Neoliberalisme dan Perjuangan Buruh

Neoliberalisme dan Perjuangan Buruh


Perbincangan mengenai nasib buruh tidak akan pernah mendapati ujung ketika kompetisi modal diberi ajang yang lebar, ketika sistem memberikan penghormatan terhadap kepemilikan pribadi. Dan eksploitasi membabibuta terhadap buruh bisa diawali dari fakta ini, dimana buruh sudah dipandang sebagai komoditas yang bebas diperlakukan untuk melipatgandakan keuntungan dari modal yang telah ditanam.

Tragis, tentu inilah jawaban kita. Karena ini penggambaran betapa rendahnya penghargaan terhadap nilai kemanusiaan. Ungkapan-ungkapan agung yang sering kita dengar dalam kitab-kitab suci seperti cinta kasih, derma, keadilan, integritas, persamaan, dll. kini benar-benar telah sirna, terbang, mendebu, tersapu arus keserakahan para pengenggam kekuatan modal.

Deskripsi faktual di atas memberi penegasan teologis dan filosofis bahwa ada perubahan besar di dalama cara kerja manusia dalam membangun pedababan. Benar, Marx, dalam The Communist Manifesto, yang ditulis pada abad ke-19, telah menyatakan bahwa sejarah semua masyarakat, baik dahulu maupun kini, adalah sejarah perjuangan kelas, yakni antara penindas dan yang ditindas, namun nilai-nilai kemanusiaan masih bisa kita jumpai dalam banyak ruang. Tapi hari ini kita akan menemui hal yang samasekali berbeda. Seluruh ruang, jalan, garis, bahkan tempat yang paling dianggap sakral pun, sudah menjadi tempat kegiatan penambangan keuntungan – tempat untuk melipatgandakan modal.

Ini sebuah pergeseran yang fundamental. Mengapa? Pertama, hari ini, pondasi nilai yang menjadi landasan bagi manusia untuk bertindak hari ini benar-benar hancur, menjadi serpihan-serpihan buram; kedua, hari ini, harkat kemanusiaan telah meluruh, sejajar dengan harkat barang. Dan kondisi buruk ini, yang tampak mata, yang secara nyata keberadaannya telah dikomoditaskan, adalah kaum buruh.

Kaum buruh, yang dihargai selayaknya komoditas ini, yang secara sosiologis bukanlah sebuah kelas yang bebas, kondisinya semakin hari semakin bertambah buruk. Ini berlaku di banyak negara, terutama di negara terbelakang seperti Indonesia, dimana buruh menghadapi tantangan berat globalisasi dan neo-liberalisme yang meniscayakan migrasi bebas modal dan tenaga kerja di seluruh dunia.

Kaum buruh di Indonesia yang mayoritas pekerja industri (the blue collar) yang tidak memiliki keunggulan kompetitif dipastikan akan menjadi komoditas kekuasaan modal yang bernilai jual rendah. Sehingga ketika terjadi fase liberalisasi ketenagakerjaan lintas negara, kaum buruh di Indonesia akan gagal bersaing dan tersisih.

Realitas ekonomi-politik dengan putaran globalisasi neoliberal akan berdampak sosio-ekonomi-politis bagi kehidupan kaum buruh di Indonesia. Angka kemiskinan permanen akan melanda kehidupan kaum buruh di Indonesia yang ber-upah murah. Karena kaum buruh yang posisi tawarnya rendah akan terjebak dalam skenario politik upah murah sedangkan laju harga kebutuhan hidup semakin menanjak karena desakan privatisasi dan liberalisasi.

Neoliberalisme merupakan sebuah ideologi dan sekaligus strategi. Poin penting dari neoliberalisme adalah menciptakan buruh murah demi akumulasi modal yang berlipat. Neoliberalisme, sebagai sebuah strategi, mengusahakan terselenggaranya swastanisasi (privatisasi), pemotongan bantuan makanan dan perumahan, melipatgandakan penjara, perayaan hukuman mati, memecah belah serikat buruh, memagari tanah, upah rendah, keuntungan lebih tinggi, terorisme keuangan, menggantikan orientasi ekspor dengan pembangunan impor, mobilitas kapital bebas, memecah belah imigran, menonjolkan rasisme, anti gerakan feminis, mengintensifkan perang terhadap petani, mempercepat komodifikasi alam atas nama kebebasan, efisiensi dan keuntungan. Semua ini tentu bukan untuk kemakmuran bersama, tetapi untuk sekelompok pemilik modal besar dan pengendali kekuasaan.

Istilah ini memang sudah familiar di kalangan buruh, namun secara detail, susah untuk dipahami. Friedman, 1962, memberi arti pada istilah ini sebagai ‘kemerdekaan’ atau ‘kebebasan’ (freedom). Menurut peraih nobel dalam bidang ekonomi tahun 1976 tersebut, dalam bukunya, Capitalism and Freedom, yang juga dianggap sebagai salah satu penggagas ide-ide neoliberalisme, freedom adalah konten inti dari neoliberalisme. Menurutnya, kemerdekaan ekonomi merupakan keharusan untuk menuju kemerdekaan politik.

Tentu, ini sangat menggelikan. freedom adalah kata yang mengundang banyak tafsir, tergantung siapa yang menafsirkan. Jika yang menafsirkan para pemilik modal, freedom, sudah barangjadi, sebuah kebebasan untuk merampok kekayaan banyak orang melalui legalitas-legalitas yang dibayar; bebas mengendalikan kekuasan, atau paling tidak ikut campur dalam pembuatan kebijakan-kebijakan, karena mereka memiliki sejumlah besar kekuatan.

Istilah yang sering kita dengar dari neoliberalisme, dan ini menjadi acuan perlawanan bagi kaum buruh, adalah paham yang menekankan jaminan terhadap kemerdekaan dan kebebasan individu melalui pasar bebas, perdagangan bebas, dan penghormatan terhadap sistem kepemilikan pribadi. Dan perlawanan kaum buruh melalui serikat-serikat buruh merupakan ancaman besar bagi mereka. Sebisa mungkin mereka akan melakukan intervensi dalam pembuatan kebijakan perburuhan, atau, siap membayar para pembuat UU perburuhan yang merugikan kaum buruh. Akibatnya, dampak dari penerapan kebijakan neoliberalisme ini, terjadi pergeseran hubungan kerja antara buruh dengan perusahaan dari hubungan kerja yang bersifat tetap menjadi hubungan kerja bersifat kontrak atau tidak tetap. Secara legal, pergeseran itu tertuang dalam UU. No. 13/2003.

Di bawah syarat-syarat kerja yang baru, kehidupan buruh kontrak ini lebih buruk dari sebelumnya, karena buruh kontrak sering mendapatkan upah jauh di bawah ketentuan upah minimum. Selain itu, buruh kontrak juga tidak memperoleh cuti haid dan melahirkan, cuti tahunan, serta cuti berobat ke rumah sakit. Jika buruh kontrak sakit dan tidak bisa masuk kerja, otomatis pendapatan mereka berkurang, dan siap-siap diputus kontraknya secara sepihak. Buruh kontrak juga tidak diperbolehkan untuk bergabung dengan serikat buruh di tingkat pabrik, jika melanggar ketentuan ini, mereka bisa gigit jari karena perusahaan bisa memecatnya kapan pun. Ya Allah!

Melihat fakta yang menyakitkan ini, membangun serikat buruh progresif, membangun kesadaran politik dan kesadaran kelas, adalah hal yang perlu. Gerakan Buruh di Indonesia selama beberapa tahun terakhir sepertinya telah mengalami disorientasi dan kemandekan radikalisme sosialnya. Gerakan buruh yang menjadi kekuatan pendobrak kediktatoran Orde Baru diakhir 90-an meredup menjadi sekadar gerakan kritis atas kebijakan politik perburuhan yang anti-kepentingan buruh. Banyak serikat atau organisasi buruh yang semula mekar tumbuh di awal reformasi sekarang hidupnya kembang kempis. Di negeri ini mungkin hanya 1-2 serikat buruh yang memiliki basis massa progresif, visi, ideologi, kesadaran kelas, dan platform politik yang jelas.

Untuk membangun basis massa progresif, visi, ideologi, kesadaran kelas, dan platform politik yang jelas serta untuk mencapai kemenangan dalam perjuangan pembebasan buruh bukanlah hal yang mudah. Para organiser buruh harus mampu menganalisa faktor-faktor obyektif dan subyektifnya. Faktor-faktor obyektif berarti terkait dengan kondisi riil penindasan yang tengah dihadapi buruh. Sedangkan factor-faktor subyektif terkait dengan kesiapan untuk melakukan perlawanan, panggung-panggung politik seperti apa yang harus diciptakan, dan sudah sejauh mana capaian buruh atas kesadaran politik dan kelasnya.

Hal penting yang sering terjadi dan perlu segera diantisipasi, bahwa para kader pegiat gerakan buruh seringkali terilusi oleh jargon-jargon “demokrasi” yang diluncurkan oleh beberapa organisasi progresif yang sebenarnya para kaki tangan pemilik modal. Demokrasi liberal yang cenderung memberi peluang bagi segelintir pemilik modal sudah tidak relevan sebagai basis pijak dalam membebaskan buruh dari penindasan struktural ini. Ketika mekanisme pengelolaan modal masih didominasi oleh kepentingan segelintir orang niscaya buruh tetap akan menjadi bahan mentah untuk dieksploitasi. Oleh sebab itu, lompatan jauh secara politik dan ekonomi merupakan jalan terakhir yang susah untuk ditawar lagi. [ ]

Template by : Kendhin x-template.blogspot.com