Abdelmajid Charfi; Islam dan Sejarah

Abdelmajid Charfi; Islam dan Sejarah
Oleh: A. Tajul Arifin

Pendahuluan
Secara teoretis, Islam adalah suatu agama dengan otoritas pengaturan yang tinggi, yakni suatu system keagamaan yang menawarkan aturan-aturan yang rinci dan komprehensif yang mengurus hamper segala aspek kehidupan manusia. Namun, proses kodifikasi aturan-aturan yang komprehensif tersebut tidak dapat dipisahkan dengan konteks, baik secara geografis, social dan lain-lain.
Untuk membaca peran kontekstualsasi dalam pembentukan system keagamaan Islam, maka dibutuhkan kajian melalui pendekatan historis, dengan demikian sejarawan menempati posisi penting, karena sangat mewarnai bahkan menentukan pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa sejarah yang diteliti, yang kemudian ditulis dalam karya-karya sejarahnya. Dalam konteks ini bias dikatakan bahwa history is what the historian makes.
Sejarah merupakan pengetahuan tentang kejadian-kejadian, peristiwa, dan keadaan kemanusiaan di masa lampau dalam kaitannya dengan keadaan masa kini. Yang menjadi bahan pokok sejarah adalah episode-episode dan peristiwa masa lampau. Sebagai kajian sejarah, produk sejarah merupakan hal yang sangat bermanfaat sekaligus menjadikannya sebagai salah satu sumber pengetahuan manusia dalam mengendalikan atau menatap masa depan.
Sebenarnya para pembaharu Islam dalam memakai pendekatan historis, bukanlah sesuatu yang baru, namun makalah ini mencoba menjelaskan kritik sejarah Abdelmajid Charfi, di dalam bukunya al-Islam bain al-Risalah wa-l-Tarikh ia berusaha untuk memisahkan inti risalah dari lapisan-lapisan urukan yang menumpuk sepanjang sejarah, dan mengajukan garis-garis besar konsepsi yang akan dapat menjadi dasar-dasar sebuah kesadaran baru Islam.




Biografi Abdelmajid Charfi
Abdelmajid Charfi lahir pada tahun 1942 di Sfax, mendapatkan gelar Doctor of Letters pada tahun 1982 di Tunisia. Charfi merupakan Profesor peradaban Arab dan pemikiran Islam, karirnya dimulai mengajar di almamaternya, sehingga pada tahun 1983-1986 ia mengepalai departemen bahasa Arab di ENS di Tunis, dan ditunjuk sebagai Dekan Fakultas Seni dan Ilmu Pengetahuan Tunisia dan juga pernah menjabat sebagai Penasihat Khusus Departemen Pendidikan Tinggi (1988-1989). Dia juga pernah menjadi dewan agregasi dari Arab 1995-1998. Selain itu, Abdel Charfi juga merupakan anggota Komite Evaluasi Nasional (1993-1996), anggota Dewan Ekonomi dan Sosial (1993-1997), UNESCO dibidang Perbandingan Agama (1999-2003), Fellow Wissenschaftskolleg zu Berlin (1999 -2000), seorang anggota Dewan Yayasan Arab untuk Modern Thought, menjadi dosen tamu di universitas di Paris IV, Lyon II, Roma (Sapienza PISAI), Berlin (Frei Universität), Leiden dan Jenewa.
Selain karirnya di bidang akademis abdel majid juga terlibat dalam dunia pers dan industri penerbitan: ia adalah anggota dewan redaksi jurnal: IBLAI (Tunisia), Islamochristiana (Roma), Arab Jurnal Hak Asasi Manusia ( Tunis), prolog, Studi Maghreb (Casablanca) dan editor Al Hadath "Ma'âlim" di Tunisia.
Sekilas Tentang Pemikiran A. Charfi
Dalam konteks kekinian, A. Charfi memberikan empat kategori terhadap masyarakat muslim dalam mengplikasikan faham keagamaannya. Pertama, sikap mempertahankan konsep-konsep dan aturan-aturan yang diwarisi oleh tradisi. Sikap ini pada prinsipnya diambil oleh para teolog tradisional, yang tetap terkungkung dalam model-model dan konsep-konsep masa lalu, dan lupa bahwa model-model dan konsep-konsep itu bisa jadi telah tidak ada lagi dalam masyarakat saat ini.
Kedua, sikap kaum salafiah baru dan para pemikir yang meyakini perlunya melampaui rujukan tradisional Al-Qur’an, mereka menerima kemungkinan melakukan reaktualisasinya dan mengembangkan ajaran-ajaran yang diambil darinya. Sikap ini, yang sejak seabad lalu menampilkan keberanian tertentu, tidak dapat mnyelesakan persoalan saat ini, karena tidak didasarkan pada landasan-landasan teori yang jelas. Kerentanannya jelas terlihat pada kenyataan bahwa hasilnya terus-menerus dipersoalkan.
Ketiga, terlihat dengan jelas kecenderungan yang diwakili oleh gerakan-gerakan islamis kontemporer, penganutnya tidak menerima bahwa kenyataan telah menjauh dari apa yang merek pegang sebagai ketentuan teks suci, dank arena itu mereka berupaya untuk mengubah kenyataan itu sesuai dengan pengertian harfiah atas teks, kelompok dalam aliran ini didominasi oleh pengkhutbah dan teolog. Pengaruh mereka pada dasarnya dirasakan pada lingkungan-lingkungan dan generasi-generasi yang mendapat akses pada apa yang disebut sebagai modernitas yang terpotong-potong.
Keempat, hanya Mahmoud Muhammed Taha yang mengambil sikap berbeda dengan sikap-sikap di atas, ketika ia mengakui bahwa Al-Qur;an dalam surat-surat makkiah mengandung sebuah risalah universal yang ditunjukkan kepada seluruh manusia, sementara dalam surah-surah madaniah ia menyampaikan sebuah risalah yang ditujukan pada ummat yang terbentuk pada masa itu di madinah. Kaum muslim dengan demikian harus mengembalikan lagi sejarah ajaran-ajaran yang diberikan surah-surah madaniah dan mengikut prinsip-prinsip yang diujarkan dalam surah-surah makkiah.
Walaupun A. Charfi memberikan empat kategori dalam sikap keagamaan, namun charfi juga mengkritik empat wacana tersebut, dengan alasan dari ke empatnya telah terkungkung dalam skema-skema statis dan tidak sampai didudukkan kembali dalam dinamika sejarah. Oleh karena itu, pendapat-pendapat itu tidak dapat mencapai kepaduan yang mereka cari maupun membangun platform-platform bagi gerak maju masyarakat Muslim.
Dalam pendekatan historisnya, unsure-unsur yang wajib menjadi pedoman adalah teks dan kontekstual, sehingga dua point ini menjadi syarat wajib untuk melakukan penelitian yang objektif. Tidak heran ketika A. Charfi dalam bukunya al-Islam bain al-Risalah wa-l-Tarikh mengkritik Ibnu Khaldun, ketika membicarakan persoalan agama, “tertangkap basah” mengalah kepada sebuah prinsip semena-mena yang dipaksakan oleh tradisi keulamaan di zamannya. Sebenarnya, ketika itu Ibnu Khaldun tegah menginventarisasi sumber kekeliruan dalam narasi para sejarawan, tetapi dia terlihat mundur ketika yang menjadi persoalan adalah kisah-kisah yang merupakan dasar tertentu dari sitem norma dan aturan keagamaan. Dia berdalih bahwa para penulis kisah itu tidak lebih daripada sekedar pencatat teks dan bahwa niat baik mereka tidak dapat dipersoalkan. A. Charfi menyatakan bahwa peneliti zaman sekarang berkewajiban menentang ibnu Khaldun yang pengecut, dan menerapkan secara ketat dan tanpa terkecuali aturan-aturan dan metode-metode ilmu pengetahuan kemanusiaan dan social modern.

Islam; antara Tradisi Sejarah dan Modernisasi
Tidak dapat dipungkiri bahwa, membahas masalah Islam tidak akan perah luput dari sejarah kehidupan Rosulullah, karena produk hukum Islam berawal pada zaman Rosulullah. Kehidupan Nabi bukanlah kumpulan mitos,meskpun ingatan kolektif telah mengubah hal itu dan mewarnainya dengan legenda-legenda yang dipinjam dari dunia khayal masa itu. Al-Qur’an menawarkan elemen yang memberikan gambaran hidup dari Nabi. Al-Qur’an mengandung petunjuk-petunjuk yang berharga, terutama mengenai pertanyaan yang menjadi sangat sensitive bagi kaum muslim, dan sangat disayangkan ketika Al-Qur’an ditafsirkan oleh ulama yang menganggap penafsirannya adalah yag benar.
Dalam urutan peristiwa sejarah, tahap pertama yang penuh dengan konsekuensi dan sangat membebani masa depan Islam adalah ketika Rosulullah telah tiada, dan kaum muslimin harus menghayati iman mereka dan melanjutkan kehidupan umat tanpa kehadirannya. Pada masa awal Islam, kenabian Muhammad selain berfungsi sebagai penyampai firman Tuhan, juga sekaligus menjadi penafsir yang otoritatif terhadap Al-Qur’an dengan hadis sebagai bentuk formalnya. Ketika muncul persoalan pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an pada masa itu, langsung ditanyakan kepada nabi. Atau, kalaupun ada sahabat yang turut serta menafsirkan, tafsir yang dihasilkannya harus mendapat justifikasi dari Nabi agar bias operasional.
Sementara itu, kesadaran keagamaan kaum muslimin awal ketika itu masih kental dengan argument-argumen dogmatis. Ketika muncul persoalan pemahaman Al-Qur’an, hamper semuanya dikembalikan pada keyakinan adanya pelajaran (ibrah) atau hikmah yang diselipkan Allah dalam ayat-ayat tersebut.
Baru kemudian setelah masa Nabi, sedikit demi sedikit persoalan hermeneutis mengemuka, ini terkait denan kebutuhan mendapatkan jawaban atas berbagai problem actual yang belum pernah terjadi pada masa sebelumnya. Sumber-sumber sejarah menunjukkan bahwa mereka merasa kehilangan akal pada saat itu, karena tidak memiliki aturan eksplisit untuk menghadapi keadaan itu, dan reflek-reflek politiklah yang dominan saat itu. Memang kenabian telah mengubah distribusi politik secara mendasar, tidak mungkin lagi kembali pada keadaan sebelumnya. Demikian pula halnya dengan keputusan-keputusan penting pertama yang diambil pada saat itu, dan menjadi acuan jangka panjang dalam suatu komunitas. Perluasan Negara muslim melalui penaklukan bukanlah sebuah tindakan keagamaan, melainkan politik. Sebenarnya, Islam tidak memerlukan penaklukan untuk dapat tersebar, dan bisa dengan cara yang lebih positif di jalan kedamaian.
Charfi menemukan kembali benang merah berbagai tradisi terlupakan yang kini jauh terlibat masuk akal dan lebih sesuai dengan ukuran-ukuran nalar modern, ini dilakukan oleh Charfi karena beranggapan bahwa wahyu yang turun, sebenarnya terjadi melalui interiorisasi dari konteks yang terjadi pada masa nabi. Sehingga, ketika masa kenabian telah berakhir, secara otomatis membuka peluang untuk berijtihad yang sesuai dengan etika universal, sehingga kesan Islam Sholih li kulli zaman wa al-makan tetap terjaga.
Ijtihad yang dilakukan A. Charfi, mencoba menjawab tuntutan-tuntutan kaum muslimin saat ini dan esok, yang terperangkap dalam kondisi-kondisi kehidupan modern dan hidup dalam sebuah dunia yang ditentukan oleh revolusi ilmu pengetahuan dan tekhnologi, yang sangat berbeda dengan dunia saat Islam lahir dan mengakar sejarah.
Ijtihad dalam konteks kekinian sangat berbeda dengan pemahaman terdahulu yang hanya menggunakan tkhnik-tekhnik khas, seperti penyimpulan, analogi dan lain sebagainya. Usaha penelitian yang ditawarkan A. Charfi bertujuan menemukan, sedapat mungkin, pelajaran-pelajaran dari risalah nabi di seberang tradisi-tradisi yang telah menafsirkan dan membentuknya. Jadi ia tidak berangkat dari dalil-dalil yang oleh tradisi keulaman Islam dianggap sebagai dasar dalam melakukan ijtihad. Sebaliknya, ia tidak segan-segan untuk mempertanyakan data-data itu sendiri, bahkan menyingkirkannya, walaupun itu pendapat dari tokoh-tokoh besar warisan Islam.
Melalui usaha ini, A. Charfi seolah-olah ingin membersihkan meja dari segala hal yang telah dihasilkan umat, jadi tujuannya bukanlah membangun kembali ortodoksi dengan membuag ketidakmurnian yang dihasilkan praktik popular, sebagaimana yng pernah dilakukan oleh gerakan pembaharuan. Tujuannya adalah mencoba menyesuaikan kesadaran keagamaan dengan kenyataan hidup yang dialami. Bukan membangun kembali suatu ortodoksi, karena intelektual hari ini tidak lagi mempunyai peran pembimbing atau contoh bagi umat.

Kesimpulan
Konsentrasi A. Charfi dibidang akademis, setidaknya menelurkan sebuah metode dalam pembaharuanIslam, kritik sejarah yang dilakukan olehnya memberikan inspirasi terhadap pemikir-pemikir diabad modern. Selain itu, metodologi yang dilakukannya sangat komprehensif sehingga hasil kajiannya, terkesan kritis karena mencoba membuka wawasan baru terhadap apa yang selama ini telah menjadi konsumsi dalam dialektika Islam.
Ini dilakukan Charfi, juga dalam rangka mengkritik kaum salaf yang terkesan mengekang umat islam dengan produk ijtihad yang telah lama dihasilkan, walaupun produk ijtihad tersebut tidak lagi cocok dalam konteks kekinian. Secara tegas A. Charfi menjelaskan bahwa, semenjak Rosulullah wafat, secara alami ijtihad sangat diperlukan dalam menjawab setipa persoalan-persoalan baru yang belum muncul ketika masa Rosulullah, sehingga tidak ada kata paten dalam dialektika Islam, karena beriringan dengan perkembangan zaman akan menuntut pula terhadap pembaharuan Islam untuk menjawab tantangan global.









DAFTAR PUSTAKA

- Filali-Ansary, Abdou. Pembaruan Islam Dari Mana Dan Hendak Kemana?, Machasin (terj.), Bandung: Mizan, 2009

- Latif, Yudi. Dialektika Islam; Tafsir Sosiologis atas Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia, Yogyakarta & Bandung: Jalasutra, 2007

- Minhaji, Akhmad. Sejarah Sosial dalam Studi Islam, Yogyakarta: SUKA Press, 2010

- Mutanhari, Murtadha. Masyarakat dan Sejarah, Bandung: Mizan, 1986

- Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, Yogyakarta & Bandung: Jalasutra, 2007

- http://www.jeuneafrique.com/Articles/Dossier/ARTJAJA2508p020-027.xml6/abdelmajid-charfi-islamabdelmajid-charfi.html

Template by : Kendhin x-template.blogspot.com