Membangun Partai Revolusioner untuk Revolusi Indonesia

Membangun Partai Revolusioner untuk Revolusi Indonesia

Revolusi Proletariat Indonesia, yang saya definisikan sebagai titik balik dalam proses pembangunan kemanusiaan yang selama ini didominasi oleh kekuatan modal kapitalis untuk digantikan oleh kekuatan massa buruh, masih tampak seperti bayang-bayang. Bayang-bayang semu ini tercipta bukan karena tidak adanya radikalisasi massa buruh atau kurangnya kesadaran untuk melakukan perlawanan. Ini terbentuk karena belum adanya partai revolusioner yang mampu mengemban tugas-tugas historis kaum proletar untuk mengambil alih kekuasaan.

Dalam pengertian ini, sebuah partai revolusioner bukan hanya sekedar sebuah organisasi, sebuah nama, sebuah panji, sebuah koleksi individu-individu, atau sebuah aparatus. Partai revolusioner adalah pertama-tama program, metode, ide, dan tradisi -- setelah itu, sebuah organisasi dan aparatus.

Kolonialisme yang pernah berkuasa lebih dari tiga abad di negeri ini telah berganti nama menjadi Imperialisme, yang artinya sama dengan kolonialisme modern, yakni neo-kolonialisme. Eksploitasi dan obyektifikasi terhadap kaum buruh samasekali belum pernah mengalami arus surut. Kekayaan alam yang sebenarnya menjadi hak rakyat secara nyata dirampok oleh sekelompok besar modal asing. Rakyat Indonesia hanya bisa menyaksikan tebaran debu yang menyembur dari galian tambang dan asap pekat yang keluar dari cerong-cerobong pabrik. Inikah kemerdekaan? Inikah demokrasi?

Selama berpuluh-puluh tahun di negara-negara kolonial dan eks kolonial rakyat telah menunjukkan watak beraninya untuk melawan. Dari waktu ke waktu kelas buruh di banyak negara, termasuk di Indonesia, telah melakukan transformasi revolusioner di masyarakat. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka tidak rela menjadi budak di negeri sendiri; mereka ingin mewujudkan sosialisme untuk menghancurkan kekuatan modal yang selama ini memporak-porandakan harkat kemanusiaannya. Namun, perjuangan ini di banyak waktu dan di banyak tempat, selalu menemui kegagalan dalam mencapai cita-cita sosialisme tersebut. Selanjutnya, gelombang demoralisasi dan disorientasi dengan cepat menyambar semangat para pemimpin kelas ini. “Percuma dengan semua ini,” umpat mereka. “Mimpi sosialisme hanyalah utopia orang-orang kiri!”

Ini harus menjadi pelajaran penting, bahwa untuk meraih kekuasaan, tidaklah cukup hanya dengan mempersiapkan buruh menuju pertempuran. Jika hanya itu persoalannya, pastilah kelas buruh sudah bisa memenangkan pertempurannya di banyak negara, termasuk di Indonesia. Mengapa? Karena jumlah massa buruh di banyak negara jauh lebih besar dengan jumlah buruh yang ada di Rusia saat terjadi Revolusi Oktober 1917. Ternyata bukan jumlah dan persiapan matang dalam pertempuran yang menjadi masalah. Tetapi masalahnya bahwa buruh membutuhkan sebuah partai dengan kepemimpinan yang revolusioner dan kebijakan kelas yang tegas. Dan jika menolak kenyataan yang elementer ini, berarti siap-siap untuk menuai kekalahan kembali. Seperti yang pernah dikatakan Marx berpuluh-puluh tahun yang lalu, bahwa tanpa sebuah organisasi yang revolusioner, kelas buruh hanyalah bahan mentah bagi eksploitasi.

Belajar dari kekalahan masa lalu kelas buruh, pastilah akan terkait dengan teori dan kebijakan. Teori “dua tahapan” Stalinis merupakan hal yang cukup memainkan peran kriminal yang berakibat kekalahan di masa itu. Contoh paling tragis mengenai kriminalitas dari teori “dua tahapan” tersebut adalah apa yang pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1965. Di tahun 1960-an, Partai Komunis Indonesia (PKI), merupakan kekuatan yang sangat diperhitungkan. PKI adalah partai komunis terbesar di dunia di luar Blok Soviet, dengan tiga juta anggota dan sepuluh juta lainnya yang berafiliasi dengan serikat-serikat buruh dan serikat-serikat tani. Bahkan PKI mengklaim memiliki dukungan dari tentara sebesar 40 persen. Kekuatan sebesar ini tidak dimiliki oleh Bolshevik di saat mengorganisir Revolusi Oktober. Artinya, saat itu, dengan mudah PKI bisa mengambil alih kekuasaan dan mulai melakukan transformasi ke arah sosialis. Namun kenyataannya malah berbalik. Rakyat buruh dan tani tidak dilatih untuk merebut kekuasaan tetapi dilatih untuk membuntuti Soekarno dan kaum borjuis nasional progresif, untuk menunggu gilirannya. Dan alhasil ketika digebuk oleh kekuatan reaksioner Soeharto PKI dan massa rakyat tidak mampu melawan balik dan sebaliknya menunggu perlindungan dari Soekarno yang pada saat itu de facto sudah kehilangan kekuasaannya.

Ini bukan persoalan kekuatan yang tidak solid atau kesadaran buruh yang masih tumpul. Ini persoalan kebijakan yang buruk dari kepemimpinan PKI: meninggalkan kebijakan kelas dan menukarnya dengan membentuk aliansi demokratik dengan kaum borjuis – dengan Soekarno dan para pemimpin nasionalis-borjuis yang fasih menggunakan fraseologi “kiri”. Apakah hari ini kita akan mengulanginya dengan kesalahan yang sama?

Tentu tidak ingin. Tragedi 65 menjadi pelajaran yang sangat penting, bahwa kesalahan dalam kebijakan politik akan berakibat buruk bagi pembangunan sebuah partai revolusioner. Massa buruh dan rakyat grassroot bisa saja dengan mudah dimobilisasi dan dibenturkan dengan lawan; kesadaran buruh bisa saja dengan secepat kilat berubah menjadi radikal dalam momentum-momentum tertentu. Namun, kebijakan politik yang jauh dari tugas-tugas nyata yang dihadapi oleh kelas buruh akan menjadi sebuah tragedi kemanusaiaan yang sangat fatal.

Meskipun kesalahan-kesalaan ini cukup nyata dan sering dipelajari dalam gerakan-gerakan buruh saat mengevaluasi strategi dan taktiknya, masih banyak elemen-elemen oportunis yang ingin menjerumuskannya kembali ke jurang ngarai kekalahan. Hal yang cukup mengkhawatirkan kita hari ini adalah munculnya wacana dari para pemimpin serikat buruh untuk membentuk “blok dan front demokratik” dengan kaum borjuis “progresif”. Tumbuhnya dan mulai maraknya gagasan “dua-tahap” di kalangan para pemimpin serikat buruh ini mengindikasikan adanya disorientasi dan lemahnya level politik mereka.

Alasan utama dari gagasan ini adalah bahwa ini merupakan upaya untuk mengkontekstualisasikan sebuah gagasan revolusioner di dalam realitas kekinian – merelevansikan sebuah teori ke dalam praxis. Menurut mereka, pembangunan “koalisi demokratik” ini merupakan tahapan yang rasional ke arah revolusi demokratik, dan, tentunya, menuju ke arah sosialisme. Dari watak prosesnya dengan jelas terlihat justru lebih buruk dari watak teori “dua tahapan” Stalinis, meskipun terlihat agak soft dan elegan. Dengan gagasan ini bukan kemenangan yang akan mereka dapatkan, tetapi penyerahan kekuatan kepada sekelompok borjuasi untuk kepentingan mereka sendiri.

Ini merupakan gagasan yang sempit dari para pemimpin serikat buruh, karena dengan sengaja membiarkan dirinya terseret di arus yang kuat dengan harapan memperoleh “kenyamanan” bagi dirinya sendiri. Inilah yang pernah dilakukan oleh PKI dan ironisnya lalu dilanjutkan oleh PRD yang kini telah memeluk Pancasila dan Bung Karnoisme sebagai prinsipnya, yakni membuat blok dengan apa yang mereka sebut borjuis nasional progresif.

Dalam pembangunan partai revolusioner guna menciptakan revolusi di Indonesia, hal utama dan penting adalah bagaimana partai ini kuat dalam program, ide, metode, tradisi, dan barulah kemudian aparatus. Para pemimpin partai harus tetap terpisah dan menjaga jarak dengan berbagai macam lelucon demokratik-borjuistik. Sikap tegas ini pernah diserukan oleh Lenin ketika mendengar tumbangnya Tsar dan berdirinya Pemerintahan Sementara yang dipimpin Kerensky. Dari pengasingannya di Swiss, Lenin mengirim surat lewat telegram kepada para pimpinan Bolshevik Petograd:

“Taktik kita: berkurangnya kepercayaan secara mutlak; jangan dukung pemerintahan baru; curigai khususnya Kerensky; persenjatai proletariat sebagai satu-satunya jaminan; pemilihan secepatnya bagi pemilihan Duma Petograd; jangan melakukan pendekatan dengan partai-partai lain.”

Ini jelas, bahwa partai revolusioner sejati yang mengemban kemandirian kelas sangat dibutuhkan untuk membangun gerakan buruh yang kuat dan mampu mengambil alih kekuasaan di masa depan. Bolshevik pimpinan Lenin mampu menumbangkan kekuatan Tsar dan menjadi ikon dari sebuah revolusi besar sepanjang jaman adalah karena kebijakan kelasnya yang konsisten. Ilusi-ilusi demokratik yang disemburkan dari mulut kaum borjuis seperti roti yang di dalamnya bertabur racun, yakni cepat atau lambat akan membunuh kita.

Partai revolusioner harus berani membuang elemen-elemen oportunis dan merekrut kader-kader yang teguh dalam pendirian kelasnya serta militan dalam perjuangan buruh.

Template by : Kendhin x-template.blogspot.com