dengan cepat dari 40% di awal 1960an sampai 300% pada tahun 1965. Peningkatan suplai uang ini disebabkan oleh defisit anggaran, yang diatasi oleh pemerintah dengan mencetak lebih banyak uang.
Narasi utama yang telah dikeluarkan oleh kapitalis Barat adalah bahwa Soekarno, seperti kebanyakan pemimpin-pemimpin Dunia Ketiga di zamannya, memberikan perhatian yang berlebihan ke isu-isu politik dan mengabaikan isu-isu ekonomi; bahwa dia mempolitisasi bangsa secara ekstrim dan sebagai akibatnya mengurangi pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, narasi ini tidak mempertimbangkan bahwa konsolidasi politik adalah sebuah langkah penting yang harus diambil oleh Republik muda ini. Kekuatan Sekutu telah menebar kekacauan di Republik, secara ekonomi dan politik. Kebijakan imperialis pada saat itu adalah untuk memecahkan Indonesia menjadi negeri-negeri yang lebih kecil dan lemah dengan mempromosi gerakan separatis di seluruh nusantara. Banyak pemberontakan, yang kebanyakan disponsor dan didukung oleh imperialis, meledak yang mengancam kesatuan nasional, yang bukan hanya harus dihadapi secara militer tetapi juga secara politik. Usaha militer untuk melawan kaum separatis adalah salah satu faktor utama yang membuat bangkrut pemerintah.
Pemerintahan Soekarno mencoba menyeimbangkan dua kekuatan utama: kekuatan komunis dan kekuatan tentara di bawah jendral-jendral reaksioner. Di belakang kaum Komunis adalah kelas pekerja, petani miskin, kaum miskin kota, dan banyak kaum intelektual, artis, dan nasionalis kiri. Di belakang jendral-jendral reaksioner adalah pemilik tanah kaya, nasionalis sayap kanan, dan terutama kekuatan imperialis. Kebijakan setengah-hati dari pemerintahan Soekarno, yakni menyerukan frase-frase revolusioner tanpa menyelesaikan revolusi sosialis, menghapus kapitalisme secara penuh dan mengimplementasikan ekonomi terencana di bawah kontrol demokratik buruh, dan di pihak lain penolakan dari PKI untuk merebut kekuasaan karena mereka terikat kaki dan tangannya pada kaum borjuis nasional (di bawah teori dua-tahap mereka), mengakibatkan kekalahan kelas pekerja. Di dalam sebuah perjuangan kelas, hanya ada satu aturan: satu kelas harus menang dan kelas yang lain harus kalah. Sebuah situasi perjuangan kelas yang tajam, seperti di Indonesia pada akhir 1950 hingga pertengahan 1960, tidak bisa berlangsung selamanya. Satu kelas harus kalah. Sikap keras kepala PKI untuk mengabaikan perjuangan kelas dengan mengsubordinasikannya di bawah perjuangan nasional menyebabkan kehancuran mereka. PKI tidak ingin mengenali perjuangan kelas, tetapi perjuangan kelas mengenali PKI.
1965 dan Imperialisme AS
G30S adalah sebuah konter revolusi yang menyebabkan pembalikan penuh di dalam politik Indonesia dan dunia. Disini, negara terbesar keempat dengan partai komunis ketiga terbesar setelah Tiongkok dan Uni Soviet, berubah dari sebuah negeri yang sangat anti-imperialis ke sebuah partner AS yang penurut. Sebelum kudeta ini, duta besar AS telah terpaksa mengirim pulang hampir semua personilnya dan menutup konsulat-konsulat di luar Jakarta karena demonstrasi PKI yang militan. Buruh menyita perkebunan-perkebunan dan sumur-sumur minyak yang dimiliki perusahaan AS, dan Sukarno mengancam akan menasionalisasi mereka. Ancaman Indonesia menjadi komunis adalah nyata dan peristiwa ini bisa mengubah wilayah Asia Tenggara menjadi merah juga.
Sebuah laporan intelijen level tinggi yang dipersiapkan pada awal September 1965 menulis bahwa “Indonesianya Soekarto sudah bertindak seperti sebuah negeri komunis dan lebih bermusuhan secara terbuka dengan AS dibandingkan kebanyakan negeri-negeri komunis lainnya.” Laporan tersebut juga memprediksikan bahwa pemerintah Indonesia akan didominasi secara penuh oleh PKI dalam dua atau tiga tahun, dan “kebangkitan Indonesia ke komunisme akan menghantar pukulan yang berat terhadap politik dunia. In akan dilihat sebagai sebuah perubahan besar dalam perimbangan kekuatan-kekuatan politik internasional dan akan menyuntikkan sebuah nyawa yang baru ke dalam tesis bahwa komunisme adalah gelombang masa depan.”[31]
Indonesia dianggap sebagai kartu domino terbesar di Asia Tenggara. Dalam pidatonya tahun 1965, Richard Nixon membenarkan pemboman Vietnam Utara sebagai satu cara untuk mengamankan “potensi mineral yang besar” di Indonesia. Sejarahwan Dr. John Roosa menekankan bahwa pasukan infantri yang mulai turun ke Vietnam pada bulan Maret 1965 akan menjadi sia-sia bila kaum Komunis meraih kemenangan di sebuah negara yang jauh lebih besar dan strategis, Indonesia. Kemenangan PKI di Indonesia akan membuat intervensi AS di Vietnam sia-sia.[32] Robert McNamara, sekretaris pertahanan di bawah Presiden John F. Kennedy dan Lyndon B. Johnson, berpendapat bahwa AS seharusnya mengurangi keterlibatannya di Vietnam setelah pembantaian PKI di Indonesia.[33] Setelah Indonesia, kartu domino utama di Asia Tenggara, telah diamankan secara baik, politisi AS seharusnya menyadari bahwa Vietnam tidaklah sekrusial seperti yang pertama kali dikira, begitu pendapat McNamara. Akan tetapi, pada saat itu, peperangan di Vietnam telah mendapat logikanya sendiri, terpisahkan dari teori domino. Kemenangan AS di Vietnam, setelah jatuhnya PKI, lebih dibutuhkan untuk menjaga gengsi pemerintah AS dan menghindari rasa malu dari kekalahan dalam perang, daripada untuk menghentikan komunisme di Asia Tenggara.
Seperti yang ditunjukkan di atas, Indonesia adalah sangat penting bagi kaum kapitalis dunia karena kekayaan alamnya. Setelah Perang Dunia II, AS telah menetapkan Indonesia ke dalam lingkup pengaruh ekonomi Jepang; minyak, mineral, dan hasil bumi Indonesia akan memasoki industrialisasi Jepang. Kekawatiran utama AS adalah keamanan Jepang, yang akses murahnya ke sumber daya alam Indonesia dipercaya dapat menjaga Jepang untuk tetap di kampnya. Ini dapat dilihat dari statistik ekspor setelah 1965, dimana Jepang menjadi tujuan ekspor utama Indonesia, dari sekitar 3-7% pada tahun 1958-1962 hingga 50% pada tahun 70an dan 80an.[34]
Orde Baru
Orde Baru membawa sebuah eksploitasi yang semakin parah. Dalam waktu 10 tahun, dari tahun 1971 hingga 1981, total nilai ekspor meloncat dari US$ 1,2 milyar hingga US$ 25,2 milyar, sebuah loncatan tinggi sebesar 2100% dalam 10 tahun.[35]
Minyak dan gas bumi secara konsisten mencakup lebih dari 50 persen total nilai ekspor hingga tahun 1987, dengan Jepang sebagai tujuan ekspor utama.[36] Sekitar 80% dari ekspor minyak dan gas bumi menuju Jepang dan Amerika Serikat.[37] Periode dari tahun 1971 sampai 1987 sering disebut sebagai periode migas.
Jepang adalah tujuan ekspor utama dari produk-produk Indonesia, terutama dari awal 1970an hingga akhir 1980an, dimana ekspor ke Jepang adalah sebesar 40 hingga 50%. Level ekspor ke AS menyusul Jepang, dengan total gabungan ekspor ke Jepang dan AS sebesar 60 hingga 70% dari tahn 1971 sampai 1987.[38] Konsentrasi ekspor ke AS dan Jepang ini mulai pada akhir tahun 1960an, yang bersamaan dengan penghancuran rejim Soekarno dan kekuatan PKI pada tahun 1965-66. Ini sejalan dengan kebijakan luar negeri AS untuk menempatkan Indonesia di dalam lingkup ekonomi Jepang.
Dominasi ekspor minyak mulai menurun setelah memuncak pada tahun 1981. Dari paruh kedua tahun 1980am, ekspor minyak jatuh ke satu level yang hanya 1/3 dari level 1981. Penurunan ini disebabkan terutama oleh anjloknya harga minyak dunia pada tahun 80an, atau yang disebut dengan krisis minyak 1980, di mana harga minyak jatuh dari puncaknya $35 per barrel pada tahun 1980 ke di bahwa $10 tahun 1986.
Menyusul penurunan tajam pada tahun 1980an, ekspor minyak stagnan pada tahun 90an. Porsi eskpor migas jatuh menjadi 20% pada akhir 1990an. Minyak perlahan-lahan kehilangan posisinya sebagai komoditas ekspor utama. Menggantikan tempatnya, kita melihat peningkatan hebat dalam ekspor kayu lapis pada awal 1990an, dalam ekspor tekstil dan garmen pada pertengahan 1990an, dan dalam ekspor produk-produk elektronik pada paruh kedua 1990an.[39] Indonesia jelas menggantikan ekspor bahan mentahnya dengan ekspor produk-produk industrial.
Tujuan ekspor juga berubah pada akhir 1990an, dimana perdagangan produk-produk industrial dengan negara-negara Asia Timur (Korea, Taiwan, dan Tiongkok) selain Jepang dan negara-negara ASEAN menjadi fundamental di dalam perdagangan luar negeri Indonesia. Tren ekonomi ekspor Indonesia dari paruh kedua abad ke-19 sampai abad ke-20 dapat diringkas dengan skema berikut ini:
Periode
Komoditas Ekspor Kunci
Daerah Produksi Utama
Tujuan Ekspor Utama
Sampai 1870
Kopi
Jawa
Belanda
Sampai 1920an
Gula
Jawa
Asia Selatan dan Timur
Sampai pertengahan 1960an
Karet
Pulau-pulau luar Jawa (terutama Sumatra)
AS
Sampai pertengahan 1980an
Minyak
Pulau-pulau luar Jawa (terutama Sumatra)
Jepang
Sampai akhir abad ke-20
Produk manufakur
Jawa
Asia Timur dan ASEAN
Selama era karet pada tahun 1930an dan era minyak 1960an, produksi ekspor terkonsentrasi di pulau luar Jawa. Namun, pada akhir 1980an, ada peningkatan ekspor dari Jawa, yang memiliki tenaga kerja besar dan kapasitas untuk memproduksi barang-barang industrial untuk ekspor.
Pertumbuhan Kelas Pekerja di Indonesia
Indonesia mengalami pergeseran komoditas ekspor kunci dari pertanian dan pertambangan ke berbagai macam barang manufaktur. Pada akhir tahun 1980an, manufaktur sendirian telah berkontribusi hampir 30% dari total pertumubuhan PDB, dibandingkan 10% kontribusi pada pertumbuhan pada akhir 1960an.[40] Selama periode 1986-1993, pertumbuhan lapangan pekerjaan di manufaktur skala besar dan menengah meningkat 9% per tahun.[41] Selama periode yang sama, pekerjaan di sektor pertanian mengalami penurunan. Jutaan orang pindah dari pedesaan ke perkotaan. Lapisan proletariat baru ini, yang terlempar dalam jumlah ribuan ke pabrik-pabrik, adalah salah satu kekuatan yang menggoncang rejim Soeharto. Jumlah pemogokan yang tercatat pada tahun 1990an meningkat pesat, dari 61 pada tahun 1990 ke 300 pada tahun 1994. Proporsi besar dari pemogokan ini terjadi di manufaktur, terutaman di industri tekstil, garmen, dan sepatu yang bergaji rendah.[42]
Tabel 6. PDB Non-migas dan Lapangan Kerja menurut Sektor, 1976-2007 (persen dari total)[43]
PDB non-migas (%)
Lapangan Kerja (%)
1976
1986
1997
2007
1976
1986
1997
2007
Pertanian
36,8
26,7
16,4
14,9
61,6
55,1
41,2
41,2
Sektor-sektor Lain
63,2
73,3
83,4
85,1
38,4
44,9
58,8
58,8
Manufaktur
10,6
17,8
28,4
26,9
8,4
8,2
12,9
12,4
Pertambangan
1,3
1,8
3,3
4,2
0,2
0,6
1,0
1,0
Listrik, Gas, dan Air Bersih
0,3
0,3
0,5
0,7
0,1
0,2
0,2
0,2
Konstruksi
5,9
6,3
8,5
6,7
1,7
2,7
4,8
5,3
Perdagangan, Hotel
21,5
19,7
19,2
18,6
14,4
14,3
19,8
20,6
Transportasi, Komunikasi
3,6
5,0
8,7
10,1
2,7
3,0
4,8
6,0
Keuangan
3,3
7,0
8,7
10,1
0,2
0,5
0,8
1,4
Pemerintah
6,7
8,6
5,6
4,4
3,4
4,6
4,7
3,7
Jasa lain
10,0
6,9
4,0
5,6
7,3
10,0
9,8
8,3
Dalam periode 21 tahun antara tahun 1976 hingga 1997, PDB non-migas tumbuh rata-rata 7,5% per tahun. PDB pertanian perlahan-lahan menurun dari 36,8% tahun 1976 hingga 16,4% pada tahun 1997, sedangkan PDB manufaktur meningkat dari 10,6% hingga 28,4%. Porsi lapangan kerja dari sektor pertanian juga mengalami penurunan perlahan-lahan dari 61,6% pada tahun 1976 ke 41,2% pada tahun 1997, sedangkan di sektor manufaktur ini meningkat dari 8,4% ke 12,9% dalam jangka waktu yang sama. Disini kita lihat bagaimana pekerja manufaktur menjadi semakin penting di Indonesia, dalam hal jumlah dan juga kontribusinya ke PBD per kepala. Pada tahun 2007, walaupun hanya mencakup 12,4% lapangan kerja, buruh manufaktur berkontribusi ke PBD sebesar 26,9%, sedangkan sektor pertanian dengan 41,2% lapangan kerja hanya berkontribusi 14,9% PBD.
Status pekerjaan di Indonesia yang paling dominan adalah pekerja berusaha-sendiri yang mencakup 41% dari total pada tahun 2007. Pekerja berusaha-sendiri bekerja sendirian atau dengan bantuan dari anggota keluarga yang tidak dibayar. Oleh karena itu, pada kenyataannya kedua kategori ini saling bertautan, menciptakan satu sektor informal yang berjumlah total sekitar 60-70%, atau sekitar 60-70 juta rakyat yang terpaksa menciptakan lapangan kerja mereka sendiri karena tidak ada pekerjaan yang tersedia.
Tabel 5. Tren dalam status pekerjaan, 1986-2007 (% dari total lapangan pekerjaan)[44]
Status
1986
1996
2003
2007
Berusaha sendiri
45,9
46,9
42,6
41,3
Pekerja keluarga/tidak dibayar
27,1
17,5
19,5
17,3
Total pekerja non-upahan
73,0
64,4
62,1
58,6
Pekerja upahan reguler
19,7
27,5
26,2
28,1
Pekerja upahan kasual
6,7
6,7
8,6
10,4
Total pekerja upahan
26,4
34,2
34,8
38,5
Bos/Majikan
0,7
1,4
3,0
2,9
Secara umum kita melihat peningkatan jumlah pekerja upahan, reguler atau kasual, dari total 26,4% pada tahun 1986 ke 38,5% pada tahun 2007, dan menurunnya jumlah pekerja sektor informal (pekerja berusaha sendiri dan pekerja keluarga/tidak dibayar) dari 73% ke 58,6%. Setelah krisis 1997, ada penurunan sedikit dalam pekerja upahan reguler ke 26% pada tahun 2003, tetapi lalu ini kembali ke level pra-krisis pada tahun 2005 dan meningkat ke 28% pada tahun 2007. Kita dapat melihat bahwa penurunan ini diserap oleh pekerja keluarga/tidak dibayar, dimana buruh yang dipecat bergantung pada keluarga mereka untuk pekerjaan dan sebagai gantinya diberikan ongkos hidup. Pekerja upahan reguler lebih umum dalam manufaktur dan pelayanan jasa. Lebih dari 40% buruh di sektor non-pertanian adalah pekerja reguler, dibandingkan dengan hanya 6% di pertanian. Kita juga menyaksikan sebuah pergeseran ke lebih banyak pekerja upahan reguler di sektor pertanian, dimana pada tahun 1986 hanya 0,3% dari pekerja pertanian adalah pekerja upahan, pada tahun 2007 ini menjadi 5,8%.[45] Kaum proletariat di Indonesia jelas sedang meningkat jumlahnya dan juga posisi ekonominya dalam sistem kapitalis.
Industrialisasi dan pertumbuhan kelas pekerja yang pesat juga telah menarik sejumlah besar kaum perempuan ke dalam barisannya. Walaupun perempuan-perempuan muda ini dieksploitasi secara brutal dan dipaksa pindah dari desa ke pabrik-pabrik, pekerjaan dan perjuangan mereka telah mengubah kehidupan, status sosial, dan kepercayaan diri dari kaum perempuan Indonesia yang dulunya dikenal penurut. Mereka bukan korban eksploitasi dan ketidakadilan yang pasif. Namun mereka telah menjadi agen perubahan sosial yang aktif, dan sering kali mereka lebih vokal dari rekan laki-laki mereka. Tidak sedikit dari mereka yang telah menjadi pemimpin buruh dan perjuangan.
Lapisan pekerja lainnya yang cukup penting adalah buruh migran Indonesia. Pada tahun 2008, jumlah buruh migran Indonesia adalah sekitar 5,8 juta, jumlah ini setara dengan setengah jumlah buruh di sektor manufaktur medium dan besar.[46] Mayoritas dari mereka adalah perempuan dan bekerja di sektor informal sebagai pembantu rumah tangga. Sisanya bekerja di sektor pertanian dan industri sebagai buruh harian. Buruh-buruh ini adalah sumber valuta asing yang penting, menghasilkan sebesar US$ 5 milyar pada tahun 2006[47], yakni dua kali nilai ekspor pertanian. Walaupun banyak dari mereka teratomisasi karena watak dari pekerjaan mereka, mereka telah mampu membentuk serikat-serikat buruh untuk berjuang demi hak-hak mereka.
Krisis 1997/1998 dan Reformasi
Tujuh tahun sebelum krisis ekonomi 1997, ada influks kapital yang besar ke dalam sektor swasta, dari US$ 314 juta pada tahun 1989 ke US$ 11,5 milyar pada tahun 1996, sebuah peningkatan 3500%.[48] Kapital swasta yang besar ini, kebanyakan darinya adalah kapital jangka pendek yang diinvestasikan ke sektor real-estate, menciptakan ekonomi gelembung yang meledak pada saat krisis finansial Asia 1997. Krisis sangat parah. Dari pertumbuhan pertahun rata-rata 7%, PDB riil berkontraksi hampir 14% pada tahun 1998. Rupiah anjlok dari Rp. 2.450 ke Rp. 14.900 terhadap dolar AS antara bulan Juni 1997 dan Juni 1998. Pemerintahan kapitalis, dengan bantuan dari reformis-reformis tulen, cepat membail-out bank-bank dan perusahaan-perusahaan finansial yang berjatuhan. Sebagai akibatnya, hutang publik pemeringah naik dari nol sebelum krisis menjadi US$ 72 milyar, sebuah jumlah besar yang harus dibayar oleh rakyat pekerja.
Investasi Asing Langsung (FDI) juga jatuh dengan tajam. MFDI sebesar US$ 5,6 milyar pada tahun 1996 berubah menjadi keluarnya FI sebesar US$ 4,6 milyar pada tahun 2000. Kapital swasta asing terus meninggalkan negeri sampai tahun 2004 dimana ini berdiri pada negatif US$ 1,5 milyar. FDI mulai masuk kembali pada tahun 2005, dan pada tahun 2006 ini berjumlah US$ 4,1 milyar.[49]
Setelah krisis, pertumbuhan tetap rendah dengan PDB riil tumbuh tidak lebih dari 5% pertahun selama 1997-2004, dan sekitar 5,5% pada tahun 2005-2006, dan 6,3% pada tahun 2007.
Figur 1. Pertumbuhan PDB di Indonesia[50]
Krisis ekonomi ini adalah jerami yang mematahkan punggung unta. 32 tahun pembangunan terurai secara eksplosif. Harga kebutuhan sehari-hari meroket. Supresi demokrasi menjadi semakin tidak tertahankan, dengan inside 27 Juli 1997 – penyerangan markas Partai Demokrasi Indonesia – menjadi titik balik. PDI dan Megawati menjadi titik persatuan untuk perjuangan demokrasi.
Rejim Soeharto ditumbangkan oleh massa. 32 tahun kediktaturan diremukkan dalam satu malam ketika jutaan rakyat turun ke jalan dan memaksa Soeharto untuk mundur. Namun, Reformasi membawa apa yang ditakdirkannya: reforma kosmetik dan bukan perubahan fundamental. Reforma di periode krisis ekonomi hanya dapat berarti konter-reforma, dan ini yang terjadi. Perusahaan-perusahaan milik negara diprivatisasi dan subsidi dihapus; agenda neo-liberal diimplementasikan dengan ganas. Reformasi memang memberikan ruang demokrasi, dan ini kendati para reformis. Namun, Reformasi juga membawa lebih banyak kebebasan kepada kaum kapitalis untuk mengeksploitasi massa.
Setelah 12 tahun, menjadi jelas bagi siapapun bahwa Reformasi gagal membawa perubahan fundamental ke dalam masyarakat. Walaupun Reformasi menghantarkan satu pukulan besar ke rejim kapitalis, memaksa Soeharto untuk mundur dan membuka ruang demokrasi – kendati ini adalah ruang demokrasi borjuis -, ia gagal menyelesaikan problem fundamental yang dihadapi oleh jutaan buruh, tani, nelayan, kaum muda, dan kaum miskin kota. Kemiskinan masih tinggi. Persentasi populasi yang hidup dengan 1 dolar per hari (kemiskinan ekstrim) pada tahun 1996 – puncak boom ekonomi Indonesia – adalah 7,8%, pada tahun 2006 angka ini menjadi 8,5%. Namun bila kita ambil garis kemiskinan 2-dolar-perhari, maka kemiskinan pada tahun 2006 melonjak ke 53%.[51] Ini berarti bahwa lebih dari setengah rakyat Indonesia hidup jauh di bawah PBD per kapita $3900 (angka tahun 2008). 10% penduduk termiskin hanya mengkonsumsi 3% kekayaan, sedangkan 10% penduduk terkaya mengkonsumsi 32,3%.[52]
Kegagalan Reformasi sangatlah mencolok sehingga bahkan massa rakyat mulai mengidamkan “masa lalu yang baik” di bawah Soeharto ketika kemiskinan lebih tertanggungkan dan ada semacam kestabilan. Di bawah kedok demokrasi, tingkat eksploitasi sebenarnya justru meningkat. Ini adalah logis, karena bagi kelas penguasa demokrasi berarti kebebasan untuk menindas. Sebagai konsekuensinya, agenda neo-liberal telah diimplementasikan lebih ganas dalam tahun-tahun belakangan. Banyak perusahaan dan properti negara yang sedang diprivatisasi. Subsidi negara dihapus. Tidak heran kalau rakyat letih akan situasi sekarang ini dan skeptis akan apa yang telah dibawa oleh Reformasi 1998.
Resesi Dunia 2008/2009
Indonesia tidak dapat lari dari pengaruh resesi dunia yang dipicu oleh krisis kredit perumahan di AS (Untuk analisa yang lebih dalam mengenai resesi dunia, baca Dokumen Perspektif Dunia 2010). Di Indonesia, ekonomi pada tiga kuartal pertama tahun 2008 dipenuhi dengan optimisme dan tumbuh di atas 6%, dan ketika resesi menghantam, berkontraksi ke 5,2% pada kuartal keempat. Hampir seperti krisis 1997, Rupiah mengalami 30% depresiasi terhadap dolar AS dalam dua bulan Oktober dan November 2008. Pasar saham kehilangan hampir setengah nilainya antara Januari 2008 (2627,3) dan Desember 2008 (1355,4)
Namun, Indonesia pulih dengan cepat dari resesi ini. Di paruh pertama tahun 2009, PBD Indonesia tumbuh 4,2%, terbesar di Asia Tenggara sementara negara-negara lain di wilayah yang sama mengalami penurunan PBD, Singapura -3,5%, Thailand -4,9%, dan Malaysia -5,1%. Pada tahun 2009, Indonesia mempos pertumbuhan PDB sebesar 4,5%, dengan pertumbuhan kuartal keempat yang impresif sebesar 5,4%. Selain itu, pada paruh pertama 2009, Bursa Efek Jakarta rebound dengan cepat, ketiga tercepat setelah Shanghai dan Mumbai. Pada akhir 2009, BEJ telah kembali ke nilai sebelum krisis.
Ekonomi Indonesia tidak terpukul oleh resesi separah negara-negara Asia Tenggara lainnya karena di dekade terakhir pertumbuhannya telah berdasarkan pada konsumsi domestik, dan bukannya perdagangan ekspor.
Figur 2. Konsumsi Domestik di Indonesia[53]
Faktor lainnya adalah bahwa nilai ekspor Indonesia hanyalah sekitar 25% dari PDB, sedangkan banyak negeri di Asia memiliki rasio ekspor terhadap PDB yang jauh lebih tingga. Dengan menurunnya pertumbuhan volume perdagangan global dari 8,1% pada 5 tahun terakhir sebelum krisis menjadi 4,1% pada tahun 2008 dan -12,2% pada tahun 2009, negeri-negeri yang bergantung pada ekspor terhantam segera dan lebih parah.
Figur 3. Bagian Ekspor dan Pertumbuhan PDB – Asia Timur Berkembang[54]
Eksposure yang terbatas terhadap krisis kredit perumahan AS juga melindungi sistem perbankan Asia dari shok awal krisis finansial ini. Dari total US$ 1,5 trilyun default kredit dan kerugian kredit yang tercatat di seluruh dunia semenjak Juli 2007, hanya US$ 39 milyar, atau sekitar 2,7%, datang dari institusi finansial Asia – kebanyakan datang dari Jepang dan Tiongkok.[55]
Selain itu, paket stimulus pemerintah yang berjumlah US$ 7,1 milyar (Rp. 73,3 trilyun) pada tahun 2009 juga telah mendorong konsumsi domestik. Pemerintah Indonesia akan melanjutkan paket stimulus sebesar Rp. 38,3 trilyun untuk tahun 2010.
Kesuksesan ini telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memproyeksikan pertumbuhan yang sangat optimis untuk lima tahun ke depan. Pada akhir Summit Nasional bulan Oktober 2009 yang dihadiri lebih dari 1300 pejabat dari pemerintah, kamar dagang asing, asosiasi pemilik modal, dsb., Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan bahwa pemerintah menargetkan pertumbuhan rata-rata ekonomi: 5,5-5,6 persen tahun 2010, 6,0-6,3 persen 2011, 6,4-6,9 persen 2012, 6,7-7,4 persen 2013, dan 7 persen 2014.
Namun ini bukan berarti bahwa buruh Indonesia selamat dari krisis. Pada bulan Februari 2009, Rizal Ramli dari think tank swasta Econit mengatakan bahwa dia mengestimasikan perusahaan-perusahaan telah memotong 800 ribu pekerjaan semenjak tahun lalu.[56] Kebanyakan pemecatan ini tercatat di industri manufaktur: tekstil, garmen, otomotif, sepatu, dan kertas. Hingga akhir tahun 2008, sekitar 250 ribu buruh migran telah dikirim pulang oleh majikan mereka.[57]
Kenyataan bahwa Indonesia pulih dengan cepat dari krisis ini bukanlah alasan untuk perayaan bagi kaum buruh dan tani. Brazil, Indonesia, India, Cina, dan Afrika Selatan (yang dinamai BIICS) dijunjung sebagai negara-negara yang mendorong pertumbuhan ekonomi dunia sementara seluruh dunia lainnya anjlok. Laporan terbaru dari OECD berjudul Going for Growth 2010 memberikan sebuah “nasihat” kepada pemerintah Indonesia untuk menghapus subsidi bahan bakar minyak. Pier Carlo Padoan, Deputi Sekjen dan Ekonom utama OECD, mengatakan bahwa penghentian subsidi BBM adalah salah satu kebijakan yang harus diambil oleh Indonesia: “India dan Indonesia masing-masing menghabiskan 10% dan 20% dari belanja pemerintah untuk subsidi, sebagian besar untuk subsidi energi. Bila harga BBM tetap rendah, tidak hanya pemborosan konsumsi yang terjadi tapi juga dapat berdampak buruk ke lingkungan.”[58] Ini adalah persiapan untuk pemotongan besar dalam pengeluaran publik yang dibutuhkan untuk menyeimbangkan defisit yang diciptakan untuk membail-out bank-bank dan perusahaan-perusahaan yang berjatuhan pada saat resesi ekonomi.
Selain itu, pada tahun 2009, pemerintah mengeluarkan UU 39/2009 yang mempromosikan pembentukan Zona Ekonomi Khusus untuk mendorong industri dengan melonggarkan aturan-aturan perburuhan dan lingkungan hidup, dan menyediakan subsidi untuk perusahaan-perusahaan, semua atas nama meningkatkan kompetisi di Indonesia. Semenjak diberlakukannya UU tersebut, 48 daerah telah mendaftar untuk ZEK ini. Pemerintah berencana untuk membangun lima ZEK di seluruh Indonesia hingga tahun 2012.[59]
Pada tanggal 1 Januari 2010, Indonesia, dengan sembilan negara ASEAN lainnya, meratifikasi ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) dimana ini akan mengurangi tarif lebih dari 7500 kategori produk, atau sekitar 90% dari barang impor, hingga nol. ACFTA adalah area perdagangan bebas terbesar dalam hal populasi, dengan sekitar 1,9 milyar penduduk, dan ketiga terbesar dalam hal PDB nominal. Menyusul ACFTA adalah ASEAN-India Free Trade Area (AIFTA) yang diharapkan akan jalan di Indonesia pada tanggal 1 Juni 2010, dan Indonesia akan berkomitmen mengurangi tarif impor sebesar 42,5%.
Kedua perjanjian perdagangan bebas ini akan membanjiri pasar Indonesia dengan barang-barang murah dari Tiongkok dan India, menghancurkan industri manufaktur dan pertanian Indonesia, dan menciptakan perlombaan ke bawah yang lebih parah tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh wilayah ASEAN-Cina-India. Perjanjian perdagangan bebas ini akan menyakiti kaum buruh dan tani dari seluruh wilayah ini. Namun solusinya bukanlah lebih banyak proteksionisme, karena perdagangan bebas dan proteksionisme di bawah kapitalisme adalah dua sisi dari koin yang sama. Kenyataannya, proteksionisme membawa kebijakan konter yang serupa dari negara-negara lain, menyebabkan kontraksi tajam bagi perdagangan dunia dan sebagai akibatnya sebuah kemerosotan global. Untuk negara-negara kurang berkembang seperti Indonesia, kebijakan proteksionis dari negara-negara kapitalis besar akan membuatnya kehilangan pasar ekspor dan menghancurkan industri di dalam negeri, dan mendorong jutaan buruh dan tani ke pengangguran.
Menilik dari situasi ekonomi global, yakni pemulihan ekonomi tanpa penciptaan lapangan kerja, proyeksi optimis dari pemerintahan SBY berdiri di atas pondasi yang rapuh. Walaupun secara formal resesi telah berakhir, efek dari resesi ini akan berkepanjangan dan pemulihan ekonomi tidak akan mulus. Pertama, resesi besar ini diatasi oleh negeri-negeri maju dengan menyuntik sebanyak US$ 11 trilyun, atau 1/5 output global, guna menyelamatkan ekonomi. Menurut IMF, hutang publik bruto dari sepuluh negeri terkaya akan menjadi 106% dari PDB. Angka ini adalah 78% pada tahun 2007. Defisit besar ini harus dibayar dengan memotong pengeluaran publik, yang akan berarti sebuah penurunan dalam konsumsi domestik di kebanyakan negeri-negeri kapitalis maju dalam tahun-tahun ke depan. Terlebih lagi, krisis overproduksi di negeri-negeri kapitalis maju adalah parah, dengan kapasitas produksi 30% lebih besar daripada kemampuan membeli konsumen. Ini berarti bahwa pemulihan ekonomi di negeri-negeri maju akan berlangsung tanpa penciptaan lapangan kerja. Selain mengurangi permintaan impor dari negeri-negeri Asia, ini juga akan mengurangi investasi asing. Hampir 50% investasi untuk perusahaan-perusahaan non-finansial di Indonesia datang dari kapital asing. Sebagai akibatnya, kita telah mulai menyaksikan banyak rencana-rencana investasi di Indonesia yang telah ditunda dan dibatalkan. Dengan penurunan investasi dan permintaan asing, kita akan melihat penurunan di dalam level produksi di Indonesia dan peningkatan tingkat pengangguran.
Era Baru
Krisis finansial 2008/2009 adalah krisis yang terbesar semenjak Depresi Hebat 1929. Secara ekonomi, sosial, dan politik, krisis ini akan meninggalkan sebuah bekas di dalam sejarah kapitalisme. Dunia tidak akan pernah sama lagi. Indonesia, yang terikat erat dengan kapitalisme global, tidak dapat lari dari krisis ini. Kapitalis seluruh dunia berjuang untuk mengatasi kontradiksi dari sistem mereka. Mereka akan memindahkan beban krisis ini ke pundak milyaran buruh dan tani.
Lebih dari 150 tahun yang lalu, Marx dan Engels menulis di Manifesto Komunis: “Dan bagaimanakah borjuasi mengatasi krisis-krisis ini? Pada satu pihak, dengan memaksakan penghancuran sejumlah besar tenaga-tenaga produktif, pada pihak lain, dengan merebut pasar-pasar baru dan menghisap pasar-pasar yang lama dengan cara yang lebih sempurna. Itu artinya, dengan membukakan jalan untuk krisis-krisis yang lebih luas dan lebih merusakkan, dan mengurangi cara-cara yang dapat mencegah krisis-krisis itu.”
Inilah yang sedang dilakukan oleh kaum kapitalis seluruh dunia. Pabrik-pabrik sedang ditutup dengan jutaan buruh dipecat (“memaksakan penghancurah sejumlah besar tenaga-tenaga produktif”) dan mereka yang masih beruntung memiliki pekerjaan mereka sedang dipaksa bekerja lebih keras dan lebih lama dengan bayaran yang lebih rendah. Ada kemerosotan dalam permintaan dunia dan kapitalis seluruh dunia dipaksa untuk membuka lebih banyak pasar baru dan membesarkan yang lama (“merebut pasar-pasar baru dan menghisap pasar-pasar yang lama dengan cara yang lebih sempurna”) melalui perjanjian-perjanjian perdagangan bebas dan segala macam skema ekonomi. Namun, kapital telah merasuk ke semua sudut dunia dan tidak ada lagi pasar yang baru yang bisa direbut. Dalam 50 tahun terakhir, kapitalisme telah berhasil menghindari krisis besar dengan membuka pasar-pasar baru (terutama di Cina, India, dan Rusia). Sebagai konsekuennya, ini telah “membukakan jalan untuk krisis-krisis yang lebih luas dan lebih merusakkan, dan mengurangi cara-cara yang dapat mencegah krisis-krisis itu.” Dan memang benar, sebuah krisis yang lebih besar sedang menanti kelas penguasa.
Montreal, 6 Juli 2010
[1] Karl Marx, “The Bourgeoisie and the Counter Revolution” Neue Rheinische Zeitung No. 169, December 1848.
[2] Karl Marx, Capital I (Moscow: Progress Publishers) 704.
[3] Marx, Capital I 703.
[4] George Masselman, The Craddle of Colonialism (New Haven: Yale University Press, 1963) 57.
[5] Masselman 59.
[6] Masselman 466.
[7] Marx, Capital I 705.
[8] Masselman 467-468.
[9] Karl Marx, Capital III (Moscow: Progress Publishers: 1974) 333.
[10] Marx, Capital I 707.
[11] Marx, Capital I, 707
[12] R.E. Elson, “Peasant Poverty and Prosperity Under the Cultivation System in Java,” Indonesian Economic History in the Dutch Colonial Era, ed. Anne Booth, et al. (New Haven: Yale University Southeast Asia Studies, 1990) 26.
[13] W.R. van Hoevel, Reis over Java, Madura, en Bali, in het midden van 1847 [Journey through Java, Madura, and Bali in the Middle of 1847] (Amsterdam: P.N. van Kampen, 1849-1851).
[14] Anon. “Launy on the Situation in Java,” Tijdschrift voor Nederlandsch Indie 1851, 13(2), 35-42.
[15] Fasseur C., Cultivation System and Colonial Profits: Dutch Exploitation of Java, 1840-1860 (Leiden: Universitaire Pers, 1975).
[16] G.R. Knight “The Peasantry and the Cultivation of Sugar Cane in Nineteenth-century Java: A Study from Pekalongan Residency, 1830-1870,” Indonesian Economic History in the Dutch Colonial Era (New Haven: Yale University Southeast Asia Studies, 1990) 49.
[17] Hiroyoshi Kano, Indonesian Exports, Peasant Agriculture, and the World Economy 1850-2000 (Athens: Ohio University Press, 2008) 34, 44, 52.
[18] Kano 165.
[19] Lenin, Imperialism: The Highest Stage of Capitalism (Moscow: Progress Publisher, 1975) 22.
[20] Lenin 22.
[21] Lenin 56.
[22] Kano 29.
[23] Kano 39.
[24] Kano 162.
[25] Kano 130.
[26] Malcolm Caldwell and Ernst Utrecht, Indonesia, An Alternative History (Sydney: Alternative Publishing Co-operative Limited, 1979) 35.
[27] Benjamin Higgins, Economic Development (New York: W.W Norton, 1969)
[28] Sultan Hamengkubuwono IX, quoted in J. Panglaykim and H.W. Arndt, Survey of Recent Developments, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 1966
[29] Castles, L. Socialism an Private Business: The Latest Phase, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 1965, No. 1, pp. 13-45
[30] Hal Hill, The Indonesian Economy (Cambridge: Cambridge University Press, 2000) 3.
[31] “The Prospects for and Strategic Implications of a Communist Takeover in Indonesia”, September 1, 1965. Prepared by the CIA, National Security Agency, Defense Intelligence Agency, and the State Department’s intelligence section
[32] John Roosa, Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Soeharto Coup D’Etat in Indonesia (Madison: The University of Wisconsin Press, 2006)
[33] Robert McNamara, In Retrospect: The Tragedy and Lessons of Vietnam, 1995.
[34] Kano 79, 92.
[35] Kano 98.
[36] Kano 100.
[37] Kano 104.
[38] Kano 92.
[39] Kano 100.
[40] Chris Manning, Indonesian Labour in Transition (Cambridge: Cambridge University Press, 1998) 62.
[41] Manning 108.
[42] Manning 215.
[43] Shafig Dhanani et al., The Indonesian Labour Market (New York: Routledge, 2009) 25.
[44] Dhanani 27.
[45] Dhanani 29.
[46] Dhanani 36.
[47] Dhanani 36.
[48] Kano 20.
[49] Dhanani 39.
[50] Indonesia, Biro Riset Ekonomi, Outlook Ekonomi Indonesia: Krisis Finansial Global dan Dampaknya terhadap Perekonomian Indonesia (Bank Indonesia, Januari 2009) 23.
[51] Dhanani 126.
[52] CIA World Fact Book.
[53] Indonesia, Biro Riset Ekonomi 23.
[54] The Asia Economic Monitor - July 2009, (Asian Development Bank) 5.
[55] The Asia Economic Monitor - July 2009 61.
[56] Adriana Nina Kusuma and Tyagita Silka, “Indonesia growth slips in Q4, risks job losses,” Reuters India, 16 February 2009.
[57] Dhanani 36.
[58] “RI diminta stop subsidi BBM bertahap,” Bisnis Indonesia 30 Maret 2010.
[59] “Pemerintah akan bangun 5 Kawasan Ekonomi Khusus,” tvOne [Yogyakarta] 11 Maret 2010
Sejarah Perkembangan Kapitalisme Indonesia
Langganan:
|