KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM PEMILU MENUJU PERWUJUDAN DEMOKRASI DAN PENEGAKAN HAM

KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM PEMILU MENUJU PERWUJUDAN DEMOKRASI DAN PENEGAKAN HAM

(Analisis Aktualisasi Prinsip-prinsip Universal Declaration Of Human Rights 1948
dan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan 1979
Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rayat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah)

Oleh Muhammad Fatikhun, S.Ag

PENDAHULUAN
Kehidupan umat manusia terbagi menjadi berbagai kelompok masyarakat atau bahkan Negara. Umat manusia berkelompok karena didasari antara lain oleh suku, ras, agama, kesamaan tujuan dan latar belakang lainnya, sehingga terbentuklah suatu kelompok masyarakat, yang dalam skala lebih besar menjadi sebuah Negara. Didalam kelompok masyarakat atau Negara tersebut (karena memiliki latar belakang yang berbeda-beda), memiliki norma, aturan, nilai dan etika yang disepakati bersama, dalam rangka mengatur kehidupan diantara anggota kelompok masyarakat tersebut.
Keberadaan kelompok masyarakat dan/atau Negara itu tidak lepas dari proses dinamika sebagaimana kehidupan umat manusia yang mengalami perkembangan dan perubahan. Secara umum perkembangan itu dimulai dari masyarakat tradisional, menjadi masyarakat modern. Proses modernisasi terus berlangsung dalam kehidupan umat manusia, sehingga manusia memasuki era postmodern. Ternyata dinamika kehidupan umat manusia tidak berhenti sampai pada era postmodern, dan kemudian memasuki sebuah era yang disebut dengan globalisasi.
Globalisasi adalah adanya proses pada kehidupan umat manusia menuju masyarakat yang meliputi seluruh bola dunia. Proses ini dimungkinkan dan dipermudah oleh adanya kemajuan dalam teknologi, khususnya teknologi kamunikasi dan transportasi. Dalam masyarakat umat manusia yang global itu akan terjadi pola-pola hubungan sosial yang berbeda dari sebelumnya. Kemudahan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, dan jaringan komunikasi yang menjangkau setiap pelosok hunian, akan terjadi interaksi antar anggota dan antar kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda.

Dalam konteks interaksi yang demikian, terjadi pertemuan atau silang antar budaya (norma, nilai atau etika dari suatu kelompok masyarakat). Pada proses berikutnya, dengan intensitas komunikasi dan interaksi yang tinggi, maka dapat menciptakan komunitas global, atau dengan kata lain, ada pendapat yang mengatakan bahwa seluruh umat manusia sedang menuju terbentuknya masyarakat paguyuban (gemeinschaft), karena umat manusia akan hidup dalam sebuah "desa buwana" (global village)[1].
Konsekuensi dari kehidupan yang demikian adalah dibutuhkannya system nilai atau norma universal yang dapat dijadikan sebagai acuan bersama bagi seluruh anggota masyarakat dengan latar belakang suku, ras dan budaya bahkan Negara yang berbeda, namun tidak mengesampingkan atau menghilangkan system nilai, norma atau aturan (hukum) yang berlaku berdasarkan latar belakang masyarakat tersebut. Dengan demikian system nilai, norma atau aturan (hukum) yang diberlakukan dalam suatu kelompok masyarakat atau Negara harus mengacu kepada system nilai dan norma universal yang telah disepakati.
Dewasa ini, terdapat beberapa nilai atau norma universal dalam bentuk Deklarasi atau Konvensi, dan lain-lain. Seperti, Deklarasi Universal Hak-hak Azasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights), 1948. Deklarasi tersebut harus diterapkan dalam system kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bagi setiap Negara terutama yang telah menandatangani dan meratifikasi deklarasi atau konvensi tersebut. Dan teraktualisasikan dalam segala kebijakan, peraturan maupun hukum (undang-undang) yang diberlakukan.
Indonesia adalah Negara modern, dan menjadikan Pancasila sebagai dasar Negara. Dalam konstitusinya dengan tegas menggariskan bahwa salah satu ciri dari System Pemerintahan Indonesia adalah menganut azas Negara hukum (rechstaat) dan bukan Negara kekuasaan (machtstaat). Menurut Friedman sebagaimana dikutip oleh Prof. DR. H. Dahlan Thaib, SH, M.Si., Negara hukum identik dengan rule of law dan mengandung arti pembatasan kekuasaan oleh hukum[2]. Oleh karena itu, segala kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah, harus didasarkan pada hukum yang berlaku dan/atau diaktualisasikan dalam atau menjadi suatu aturan hukum yang kemudian juga harus ditaati oleh pemerintah.
Selain itu, Indonesia juga merupakan Negara yang masuk menjadi anggota PBB, dengan sendirinya Indonesia menerima dan menyetujui yang dibuktikan telah menandatangani dan/atau merativikasi Deklarasi Universal Hak-hak Azasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights). Semua sila dalam Pancasila melahirkan kewajiban kita harus berusaha menegakkan Hak-hak Azasi Manusia, terutama sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Ditambah lagi dengan penerimaan dan keterikatan kita kepada butir-butir dalam Deklarasi HAM tersebut. Sehingga setiap kebijakan, peraturan dan hukum (peraturan perundang-undangan) yang ada di Indonesia, harus mencerminkan penerapan atau aktualisasi dari deklarasi atau konvensi yang telah dirativikasi.
Bertitik tolak dari hal tersebut isu Demokrasi dan HAM menjadi sangat populer. Isu demokrasi mendorong percepatan dalam proses demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan menuntut pula demokratisasi dalam regulasi system politik dan pemerintahan di Indonesia. Begitu pula isu HAM mendorong percepatan akan penegakan HAM yang menuntut persamaan dan keadilan hak antar warga Negara dimata hukum dan pemerintahan, termasuk kesetaraan dan keadilan gender.
Salah satu pintu awal (starting point), yang dianggap cukup efektif bagi penegakan demokrasi dan HAM adalah politik. Selama pemerintahan Orde Baru, isu Demokratisasi dan HAM nyaris tidak terdengar. Sejak gelombang reformasi meletus, isu ini menjadi sangat popular dan memunculkan harapan baru bagi terciptanya penegakan demokratisasi dan HAM. Karena jalur politik dianggap efektif dalam penegakan isu tersebut, maka Pemilu yang JURDIL dan Demokrtis menjadi prasyarat utama. Pada Pemilu 1999 menjadi pemilu yang berbeda dibanding dengan pemilu sebelumnya, dan dianggap pemilu yang lebih demokratis dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Proses menuju penegakan demokrasi dan HAM terus berlanjut, menuntut perbaikan dan penyempurnaan aturan hukum (perundang-undangan). Sehingga Pemilu 2004, juga menjadi pemilu yang secara substantive mengalami perbedaan baik pada sistemnya maupun penyelenggaraannya. Termasuk pada kurun waktu tersebut, menghasilkan beberapa produk hukum yang diidealkan dapat menjamin bagi tegaknya demokrasi dan HAM.

PERMASALAHAN
Dari latar belakang permasalahan tersebut diatas, kami akan membahas: “adakah pengaruh Instrumen hukum Internasional tentang penegakan Demokrasi dan HAM, khususnya mengenai keterwakilan perempuan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan sejauhmana aktualisasi dari hal tersebut.

PEMBAHASAN
Indonesia Sebagai Negara Demokrasi
Demokrasi yang memiliki arti pemerintahan oleh rakyat adalah suatu proses budaya dalam usaha menjabarkan konsep kekuasaan dari masyarakat. Demokrasi lahir, berakar dari proses dialektika kebudayaan dari masyarakat untuk menjawab tantangan yang dihadapkan kepadanya pada setiap tahap kemantapan perkembangannya, memberi ruang gerak yang cukup luas kepada masyarakat untuk sewaktu-waktu mengkaji kemantapan tersebut.
Maka proses demokrasi merupakan bagian dari proses kebudayaan, karena ia merupakan kekuatan yang menggerakkan proses membentuk sosok baru dari suatu konsep kekuasaan, yang dianggap dapat menggantikan konsep lama yang dirasakan telah usang oleh suatu masyarakat. Demikianlah Negara-kota Athena di Yunani melahirkan konsep "demokrasi" dari suatu proses dialog filsafat antara warganya yang memiliki tradisi kuat dalam berfilsafat dan bertukar pikiran. Dengan tradisi tersebut, Negara-kota yang kecil itu berhasil melaksanakan konsep yang mereka sebut sebagai "pemerintahan" (kekuasaan) oleh "rakyat"[3].
Ciri-ciri pokok demokrasi adalah, pertama, berciri kedaulatan rakyat. Rakyatlah yang berdaulat (sovereign) dan berhak bersuara. Hak bersuara ada yang bersifat langsung, dan ada juga yang melalui badan-badan perwakilan yang anggotanya dipilih oleh rakyat (representative democracy). Kedua, berciri musyawarah untuk mufakat, bias dengan suara bulat (concensus), bias pula dengan suara terbanyak (mayority vote). Ketiga, berciri pemikulan tanggung jawab atas pikiran dan perbuatan diri (accountability)[4].
Ciri-ciri demokrasi itu bermuara pada terbukanya partisipasi politik bagi masyarakat umum. Dalam partisipasi politik, terbuka kesempatan bagi berbagai kelompok masyarakat yang berbeda keadaan sosial-ekonomi dan etnik-budaya, mengungkapkan kepentingannya melalui kelembagaan politik yang tersedia untuk bisa mempengaruhi perumusan kebijakan nasional yang akan diterapkan dalam kerangka pembangunan nasional.
Dengan melihat ciri-ciri yang demikian, Indonesia secara konstutusional dan procedural adalah termasuk Negara demokrasi. Hal ini tercermin dalam dalam UUD 1945 yang berbunyi "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Demokrasi yang dipilih di Indonesia adalah Demokrasi Pancasila, atau dalam Pancasila, prinsip demokrasi itu terungkap dalam sila keempat.
Dalam Demokrasi Pancasila, suatu system politik demokratis dengan sendirinya mencakup nilai hidup kemanusiaan yang adil dan beradab. Kemanusiaan dalam Pancasila bukanlah sekedar kemanusiaan, melainkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Kemanusiaan pancasila itu berporos pada prinsip persamaan umat manusia (egalitarianisme). Bentuk egalitarianisme ialah prinsip equality membership, keanggotaan yang sama, tanpa diskriminasi, tidak membedakan latar belakang, suku, ras, agama dan gender, dalam masyarakat.
T.H. Marshall, sebagaimana dikutip oleh Nurcholis Madjid, menjelaskan bahwa prinsip persamaan ini memiliki tiga komponen primer, yaitu : komponen kewargaan (civil), politik dan sosial. Komponen primer pertama meliputi jaminan tentang apa yang disebut "hak-hak alami" (natural rights), yang oleh John Lock dirumuskan sebagai "kehidupan, kebebasan, dan pemilikan" (life, liberty, and property). Semua itu kemudian dikembangkan dan dirinci dalam Deklarasi Prancis tentang Hak-hak Manusia (Declaration des Droits de l'Homme) dan dalam Undang-undang Amerika tentang Hak-hak (American Bill of Rights).
Karena komponen primer civil itu, maka demokrasi tidak mungkin tanpa ditegakkannya Hak-hak Azasi Manusia. Indonesia sebagai anggota PBB juga harus memperhatikan prinsip-prinsip yang diungkapkan dalam dokumen Universal Declaration Of Human Rights. Demokrasi menuntut adanya persamaan warga di depan hokum, serta ditegakkannya hokum itu sendiri.
Komponen primer kedua, yaitu "politik" warga Negara, berfokus pada pelaksanaan pemilihan demokratis. Mula-mula prinsip persamaan warga Negara diperkenalkan oleh system politik Yunani kuno hanya dalam lingkup Negara-kota. Lalu, Revolusi Prancis menerapkan prinsip itu untuk pemerintahan masyarakat dalam skala besar, yaitu Negara nasional, dan untuk semua orang, tanpa diskriminasi. Sementara itu, mustahil bagi suatu pemerintahan, termasuk yang modern, untuk memberi hak yang benar-benar sama dalam partisipasi nyata secara langsung kepada pribadi warga Negara. Maka perkembangan konsep itu lebih lanjut menuju kearah penciptaan lembaga-lembaga perwakilan seperti tercantum dalam sila keempat Pancasila. Di situ persamaan politik dipusatkan pada seleksi pimpinan pemerintahan paling atas, umumnya lewat partisipasi dalam suatu system pemilihan. Dalam pemilihan atas dasar egalitarianisme, tidak dianut pandangan dan praktek bahwa nilai suara seseorang atau sekelompok pemilih tertentu lebih penting daripada nilai suara seseorang atau kelompok yang lain. Tanpa mempedulikan suatu kedudukan seseorang dalam masyarakat, nilai suara seseorang itu adalah mutlak sama dengan nilai suara orang lain manapun juga. Semua itu berkembang menuju kepada prinsip satu orang warga Negara satu suara (one man, one vote), baik berkenaan dengan akses pemilihan maupun dalam timbangan nilai masing-masing suara untuk menentukan hasil pemilihan.
Komponen primer yang ketiga, yaitu "social". Komponen ini sebenarnya, merupakan komponen yang paling fundamental, dan komponen ini selaras dengan konstitusi kita yang menyatakan keadilan social bagi seluruh rakyat sebagai tujuan. Dalam kaitan ini, yang harus direlisasikan adalah para anggota masyarakat harus diberi kesempatan yang tidak saja bersifat formalistic, tetapi juga realities, untuk berkompetisi dengan harapan yang masuk akal untuk dapat mencapai hasil. Begitu pula, masyarakat juga harus memberi perlakuan khusus kepada pihak-pihak yang lemah, yang secara inheren tidak mampu berkompetisi. Mereka (pihak-pihak yang lemah) sebenarnya merupakan kelompok yang sangat terhalang untuk mampu berkompetisi akibat sesuatu yang bukan kesalahan mereka sendiri, seperti kaum miskin yang terdidik, harus dibela nasib mereka dengan penuh kesadaran dan dibantu untuk mampu berkompetisi[5].
Konsep Demokrasi Pancasila, dengan sendirinya mengandung konsekwensi penegakan HAM, dimana HAM itu mencakup nilai hidup kemanusiaan yang adil dan beradab yang berporos pada prinsip persamaan umat manusia (egalitarianisme). Artinya, Negara (pemerintah) harus menjamin tegaknya HAM bagi seluruh masyarakat. Penegakan tersebut harus teraktualisasikan dalam setiap peraturan/perundang-undangan. Maka peraturan perundang-undangan yang diterbitkan harus mengacu pada nilai-nilai yang telah disepakati bersama antar bangsa. Sebab nilai-nilai tersebut kemudian menjadi sumber hukum yang juga harus diterapkan, terutama oleh Negara yang meratifikasinya.

Sumber Hukum Internasional
Sumber hukum dalam ilmu hukum, termasuk dalam hukum internasional menempati posisi sentral, penting dan fundamental. Hal ini terkait dengan kedudukan sumber hukum yang berfungsi sebagai dasar/landasan berlakunya satu aturan hukum. Ketepatan atau sebaliknya kesalahan dalam penentuan sumber hukum dapat mengakibatkan dampak yang cukup jauh, karena itu, posisinya hampir sama dengan “dalil” dalam ilmu eksakta yang harus mendapat perhatian bersama. Sumber-sumber hukum internasional muncul melalui konsensus subyek-subyek hukum internasional sehingga sumber-sumber hukum internasional ada dan berkembang dalam masyarakat internasional[6].
Ada dua sumber hukum, yaitu sumber hukum formal dan sumber hukum material.
1. Sumber hukum formal
Yang dimaksud dengan sumber formal adalah faktor yang menjadikan suatu ketentuan menjadi ketentuan hukum yang berlaku umum. Sumber hukum formal itu adalah proses yang membuat suatu ketentuan menjadi ketentuan hukum yang berlaku umum. Dengan kata lain, sumber hukum formal adalah proses yang membuat suatu ketentuan menjadi ketentuan hukum positif [7].
2. Sumber hukum material
Yaitu faktor yang menentukan isi ketentuan hukum yang berlaku. Sumber hukum materiil itu adalah prinsip-prinsip yang menentukan isi ketentuan hukum yang berlaku[8]. Prinsip hukum merupakan ketentuan yang mengatur tingkah laku orang dalam masyarakat secara umum. Prinsip hukum dijabarkan secara rinci dalam bentuk ketentuan hukum. Prinsip hukum itu di Indonesia antara misalnya, Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam perwakilan permusyawaratan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Seperti halnya hukum pada umumnya, Hukum Internasional juga mengenal sumber hukum formal dan sumber hukum material[9].
1. Sumber Hukum formal Hukum Internasional
Sumber hukum formal bagi Hukum Internasional adalah perjanjian internasional (treaty) dan kebiasaan internasional (International custom). Di masa lalu sebagian besar Hukum Internasional terdiri dari hukum kebiasaan internasional. Namun sekarang hukum kebiasaan internasional sebagai sumber hukum formal tidak lagi mampu menetapkan ketentuan-ketentuan Hukum Internasional yang diperlukan dalam pergaulan masyarakat internasional. Oleh karena itu peranan perjanjian internasional sebagai sumber hukum formal sekarang menjadi bertambah penting dalam memenuhi kebutuhan Hukum Internasional yang diperlukan, hal ini proses pembentukan aturan Hukum Internasional dengan menggunakan lebih cepat dibandingkan dengan hukum kebiasaan internasional.
2. Sumber hukum material Hukum Internasional
Sumber hukum materiil Hukum Internasional adalah prinsip-prinsip yang menentukan isi ketentuan Hukum Internasional yang berlaku. Prinsip-prinsip tersebut misalnya, bahwa setiap pelanggaran perjanjian menimbulkan kewajiban untuk memberikan ganti rugi, bahwa korban perang harus diperlakukan secara manusiawi, dan sebagainya. J.G. Starke menguraikan bahwa sumber-sumber hukum materiil hukum internasional dapat didefinisikan sebagai bahan-bahan aktual yang digunakan para ahli hukum internasional untuk menetapkan hukum yang berlaku bagi suatu peristiwa atau situasi tertentu.[10] Pada garis besarnya bahan-bahan hukum tersebut dapat digolongkan menjadi lima bentuk yaitu kebiasaan, traktat, keputusan pengadilan dan badan arbitrase, karya-karya hukum, keputusan atau ketetapan organ/lembaga internasional. Para ahli Hukum Internasional pada umumnya membahas sumber-sumber Hukum Internasional dengan bertitik tolak pada Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional, yang berbunyi:
“The court, whose function is to decide in accordance with international law such disputes as are submitted to it, shall apply:
International conventions, whether general or particular, establishing rules expressly recoqnized by the contesting state; (Perjanjian internasional, baik bersifat umum maupun khusus yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara yang bersengketa)
International custom, as evidence of a general practice accepted as law (Kebiasaan-kebiasaan internasional, sebagai bukti dari satu kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum)
the general principle of law of law recoqnized by cililized nations (Prinsip Hukum Umum yang diakui bangsa yang beradab)
subject to the provisions of article 59, judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination of rule of law (Keputusan Pengadilan dan Ajaran-Ajaran sarjana-sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan dalam menetapkan kaidah-kaidah hukum).
Pasal ini walaupun tidak dimaksudkan mengatur tentang sumber-sumber Hukum Internasional, namun pada prakteknya digunakan oleh para ahli sebagai sumber hukum formal dalam Hukum Internasional, karena di dalam pasal tersebut disebutkan lima kategori hukum yang sering dikenal dalam ilmu hukum dan digunakan dalam praktek hubungan internasional.
Dalam perkembangannya, sumber hokum internasional menjadi lebih kompleks yang kemudian mendorong para sarjana menambah daftar panjang dari sumber yang sudah ada, misalnya kebiasaan internasional, perjanjian internasional, keputusan pengadilan, doktrin atau pendapat para sarjana, keputusan atau resolusi-resolusi organisasi internasional, dll[11].

Pengakuan dan Perlindungan HAM Di Indonesia
Perkembangan hukum tentang HAM internasional tentu tidak dapat diabaikan begitu saja oleh Pemerintah Indonesia. Norma-norma HAM tertentu, terutama yang dimuat dalam konvensi-konvensi yang diprakarsai PBB, banyak yang kemudian dipandang sebagai standar minimum bagi perlindungan HAM di seluruh dunia. Norma-norma demikian dalam masyarakat internasional diterima sebagai prinsip hukum umum maupun hukum kebiasaan internasional, sehingga harus ditaati oleh semua negara. Oleh karena itu sering tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak meratifikasi konvensi-konvensi HAM tertentu, terutama yang dianjurkan PBB.
Bagi Indonesia ratifikasi konvensi-konvensi HAM akan menambah kepercayaan masyarakat internasional akan komitmen Indonesia terhadap HAM. Seringkali hubungan internasional Indonesia, terutama dengan Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya, baik hubungan-hubungan ekonomis maupun politis, masih mensyaratkan perbaikan perlindungan HAM di Indonesia. Dengan meratifikasi konvensi-konvensi HAM, akan memperlancar hubungan internasional Indonesia.
Ratifikasi konvensi-konvensi HAM juga diharapkan dapat memperkuat jaminan perlindungan HAM di Indonesia. Karena latar belakang masyarakat Indonesia yang sangat komunal di masa lalu, menyebabkan hak-hak individu kurang diperhatikan. Oleh karena itu, untuk mencapai keseimbangan antara kepentingan umum dan kepentingan perseorangan, maka bagi masyarakat Indonesia yang historis selalu mengedepankan kepentingan umum, kini yang harus diperhatikan adalah kepentingan perseorangan dan HAM. Jika hak-hak individual kurang diperhatikan, maka kewajiban-kewajiban individu terhadap masyarakat dan negara tidak akan dapat terlaksana dengan baik.
Peningkatan perlindungan HAM di Indonesia akan dapat meningkatkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah, sehingga akan mengurangi protes-protes yang didasarkan pada HAM. Hal ini akan membantu menciptakan keamanan dan ketertiban umum, sehingga tercapai stabilitas nasional. Keamanan dan ketertiban menurut konsep negara hukum kesejahteraan (welfarestate) seperti dianut pula oleh Indonesia, tidak berarti hanya sekadar tiadanya gangguan terhadap keamanan dan ketertiban umum, tetapi juga mensyaratkan adanya kesejahteraan rakyat dan terjaminnya hak-hak perseorangan.
Sebagaimana diketahui bahwa Negara Indonesia didirikan diatas prinsip Negara hukum. Menurut Mahfud MD, penerimaan Indonesia atas prinsip Negara hukum ini bukan hanya karena bunyi penjelasan UUD 1945 yang pada kunci pokok pertama Sistem Pemerintahan Negara menyebutkan bahwa “Indonesia aialah Negara yang berdasarkan hukum (rechtstaat)…” melainkan juga karena alasan-alasan lain seperti yang dituangkan dalam Pembukaan maupun di dalam Batang Tubuh UUD 1945 sendiri. Baik isi pembukaan maupun Batang Tubuh secara tegas menyebut adanya prinsip demokrasi dan pengakuan serta perlindungan HAM[12].
Secara ideal, Hak Azasi Manusia adalah nilai yang universal. Universalitas HAM itu sejalan dengan kecenderungan dan insting manusia dimanapun. Jadi, HAM itu merupakan rumusan berbagai hak dasar yang inheren dalam diri setiap manusia. Oleh karena itu manusia membutuhkan perlindungan dan aktualisasi hak-hak asasinya[13]. Perlindungan dan aktualisasi itu antara lain dituangkan dalam konstitusi, sehingga konstitusi tersebut tidak boleh membatasi HAM, melainkan justru memberikan perlindungan dari terjadinya pelanggaran HAM oleh siapapun, baik oleh wrganegara maupun pemerintah.
Indonesia termasuk Negara yang menandatangani dan meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia1948. Dalam pasal 44 Piagam HAM (Lampiran II Tap MPRXVII/MPR/1998 tentang HAM) menyatakan, “untuk menegakkan dan melindungi Hak Asasi Manusia sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan pelaksanaan HAM dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Atas dasar ketentuan inilah dikeluarkan UU 39/1999 tentang HAM.
Namun sebenarnya persoalan HAM tidak cukup dengan sekadar menerbitkan Undang-undang. Apabila kita katakan bahwa Pancasila dan UUD 1945, sudah terkandung didalamnya terdapat nilai-nilai HAM, namun kenyataan yang terjadi, banyak sekali terjadi pelanggaran HAM bahkan secara massif. Atas hal ini, Soetandyo, sebagaimana dikutip oleh Mahfud MD, mengatakan bahwa UUD 1945 tidak berbicara apapun tentang HAM kecuali dalam dua hal yakni sila kedua Pancasila yang meletakkan prinsip “kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” dan pasal 29 UUD 1945 yang menderivasikan prinsip kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah pasal lain yang selama ini dianggap sebagai jaminan perlindungan bagi HAM seperti pasal 27 dan pasal 28 UUD 1945 sebenarnya lebih merupakan pengakuan atas Hak Asasi Warga (HAW) yang partikularistik[14].
Secara akademis, berbeda antara HAM dan HAW, sebab jika HAM mendasarkan diri pada paham bahwa secara kodrati manusia itu mempunyai hak-hak bawaan yang tidak dapat dipindah atau diambil oleh siapapun. Sedangkan HAW hanya mungkin diperoleh jika seseorang menjadi warga Negara dari suatu Negara.
Terlepas dari kontrofersi mengenai konsep HAM yang terdapat dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, tidak ada salahnya pernyataan tersebut diatas. Namun yang jelas Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia sudah ditandatangani, dan Indonesia telah ikut menandatangani serta meratifikasinya. Kemudian menjadi kewajiban bagi pemerintah dan warga Negara Indonesia untuk merealisasikannya.
Dalam mukaddimah deklarasi tersebut kita dapat memahami konsep HAM, antara lain disebutkan:
Menimbang bahwa pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan mutlak dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di dunia”.
Menimbang bahwa mengabaikan dan memandang rendah hak-hak asasi manusia telah mengakibatkan perbuatan-perbuatan bengis yang menimbulkan rasa kemarahan hati nurani umat manusia, dan terbentuknya suatu dunia tempat manusia akan mengecap kenikmatan kebebasan berbicara dan beragama serta kebebasan dari ketakutan dan kekurangan telah dinyatakan sebagai cita-cita tertinggi dari rakyat biasa,
Menimbang bahwa hak-hak asasi manusia perlu dilindungi oleh peraturan hukum supaya orang tidak akan terpaksa memilih pemberontakan sebagai usaha terakhir guna menentang kelaliman dan penindasan,
Menimbang bahwa pembangunan hubungan persahabatan antara negara-negara perlu digalakkan,
Menimbang bahwa bangsa-bangsa dari Perserikatan Bangsa-Bangsa sekali lagi telah menyatakan di dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa kepercayaan mereka akan hak-hak dasar dari manusia, akan martabat dan nilai seseorang manusia dan akan hak-hak yang sama dari pria maupun wanita, dan telah bertekad untuk menggalakkan kemajuan sosial dan taraf hidup yang lebih baik di dalam kemerdekaan yang lebih luas[15].
Dari mukaddimah tersebut dijelaskan mengenai “pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan mutlak dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di dunia”. Pengingkaran terhadap hak dasar tersebut, akan mengakibatkan penistaan terhadap kehidupan manusia, dan oleh karenanya hak dasar tersebut harus dilindungi.
Demikian pula yang tertuang dalam pasal demi pasal dari deklarasi tersebut, harus mencerminkan pengakuan akan harkat dan martabat manusia. Beberapa pasal yang perlu kami angkat berkaitan dengan tema tulisan ini adalah sebagai berikut:
Pasal 1
Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan.
Pasal 2
Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Pernyataan ini tanpa perkecualian apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain.
Di samping itu, tidak diperbolehkan melakukan perbedaan atas dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilayah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain.
Pasal 7
Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Pernyataan ini dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam itu.
Pasal 21
1. Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya, secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas.
2. Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negerinya.
3. Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala dan jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum dan yang tidak membeda-bedakan, dan dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara-cara lain yang menjamin kebebasan memberikan suara.
Pasal 29
1. Setiap orang mempunyai kewajiban terhadap masyarakat tempat satu-satunya di mana ia memperoleh kesempatan untuk mengembangkan pribadinya dengan penuh dan leluasa.
2. Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang layak terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
Pasal 30
Tidak satu pun di dalam Pernyataan ini boleh ditafsirkan memberikan sesuatu Negara, kelompok ataupun seseorang, hak untuk terlibat di dalam kegiatan apa pun atau melakukan perbuatan yang bertujuan untuk merusak hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang mana pun yang termaktub di dalam Pernyataan ini.
Memperhatikan mukaddimah dan pasal demi pasal deklarasi tersebut, Nampak tegas bahwa setiap manusia baik laki-laki mapun perempuan, berlatar belakang apapun, memiliki Hak yang sama. Oleh karenanya, menjadi keharusan bagi bangsa Indonesia yang telah ikut menandatangani dan merativikasi deklarasi tersebut untuk menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut dan mengaktualisasikannya kedalam setiap peraturan perundang-undangan yang diterbitkan. Kebijakan atau peraturan perundang-undangan tersebut tentunya harus mencerminkan isi dari deklarasi tersebut, dan tidak boleh kontraproduktif dengannya.
Kesetaraan “Gender” dan Keterwakilan Perempuan Dalam Pemilu : Perwujudan Demokrasi dan Penegakan HAM
Perempuan memiliki hak sama di dalam konteks kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Oleh karena itu, segala bentuk yang mengarah pada ketidakadilan berarti melanggar hak-hak perempuan. Selain dalam deklarasi Hak-hak Asasi Manusia, terdapat juga beberapa konvenan atau deklarasi yang khusus tentang perlindungan terhadap hak-hak perempuan.
Yaitu Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan Disetujui Majelis Umum PBB, 18 Desember 1979. Oleh Pemerintah Indonesia diratifikasi menjadi UU No. 7/1984 tentang Pengesahan konvensi tersebut 24 Juli 1984.
Dalam konfensi tersebut, ditegaskan bahwa:
“diskriminasi terhadap perempuan” berarti setiap perbedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan perempuan[16].
Karena diskriminasi terhadap perempuan merupakan pelanggaran terhadap HAM, maka menurut konfensi tersebut Negara memiliki kewajiban sebagai berikut :
1. Mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuknya dan menjalankan kebijaksanaan menghapus diskriminasi terhadap perempuan, melalui: Pencantuman asas persamaan antara pria dan perempuan dalam UUD atau perundang-undangan dan peraturan lainnya. Perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan dan jaminan pengadilan nasional yang kompeten, perubahan dan penghapusan UU, peraturan, kebiasaan, dan praktek diskriminatif terhadap perempuan, serta. Pencabutan semua ketentuan pidana yang diskriminatif terhadap perempuan.
2. Membuat peraturan di semua bidang, khususnya di bidang politik, sosial, ekonomi, dan budaya, untuk menjamin perkembangan dan kemajuan perempuan serta pelaksanaan dan penikmatan HAM dan kebebasan-kebebasan pokok atas dasar persamaan dengan pria.
3. Membuat peraturan khusus sementara untuk mempercepat persamaan “de facto” antara pria dan perempuan, termasuk untuk melindungi kehamilan.
4. Membuat peraturan untuk mengubah pola tingkah laku social dan budaya pria dan perempuan untuk menghapus prasangka, kebiasaan, dan praktek yang berdasarkan inferioritas/ superioritas salah satu jenis kelamin atau peranan stereotip bagi pria dan perempuan. Membuat peraturan untuk menjamin bahwa pendidikan keluarga dan pemeliharaan anak terutama berdasarkan pertimbangan kepentingan anak.
5. Membuat peraturan untuk memberantas segala bentuk perdagangan perempuan dan eksploitasi pelacuran[17].
Sedangkan Hak-hak Perempuan yang dimaksud, khususnya dalam bidang social politik dan kenegaraan, antara lain :
a. Dalam kehidupan politik dan kemasyarakatan:
(1) Hak memilih dan dipilih.
(2) Hak berpartisipasi dalam pemerintahan.
(3) Hak berpartipasi dalam organisasi dan perkumpulan non-pemerintah.
b. Hak mewakili pemerintah pada tingkat internasional dan berpartisipasi dalam pekerjaan organisasi internasional.
c. Hak memperoleh, mengubah, atau mempertahankan kewarganegaraan[18].
Pada masa pemerintahan Soekarno, Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitemennya terhadap hal tersebut yang ditunjukkan dengan terbitnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 68 Tahun 1958 Tentang Persetujuan Konvensi Hak-Hak Politik Kaum Wanita yang disahkan pada tanggal 17 Juli 1958.
Undang-undang ini meratifikasi Konvensi hak-hak politik kaum wanita, dan hanya sebagian yang dibuang yaitu pasal 2, dan kalimat terakhir pasal VII dan pasal IX seluruhnya konsepsi hak-hak politik kaum wanita dianggap sebagai tidak berlaku bagi Indonesia.
Undang-undang ini baik batang tubuh maupun penjelasannya sangat tegas, pada pasal I dijelaksan bahwa:

Pasal I menyebutkan: Wanita akan mempunyak hak untuk memberikan suaranya dalam semua pemilihan-pemilihan dengan syarat-syarat yang sama dengan pria, tanpa suatu diskriminasi. Pada Penjelasan Pasal ini disebutkan bahwa pasal tersebut sesuai dengan pasal 23 ayat 1, Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia, yang menyatakan; Setiap warga-negara berhak turut-serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil-wakil yang dipilih dengan bebas menurut cara yang ditentukan oleh Undang-undang"[19].

Pasal II menyebutkan: Wanita akan dapat dipilih untuk pemilihan dalam semua badan-badan pilihan umum, yang didirikan oleh hukum nasional, dengan syarat-syarat sama dengan pria, tanpa suatu diskriminasi. Pasal ini sesuai dengan pasal 60 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia, yang menyatakan: "Yang boleh menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat ialah warga-negara yang telah berusia 25 tahun dan bukan orang yang tidak diperkenankan serta dalam atau menjalankan hak pilih ataupun orang yang haknya untuk dipilih telah dicabut"[20].

Pasal III menyebutkan: Wanita akan mempunyai hak untuk menjabat jabatan umum dan menjalankan semua tugas-tugas umum, yang didirikan oleh hukum nasional, dengan syarat-syarat sama dengan pria, tanpa diskriminasi. Pasal ini sesuai dengan pasal 23 ayat 2 dari Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia, yang menyatakan: "Setiap warga-negara dapat diangkat dalam tiap-tiap jabatan Pemerintah"[21].
Pada masa pemerintahan Soeharto (Orde Baru), nampaknya sangat tidak memperhatikan hak-hak politik wanita, sehingga kita saksikan disana-sini terdapat ketimpangan atau ketidakadilan gender, hamper pada semua lini kehidupan khususnya politik. Begitu juga dalam masalah Pemilu, undang-undang yang mengaturnya sangat tidak mencerminkan keberpihakannya terhadap hak-hak politik wanita. Akibatnya anggota DPR/MPR pada masa itu sangat sedikit dan tidak proporsional. Begitu pula dalam jabatan-jabatan politk lainnya. Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang sangat tidak berpihak kepada kepentingan wanita.
Setelah gelombang reformasi, muncul optimisme akan adanya perubahan yang mendasar, dan sekarang kita bisa menyaksikan terdapat perubahan dan perbedaan yang prinsip dalam kehidupan perpolitikan di Indonesia. Terutama perubahan dan perbedaan yang prinsip antara pemilu yang diselenggarakan pada masa Orde Baru dan Pasca Reformasi. Perbedaan dan perubahan tersebut tidak lepas dari adanya Amandemen UUD 1945. Perubahan terhadap UUD 1945 merupakan hal yang wajar dan bisa terjadi, karena memang diatur dalam pasal 37 UUD 1945, apabila lembaga yang berwenang yakni Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mempunyai keinginan politik untuk merubahnya, sepanjang tidak merubah Pembukaan UUD 1945. Karena dalam Pembukaan tersebut terdapat rumusan Dasar Negara, Berkat Rahmat Alloh Yang Maha Kuasa, juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Proklamasi.
Berdasarkan kewenangannya, MPR telah melakukan amandemen (perubahan) terhadap UUD 1945. Beberapa hal yang terkait dengan perubahan tersebut antara lain, pemilihan presiden dan wakil presiden dalam satu pasang yang dipilih secara langsung oleh rakyat (pasal 6A Perubahan ketiga UUD 1945). Sudah barang tentu, perubahan tersebut juga membawa perubahan dalam praktek ketatanegaran di Indonesia.
Praktek ketatanegaraan yang demikian juga berpengaruh terhadap bergesernya kewenangan pada lembaga-lembaga Negara. MPR hanya berwenang mengubah dan menetapkan Undang-undang Dasar (Pasal 3 Perubahan Ketiga UUD 1945), karena GBHN beralih menjadi kewenangan Presiden dan Partai Politik yang mendukungnya seperti tertuang dalam program-program Partai. Ini merupakan konsekuensi logis pemilihan Presiden Langsung oleh Rakyat. Selain itu, system pemilu juga mengalami perubahan, dan perubahan ini lebih memungkinkan bagi rakyat untuk masuk dan berpartisipasi dalam menentukan kebijakan Negara melalui lembaga politik dan DPR. Dimana lembaga politik dan DPR menjadi relative lebih strategis disbanding sebelumnya (masa Orde Baru).
Oleh karena itu Pemerintah harus memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh rakyat untuk masuk kedalam lembaga Negara tersebut. Serta memberi kebebasan untuk menentukan nasib serta pilihannya melalui Pemilu. Semua itu merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia yang harus dijunjung tinggi dan dilindungi. Jaminan akan perlindungan HAM itu harus tertuang dalam konstitusi Negara berupa peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, Undang-undang Pemilu sebagai perangkat perundang-undangan yang mengatur tentang Pemilu harus mencerminkan perlindungan HAM.
Terutama yang terkait dengan nasib perempuan, selama ini pemerintah belum menunjukkan komitemnnya terhadap perlindungan (jaminan) hak-hak perempuan. Menjadi keharusan bagi pemerintah untuk merealisasikan kesetaraan gender dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Kesetaraan yang dimaksud adalah kondisi dan posisi yang menggambarkan kemitraan yang selaras, serasi dan seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam memperoleh peluang/kesempatan dalam mengakses, partisipasi, control dan manfaat dalam pelaksanaan pembangunan serta menikmati hasil pembangunan dalam kehidupan keluarga, maupun dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dilakukan upaya pemberdayaan perempuan, bukan suatu kecengengan, tetapi memang merupakan upaya yang mutlak dan wajib dilaksanakan oleh karena:
UUD menyebutkan bahwa setiap Warga Negara mempunyai hak yang sama baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi maupun hukum.
UU HAM juga menyatakanan bahwa laki-laki dan perempuan punya HAM yang tidak berbeda.
Persoalan-persoalan gender menjadi urgen untuk diperjuangkan karena dampaknya pada ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. Misalnya dalam konteks masyarakat yang menganut sistem sosial dan budaya patriarkhi, kaum perempuan tidak mendapat hak-hak yang selayaknya. Oleh karena itu, para aktivis Feminisme sebenarnya sedang menggugat sistem sosial dan budaya patriarkhi.
Perjuangan para aktivis Feminisme menghendaki terwujudnya keadilan sosial dengan menempatkan peran dan posisi kaum perempuan sesuai dengan hak-haknya. Landasan para aktivis Feminisme menuntut keadilan berdasarkan prinsip humanisme universal. Yaitu prinsip-prinsip kemanusiaan yang paling fundamental yang melampaui etnik, budaya, dan agama.
Di Indonesia, gerekan feminisme sudah merambah ke wilayah politik. Isu kesetaraan gender mulai merebak di Indonesia pada sekitar tahun 1990-an. Secara perlahan-lahan, gerakan feminisme menuntut kesetaraan kaum perempuan di Indonesia untuk mendapat hak-hak di bidang sosial dan budaya. Namun lambat laun, seiring dengan bergulirnya reformasi (1998), gerakan feminisme mulai merambah wilayah politik kekuasaan. Sebab, berdasarkan catatan sejarah bangsa Indonesia, peran kaum perempuan sangat minim di pentas politik. Padahal, jumlah kaum perempuan mendominasi kaum laki-laki di Indonesia. Wajar jika kemudian kaum perempuan menuntut kesetaraan di bidang politik (kekuasaan).
Tampaknya, perjuangan ini membuahkan hasil ketika undang-undang yang mengatur keterlibatan kaum perempuan dalam politik kekuasaan berhasil disahkan. Quota 30% dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, khususnya pada pasal 53-55, telah memberi ruang bagi partisipasi aktif kaum perempuan di Indonesia.
Dalam konsideran disebutkan sebagai berikut :
a. bahwa untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai penyalur aspirasi politik rakyat serta anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagai penyalur aspirasi keanekaragaman daerah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diselenggarakan pemilihan umum;
b. bahwa pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;[22]

Pada konsideran tersebut telah menunjukkan konsistensi terhadap penegakan HAM. Pemilu merupakan salah satu wahana “penyalur aspirasi politik rakyat serta anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagai penyalur aspirasi keanekaragaman daerah”, dalam hal ini disadari keberadaan daerah yang beraneka ragam. Demikian pula “rakyat” yang dimaksud adalah secara keseluruhan, tidak membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, status social, dan lain-lain. Selain itu pembentukan undang-undang ini adalah sebagai “perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Dalam hal ini tersirat, “pemerintahan yang mencerminkan keinginan rakyat, yang pada gilirannya akan menjunjung tinggi harkat dan martabat, sebab Pancasila dan UUD 1945 menysaratkan demikian.
Berarti terkandung maksud, perempuan sebagai bagian dari warga Negara Indonesia juga harus mendapat perlindungan dan pembelaan atas haknya melalui undang-undang ini. Disamping itu, penduduk perempuan di Indonesia mencapai 50% jumlahnya, maka wakil rakyat yang duduk di DPR harus proporsional, dimana suara perempuan teraspirasikan melalui wakil perempuan. Tidak adanya proporsionalitas, berarti pengingkaran terhadap hak-hak perempuan.
Ada dan tidaknya pembelaan akan hak-hak perempuan , dapat dikaji melalui pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam UU ini terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang keterwakilan perempuan, antara lain :
Pasal 53
Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.

Pasal 54
Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling banyak 120% (seratus dua puluh perseratus) jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan.
Pasal 55
(1) Nama-nama calon dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 disusun berdasarkan nomor urut.
(2) Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon.
Dengan melihat pasal-pasal tersebut, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, telah menunjukkan komitmennya terhadap HAM terutama masalah keterwakilan perempuan. Hal ini merupakan perkembangan yang cukup baik dibandingkan dengan sebelumnya terutama selama masa Orde Baru. Hal ini tidak lepas (dipengaruhi) dari keberadaan Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia. Namun demikian, hal ini masih harus diperjuangkan dan direalisasikan secara maksimal.

KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa peraturan perundang-undangan (hukum) yang dibuat oleh Pemerintahan Indonesia, banyak sekali diantaranya yang dipengaruhi atau dilatar belakangi oleh keberadaan Instrumen hukum Internasional yang harus diterapkan di Indonesia sebagai Negara yang beradab. Instrumen hukum tersebut antara lain: hukum Internasional, dan beberapa Deklarasi atau Konvensi Internasional.
Isu kesetaraan gender, juga merupakan salah satu isu turunan yang terkandung dalam Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia 1948 dan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan 1979, yang didalamnya terkandung nilai-nilai demokrasi dan HAM dan hak-hak politik wanita. Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmennya terhadap hal tersebut, khususnya tentang keterwakilan perempuan, yang diaktualisasikan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam hal ini berupa 30% dan diwujudkan pula pada saat pencalonan, dalam setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon. Hal ini dapat mengantisipasi pengingkaran dan pelanggaran hak-hak politik perempuan.


DAFTAR PUSTAKA


M Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher (Editor), AGAMA DAN DIALOG ANTARA PERADABAN, Yayasan Paramadina, Jakarta, 1996.

Prof. Dr. Abdul Ghofur Anshori, S.H., M.H., dan Sobirin Malian, S.H., M.Hum (Editor), Membangun Hukum Indonesia : Kumpulan Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2008.

F.A. Whisnu Situni, S.H., Identifikasi dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum Internasional, Penerbit CV Bandar Maju, Bandung, 1989

Prof. Dr. F. Sugeng Istanto, S.H., Hukum Internasional. Penerbit Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 1998

Dr. Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, PT Alumni, Bandung, 2003.

Jawahir Thontowi, S.H., Ph.D., dan Pranoto Iskandar, S.H., Hukum Internasional Kontemporer, Refika Aditama, Bandung, 2006.

Friadman, Legal Teory, Stern & Soulimited, London, 1960

Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Cetakan Ke Tujuh Belas, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999.

Dahlan Thaib, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan Konstitusi, Liberty Yogyakarta, 2000

Sri Soemantri M, Prosedur Dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1979.

David Peter, Hak-hak Asasi Manusia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1984

Prof. Dr. Moh. Mahfud MD., S.H., S.U., Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Gama Media dan Ford Faoundation, Yogyakarta, 1993

Undang-undang Dasar 1945

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 68 Tahun 1958 Tentang Persetujuan Konvensi Hak-Hak Politik Kaum Wanita

Naskah Universal Declaration of Human Rights, 1948

Naskah Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan 1979
[1]Nurcholis Madjid, "Kosmopolitanisme Islam Dan Terbentuknya Masyarakat Paguyuban", dalam, M Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher (Editor), AGAMA DAN DIALOG ANTARA PERADABAN, Jakarta: Paramadina, 1996, hal. 37.
[2]Prof. DR. H. Dahlan Thaib, SH, M.Si., "Menuju Parlemen Bikameral (Studi Konstitusional Perubahan Ketiga UUD 1945)", dalam, Prof. Dr. Abdul Ghofur Anshori, S.H., M.H., dan Sobirin Malian, S.H., M.Hum (Penyunting dan Editor), MEMBANGUN HUKUM INDONESIA : Kumpulan Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum, Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2008, hal. 200.
[3]Umar Kayam, "Proses Demokrasi dan Budaya Indonesia Menghidupkan Kultur Masyarakat Berembuk", dalam, Elza Peldi Taher (Editor), Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi : Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru, Jakarta: Paramadia, 1994, hal. 145.
[4]Emil Salim, Mungkinkah Ada Demokrasi di Indonesia, dalam, Elza Peldi Taher (Editor), Demokratisasi…., Ibid, hal. 156.
[5]Nurcholis Madjid, "Demokrasi Dan Demokratisasi Di Indonesia: Beberapa Pandangan Dasar Dan Prospek Pelaksanaannya Sebagai Kelanjutan Logis Pembangunan Nasional", dalam, Elza Peldi Taher (Editor), Demokratisasi…., Ibid. Hal. 205-211.
[6]F.A. Whisnu Situni, S.H. 1989. Identifikasi dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum Internasional. Penerbit CV Bandar Maju. Bandung. Hal. 10.
[7]Prof. Dr. F. Sugeng Istanto, S.H., 1998. Hukum Internasional. Penerbit Universitas Atmajaya Yogyakarta. Hal. 10-11
[8]Ibid
[9]Ibid
[10]Dalam Dr. Boer Mauna. 2003. Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. PT Alumni. Bandung, hal. 8.
[11]Jawahir Thontowi, S.H., Ph.D., Pranoto Iskandar, S.H., 2006. Hukum Internasional Kontemporer. Refika Aditama. Bandung. Hal. 55.
[12] Prof. Dr. Moh. Mahfud MD., S.H., S.U.,Politik Hukum Hak Azasi Manusia, dalam, Prof. Dr. Abdul Ghofur Anshori, S.H., M.H., dan Sobirin Malian, S.H., M.Hum (Penyunting dan Editor), MEMBANGUN …Op.Cit., hal. 249.
[13] Adnan Buyung Nasution, Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakat Islam Dan Barat, dalam, M Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher (Editor), AGAMA… hal. 106.
[14] Mahfud MD, Politik Hukum Hak Asasi Manusia, dalam, Prof. Dr. Abdul Ghofur Anshori, S.H., M.H., dan Sobirin Malian, S.H., M.Hum (Penyunting dan Editor), MEMBANGUN HUKUM… Ibid, hal. 263.
[15] Lihat Mukaddimah Universal Declaration of Human Rights, 1948
[16]Lihat Istilah diskriminasi terhadap perempuan dalam Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan Disetujui Majelis Umum PBB, 18 Desember 1979.
[17] Lihat kewajiban Negara dalam Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan Disetujui Majelis Umum PBB, 18 Desember 1979.
[18] Lihat hak-hak yang diatur dalam Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan Disetujui Majelis Umum PBB, 18 Desember 1979.
[19] Lihat pasal I dan penjelasannya Undang-Undang Nomor: 68 Tahun 1958
[20] Lihat pasal II dan penjelasannya Undang-Undang Nomor: 68 Tahun 1958
[21] Lihat pasal III dan penjelasannya Undang-Undang Nomor: 68 Tahun 1958
[22] Lihat konsideran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Template by : Kendhin x-template.blogspot.com