STRUKTUR LOGIKA DALAM TEORI HUKUM ISLAM

STRUKTUR LOGIKA DALAM TEORI HUKUM ISLAM
(Qiyas Asy-Syafi’i dan Double Movement Fazlur Rahman)
Latar Belakang Masalah
Josef van Ess menulis tentang struktur1 logika dalam telogi Islam. Dalam catatannya ia mengatakan bahwa dasar logika berfikir para Mutakallimun tidak hanya mengakses pada logika Aristoteles, tetapi lebih jauh lagi, walaupun secara keseluruhan logika kalam tidak identik dengan logika Stoik, fakta yang ia temukan adalah logika kalam dibangun atas dasar logika Stoik.2 Struktur logika Stoik dalam hal ini adalah ditandai dengan adanya sistem penandaan (jika……maka……), sedangkan logika Aristoteles ditemukan adanya “silogisme” yang mendasarkan pemikiran adanya premis minor, premis mayor, kesimpulan dan terdapat middle term antara dua premis.
Model logika berfikir Aristoteles ini, menurut beberapa penelitian, mempengaruhi pemikiran dalam sistem Islam seperti kalam dan fiqh3 (silogisme model asy-Syafi’i yang dikenal dalam tradisi Islam sebagai qiyas). Penggunaan qiyas dalam tradisi Mutakallimun berusaha untuk membuktikan kebenaran adanya Tuhan. Dalil didasarkan pada indikasi tanda yang mereka kenal sebagaimana meng-qiyas-kan sesuatu yang nampak (ada) kepada sesuatu yang tidak nampak (ghaib) atau sebaliknya mengkiyaskan sesuatu yang tidak ada kepada sesuatu yang nampak (ada). Selanjutnya, dalam tradisi hukum Islam qiyas digunakan dengan menemukan ‘illat (alasan hukum) yang secara kasar dapat disamakan dengan ratio legis yang kadang disebutkan secara eksplisit dalam teks dan adakalahnya tidak.4
Tradisi hukum Islam (fiqh) mengenal adanya sumber-sumber hukum yaitu al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas.5 Untuk menjelaskan tentang proses qiyas, asy-Syafi’i menegaskan sekurang-kurangnya ada dua hal yang harus diperhatikan: pertama, jika Allah dan rasulnya telah mengharamkan sesuatu secara tersurat atau menghalalkannya karena alasan (‘illat/ma’na) tertentu, kemudian kita dapatkan hal serupa tetapi tidak ada nas khusus di dalam al-Qur’an atau Sunnah maka kita bisa memberikan hukum haram atau halal berdasarkan fakta bahwa hal itu mempunyai essensi (‘illat) yang sama dengan yang telah ditetapkan status hukumnya dalam al-Qur’an dan sunnah tadi. Kedua, dalam hal dua kasus yang hampir-hampir sama maka analogi (qiyas) harus didasarkan atas kemiripan yang paling lengkap, terutama dari sudut lahiriah.6 Dalam hubungan ini, landasan penetapan hukum model qiyas asy-Syafi’i memiliki kesamaan secara struktur logika dengan cara berfikir Aristoteles. Akan tetapi, landasan penemuan ‘illat hukum harus didasari pada apa yang ditemukan dalam al-Qur’an, sunnah7 dan ijma’. Dalam konteks ini, peran akal ada tetapi dibatasi oleh peran teks.
Kesinambungan antara peran akal dan teks pada periode kontemporer ditunjukan oleh satu tesis yang dikeluarkan oleh Fazlur Rahaman tentang gerak ganda (double movement)8 yang digunakan untuk membaca dan memahami al-Qur’an, secara khusus juga hukum Islam. Dalam teori tersebut, Rahman membedakan dua hal, yaitu “ideal moral” dan ketentuan legal spesifik al-Qur’an. Untuk menemukan dua hal tersebut, dalam berbagai penjelasannya, Rahman mengusulkan agar dalam memahami pasan al-Qur’an sebagai satu kesatuan adalah mempelajarinya dengan sebuah latar belakang sehingga al-Qur’an dapat dipahami dalam konteks yang tepat.9 Aplikasi pendekatan kesejarahan ini telah membuat Rahman menekankan akan pentingnya tujuan atau “ideal moral” al-Qur’an dengan legal spesifiknya. “Ideal moral” yang dituju al-Qur’an lebih pantas untuk diterapkan ketimbang ketentuan legal spesifik.10 Melihat hal di atas maka dapat disimpulkan bahwa sekalipun Rahman berusaha untuk mengkontektualisasikan ajara al-Qur’an, termasuk ajaran hukum, tetapi ia tidak lepas dari ketergantungan terhadap teks.
Teori double movement di atas maupun teori qiyas dalam tawarannya memiliki logika berfikir masing-masing, namun hal yang tidak dapat dinafikan bahwa kedua teori ini memiliki kesamaan dalam hal memperlakukan teks keagamaan. Dengan demikian makalah ini berusaha melihat adakah keterkaitan antara logika-logika tersebut dengan melihat alur berfikir dalam penarikan hukum serta term-term yang digunakan. Hal ini menarik untuk dikaji karena menurut asy-Syatibi yang dikutip Danusiri11 bahwa golongan pola pikir gabungan antara tektualis dan kontekstualis (mungkin juga raionalitas) merupakan golongan yang matang intelektualnya (rāsikhun/profesional) dalam mengetahui maksud syara’.
Untuk menemukan keterkaitan antara logika hukum Islam, maka digunakanlah pendekatan sistemik (systemic Appraoch),12 namun agak disederhanakan.. Sungguhpun demikian, pembahasan ini juga berusaha melakukan pendekatan sejarah untuk menutupi kekurangan pendekatan sistemik di atas.13 Dalam hubungan ini, pembahasan dalam makalah ini adalah kajian teks dengan berupaya melihat dua komponen yaitu genisis pemikiran dan sistematika pemikiran. Untuk sistematika pemikiran mungkin memiliki kesamaan dengan systemic approach.
Logika Aristoteles
Logika adalah term yang diambil dari bahasa latin berasal dari kata “logos” yang artinya perkataan, sabda, lelucon, ibarat atau perumpamaan.14 Akan tetapi, kata logika yang dalam bahasa latin disebut juga “logica”, inggris “logic”, Yunani “logike” atau “logikos”, secara umum diartikan sebagai apa yang termasuk ucapan yang dapat dimengerti atau akal budi yang berfungsi baik, teratur, sistematis dan dapat dimengerti.15 Istilah lain dalam terminologi Islam disebut mantiq, yaitu kata Arab yang diambil dari kata kerja nathaqa yang berarti berkata, berucap atau berbicara. Semantara itu, al-manthiqiyu disebut juga al-kalamu: ucapan.16
Mantiq atau logika dalam perkembangannya memiliki beberapa pengertian, diantaranya, George F. Kreller dalam buku logic and language of education sebagaimana yang dikutip Mundiri menyebutkan bahwa manthiq adalah “penyelidikan tentang dasar-dasar dan metode-metode berfikir benar”.17 Selanjutnya, Thaib Thahir mengatakan manthiq sebagai ilmu untuk menggerakan pikiran kepada jalan yang lurus dalam memperoleh kebenaran.18 Irving M.Copi mendifinisikan logika sebagai ilmu yang mempelajari metode dan hukum-hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran yang betul dan penalaran yang salah.19 Sementara itu, Ibn Khaldun mengatakan bahwa logika berbicara tentang kaidah-kaidah yang memungkinkan seseorang mampu membedakan antara yang benar dan yang salah, dimana keduanya dalam difinisi memberi informasi tentang isi sesuatu (mahiyat) dan dengan alasan yang bermanfaat bagi persepsi.20 Sungguhpun demikian, pengertian logika yang telah dirumuskan di atas tidak terlepas dari dasar logika yang digagas Aristoteles.
Aristoteles, sekalipun gagasan logika selalu disandarkan kepadanya, tidak pernah menyebut kata-kata logika (logike) dalam buku-bukunya. Ia menyebutnya dengan analytic untuk menyelidiki argumentasi yang bertitik tolak dari putusan yang benar dan dialectic untuk menyelidiki argumentasi yang bertitik tolak dari hipotesis yang tidak pasti kebenarannya.21 Kata logika pertama kali digunakan oleh Zeno dari Citium dalam arti “seni berdebat”. Kemudian digunakan oleh Alexander Aphrodisias dalam arti ilmu yang menyelidiki lurus tidaknya suatu pemikiran22 dan selanjutnya dirintis oleh kaum Sofis, Socrates dan Plato. Sungguhpun demikian, logika sebagai ilmu diperkenalkan oleh Aristoteles, Theoprostus dan kaum Stoa.23 Istilah logika ini kemudian digunakan sebagai padanan kata untuk istilah dua bentuk penalaran dan argumentasi, yaitu demonstration, yang mengahasilkan bukti-bukti ilmiah dan dialectical argument yang ditemukan dalam pedebatan dan silang pendapat antara beberapa orang.24 Selanjutnya, ilmuwan belakangan mencoba membagi-bagi logika berdasarkan kualitas, metode dan objeknya.25
Berdasarkan pembagian logika maka logika Aristoteles disebut logika tradisionalis, logika formal atau logika deduktif.26 Secara deduktif muatan logika fundamental tentang argument ada dua yaitu, pertama, argument yang valid (logis) adalah jika semua premis benar, kemudian kesimpulannya harus benar. Dengan kata lain, sebuah argument dikatakan valid hanya dalam kasus yang tidak mungkin semua premis benar dan kemudian kesimpulannya salah. Kedua, invalid argument adalah jika mungkin premis benar dan kesimpulan salah.27 Logika Aristoteles yang teringkas dalam enam karyanya yang terkenal dengan Organon “instrument”28 mengandung ajaran yang paling penting yaitu silogisme. Silogisme adalah jenis khusus dari sebuah argument yang terdiri dari tiga bagian yaitu premis mayor, premis minor dan kesimpulan.29
Sejumlah bentuk dalam silogisme dapat ditemukan dalam istilah yang digunakan oleh Skolastik.
Bentuk pertama: bentuk silogisme yang mana term tengah (middle term) menjadi subyek pada premis mayor dan menjadi predikat pada preis minor.
 Semua manusia fana (premis mayor). Sokrates adalah seorang manusia (premis minor). Dengan demkian: sokrates fana (kesimpulan)
Model ini disebut “Barbara”:
* Tak ada ikan yang rasional, Semua hiu adalah ikan, Dengan demikian: tak ada hiu yang rasional
Model ini disebut “Calerent”
* Semua manusia rasional, sebagaian binatang adalah manusia, dengan demikian sebagain binatang adalah rasional.
Model ini disebut “Darii”
* Tak ada orang Yunani berkulit hitam, sebagaian manusia adalah orang Yunani, dengan demikian sebagian manusia tak berkulit hitam.
Model ini disebut “Ferio”.
Bentuk kedua: bentuk silogisme dengan term tengah menjadi predikat pada premis mayor dan premis minor.
* Semua tumbuhan membutuhkan air. Tidak satu pun benda mati membutuhkan air. Dengan demikian, tidak satu pun benda mati adalah tumbuhan
Bentuk ketiga: silogisme dengan term tengah menjadi subjek pada premis mayor dan premis minor.
* Setiap manusia mempunyai rasa takut. Tetapi setiap manusia adalah binatang. Dengan demikian, Sebagian binatang mempunyai rasa takut
Model-model silogisme di atas lebih sering disebut silogisme katagorik yaitu silogisme yang semua proposisinya katagorik. Di samping itu, ditemukan juga silogisme hipotesis dan disjungtif. Yang disebutkan pertama bergumul dengan penalaran-penalaran abstrak yang bersifat mungkin, jika, memakai pernyataan “jika-maka”, atau kombinasi pernyataan “jika-maka” dan pernyataan katagoris30 sedangkan yang disebutkan terakhir yang dalam uraian kuno tentang silogisme, pembedaan dibuat diantara arti lemah “entah-atau” (sering disebut alternative) dan arti kuat (sering disebut disjungtif).31 Kedua logika ini telah terkonsep dalam logika Stoik.
Logika Stoic
Logika Stoic atau juga sering disebut sebagai logika mazhab Stoa32 adalah logika model silogisme hipotesis dan disjungtif, berbeda dengan logika Aristoteles yang menggunakan silogisme katagorik. Paling tidak, dua istilah di atas berasal dari kaum Stoa. Mereka menganggap logika sebagai hal yang paling mendasar. Selain itu, kaum Stoa memiliki teori pengetahuan yang sangat rinci terutama bersifat empiris dan didasarkan pada persepsi, meskipun mereka mengakui beberapa ide dan asas tertentu yang dianggap ditetapkan oleh consensus gentium, kesepakatan umat manusia.33 Agaknya, yang disebut belakangan berada di luar pembahasan logika sekalipun masih ada keterkaitannya.
Pada pembahasan tentang logika, menurut kalangan Stoic, dapat dibagi menjadi dua yaitu dialektika dan retorika sebagai upaya untuk menambah teori definisi dan teori tentang kereteria kebenaran. Logika Stoik tidak jarang pula disebut dengan epistemology Stoic, yaitu menghilangkan logika formal model Aristoteles.34 Dalam logika Aristoteles terdapat teori katagori yang menjelaskan tentang adanya 10 kebenaran yang dapat dijadikan pokok (untuk katagori pertama adalah substansi) dan sebutan dalam suatu kereteria logika. Jenis keberadaan itu adalah substance (benda), quantity (besaran), quality (sifat), relation (hubunan), place (tempat), time (waktu), attitude (sikap), possessing (kepemilikan), activity (kegiatan) dan passivity (penderitaan).35 Selanjutnya, 10 model Aristoteles ini direduksi oleh logika Stoik menjadi 4 bagian saja yaitu: substrate, esensial constitution, accidental constitution dan relative accidential constitution. Akhirnya, 4 katagori tersebut dikenal juga dengan logika formal model Stoik.36
Logika dan epistemologi pada masa Stoic kuno menekankan pada kalkulus proposional dan menurunkan kaitan-kaitan logis.37 Model logika kalkulus proposional adalah bagian paling awal dari logika moderen yang sering disbut juga kalkulus essential.38 Epistemology Stoic menyumbangkan “paham umum” kepada filsafat. Preposisi-preposisi39 menjadi sederhana jika term-termnya40 non-proposisi, sebaliknya berupa campuran. Proposisi campuran diumpamakan, “jika X, maka Y”, ada 4 katogori yang dihasilkan dari preposisi campuran ini yaitu: (1) dikatakan benar, jika X dan Y keduanya benar; (2) dikatakan salah, jika X benar dan Y salah; (3) dikatakan benar, jika X salah dan Y benar; (4) dikatan benar, jika X dan Y keduanya salah. Jadi, implikasi “logika materil” kita terpisah dengan implikasi “logika formal” dan implikasi “logika sempurna.” 41 Jika dibuat tabel kebenaran maka akan dihasilakan sebagai berikut42 :
X
Y
hasil
(1)
(2)
(3)
B
B
S
S
B
S
B
S
B
S
B
B
Beranjak pada persoalan pembuktian akan kebenaran, logika Stoic dibangun atas dua hal yaitu commemorative sign dan indicative sign. Commemorative sign adalah fakta-fakta yang sudah kita ketahui sebelumnya. Misalnya, kita mengetahui bahwa adanya asap selalu identik dengan adanya api karena kita telah melihat asap keluar dari api sebelumnya sebagai pengalaman inderawi kita. Sebaliknya, Indicative sign hanya memberikan tanda atau isyarat sesuatu yang seseorang belum mengetahui sebelumnya dan barangkali tidak akan perna tahu secara sempurnah.43 Akan tetapi, pengetahuan manusia didapatkan dari adanya indikasi atau petunjuk yang menuju ke arah sesuatu. Stoic tidak hanya menolak doktrin Plato tentang universalitas transcendental, tetapi juga menolak doktrin Aristoteles universalita konkrit. Hanya keberadaan individu dan pengetahuan kita yang merupakan pengetahuan objek tertentu. Objek khusus inilah yang membuat kesan dalam jiwa, dan pengetahuan sesungguhnya adalah pengetahuan akan kesan ini. Dengan demikian, Stoik adalah empiristik, sejajar dengan “sensualis”44; tetapi mereka juga memelihara Rasionalisme yang jarang konsisten dengan posisi empiristik dan nominalis.45 Sekalipun demikian, model pembuktian Stoik ini dengan jelas kita temukan dalam pembuktian adanya Tuhan pada logika Mutakalimmun.
Logika Mutakalimmun
Josef van Ess menilai Logika atau manthiq ini sekalipun tidak disukai oleh Mutakalimmun awal karena mereka lebih senang menggunakan istilah adab al-kalam atau jadal al-kalam dalam beragumentasi, namun secara tidak langsung para teolog dan juga para pembuat hukum menggunakan metode-metode logika.46 Kalam sendiri secara harfiah berarti berkata atau berbicara.47 Para sarjana barat menduga bahwa asal-usul istilah kalam diturunkan secara langsung dari kata Yunani, dialexis, yang digunakan oleh para pastur, atau kata logos, secara tidak langsung melalui bahasa Yunani. Akan tetapi, tidak satupun argument yang mendasari pandangan-pandangan tersebut memberikan kesimpulan pasti karena istilah kalam dalam Islam sudah ada sebelum terjadi kontak dengan sumber-sumber Kristen, Yunani atau Suryani.48 Sungguhpun demikian, model pembicaraan Mutakalimmun yang dirumuskan dalam adab al-jadal adalah keniscayaan yang menunjukan adanya penggunaan logika.
Model-model pembicaran dilingkungan Mutakalimmun, menurut van Ess, sering menggunakan tanya jawab dalam beradu argumentasi dengan lawan, mempertahan argumennya (defen) dan menyerang lawan (attack), mereka selalu mengunggulkan argumentum ad haminem.49 Hal ini juga diperkuat oleh pendifinisian olah Ibn Khaldun bahwa ilmu kalam adalah ilmu yang mempergunakan bukti-bukti logis dalam mempertahankan aqidah keimanan dan menolak pembaruan yang menyimpang dalam dogma yang dianut kaum muslim pertama dan ortodoksi muslim, ahl as-sunnah.50
Apa yang dikemukankan van Ess tersebut mengarahkan pada pengertian kalam sebagai sebuah prosedur dimana ketika kita membahas atau mendiskusikan suatu topik, biasanya terjadi dengan struktur tertentu, yaitu dimulai dengan adanya tanya dan jawab yang terkadang justru melahirkan dilema. Pendapat van Ess ini kemudian dibantah oleh Abdul Haleem. Ia mengatakan bahwa pendapat van Ess yang menyatakan bahwa kalam melibatkan struktur dialektis tidak selaras dengan pandangan Islam tentang kalam. Situasi dialektis dan rumusan konjungtif tentu saja merupakan bagian dari kalam tetapi yang pasti bukan satu-satunya bentuk yang diakui. Dalam hubungan ini, sepanjang sejarah kalam, tulisan-tulisan idiologi dan karakteristik beragam juga diterima sebagai bagaian kalam.51 Walaupun pendapat Haleem dapat saja kita terima, namun yang tidak dapat ditolak adalah bahwa Mutakalimmun banyak melalui rumusan tersebut dalam membuat rumusan-rumusan tentang ketuhanan dan hal-hal yang terkait dengan keyakinan (tentang manusia dan Tuhan) sebagai akibat dari adanya perdebatan awal.
Dalam mempertahankan aqidahnya, Mutakalimmun, sebagaimana yang telah dieksplorasi van Ess, telah menghasilkan katagori atau sistem berfikir, di sini kita sebut dengan struktur logika Mutakalimmun. Dari sejumlah karya-karya Mutakalimmun yang ditelitinya terdapat sejumlah kata-kata yang selalu digunakan yaitu : tard wa al-‘aks, su’al wa jawab, tamyiz, adab al-kalam atau adab al-jadal, dalil, dalalah, wajhu al-istidlal, ta’aluq, qiyas, lazim dan qarina. Sungguhpun demikian, dari sejumlah term yang muncul istilah tamyiz lebih memiliki kemiripan dengan model ontologi yang dikemukakan Aristoteles. Aristoteles mensyaratkan ontologi substansi dan bentuk (partikular dan universal). Difinisi ini yang digunakan Mutakalimmun untuk membuat generic catagory dan most special quality (akhsass al-ausaf) yang dimiliki dua hal secara umum. Selanjutnya, dari sini seseorang mencoba untuk mengklasifikasikan fakta-fakta tertentu dengan memperbandingkan dua hal tersebut (analogi) atau dengan membedakan keduanya (tamyiz). Analogi di sini digunakan untuk menarik kesimpulan dari satu hal yang khusus kepada hal lain dengan menentukan midle term (hadd ausath), dalam logika Aristoteles. Sungguhpun demikian, tradisi verbalisme dikalangan Mutakalim sebagai dasar berfikir masih bersifat atomistik (tidak memiliki hubungan antara satu dengan lainnya), tanpa melihat substansi.
Lebih jauh lagi, para Mutakalimmun dalam mengembangkan pemikirannya tidak hanya menggunakan model logika Aristoteles dengan silogisme katagorik di atas, tetapi lebih banyak menggunakan logika silogisme hipotesis model Stoik yaitu dengan pola ”jika…..maka… ”. Dengan kata lain, logika Mutakalim lebih dekat dengan logika Stoik sekalipun kita tidak dapat mengatakan bahwa logika Mutakalim identik dengan logika Stoik. Paling tidak, struktur logika Mutakalim secara moral lebih bersifat agresif, apologetik dan menekankan pada defen and attack sehingga tidak jarang mereka melakukan kesalan logis, yaitu lebih menekankan pada triumph of Argumentum ad hominem. Tambahan pula, logika Mutakalim bersifat mempertahankan keyakinan atau logical demonstration of belived truth.52 Hal ini memang harus diakui karena logika ini tidak sebatas mempertahankan tetapi menemukan bukti-bukti untuk membenarkan keyakinan yang mereka anut.
Sebagai upaya pembuktian ini, logika Mutakalimmun sangat terkait dengan model indicative sign dalam logika Stoik.53 Paling tidak, sangat terkenal di kalangan Mutakalimmun yaitu cara-cara pembuktian adanya Tuhan dengan menunjukan segala sesuatu yang ada di alam sebagai ciptaannya. Dalam hal ini, istilah  ”istidlal bi asy-syahid ‘ala al-ghaib atau qiyas al-qaib ‘ala asy-syahid” adalah model logika yang menunjukan adanya persamaan dengan logika Stoik.54 Sungguhpun demikian, sekali lagi, kita harus mengatakan bahwa apakah benar Mutakalimmun mengambil langsung model logika Stoik dalam pemikirannya atau ini hanyalah suatu kreatifitas berfikir dimana semua pemeluk agama memiliki cara tersendiri untuk membuktikan dan mengembangkan kebenaran ajaran agamanya.
Di pihak lain, penggunaan logika Aristotelian yang terbatas pada konseptualisme logis dan penjelasan linier dengan mengganti akal jenis meditatif (‘aql mu’abir) yang senantiasa diseru dalam al-qur’an menjadi akal dialektika (‘aql jadali), para Mutakalimmun mengakumulasikan berbagai kontradiksi yang menyelubungi seruan-seruan al-Qur ‘an terhadap kesadaran imajinatif.55 Penjelasan terakhir ini tidak kita bahas lebih jauh, tetapi penjelasan tentang model indicative sign yang dalam logika Mutakalimmun membentuk istilah qiyas al-qaib ‘ala asy-syahid, membuat ketertarikan kita untuk melihat struktur logika hukum islam terutama qiyas.
Logika Hukum Islam (Qiyas)
Secara etimologis, qiyas berarti mengukur, memastika, membandingkan sesuatu yang semisalnya.56 Sementara itu, secara istilah ushul fiqh, qiyas adalah menghubungkan suatu perkara yang tidak ada nash tentang hukumnya kepada perkara lain yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan ‘illat (effecitve cause) hukumnya.57 Pengetian qiyas semacam ini adalah qiyas dalam pemahaman Syafi’i dan setelahnya, sedangkan qiyas sebelum asy-Syafi’i hanya digunakan untuk menunjukan kesamaan dua kasus yang serupa yang dimulai dengan penggunaan pendapat pribadi (ra’y) dalam kasus-kasus yang tidak ada nasnya.58
Pengertian qiyas setelah asy-Syafi’i memuat empat unsur yang menjadi bagunannya, yaitu: kasus baru (far’), al-ashl (kasus asli yang ada dalam nash), al-’illat (ratio legis) yaitu alasan serupa antara asl dan far’ yang berupa sifat umum yang terdapat pada keduanya, dan al-hukm yaitu hukum yang dipergunakan qiyas untuk memperluas hukum dari asal ke far’ atau norma hukum yang dinisbatkan kepada kasus baru yang ditransfer dari kasus lama ke kasus baru karena kesamaan antara kedua kasus.59 Misalnya, kasus yang sangat popular adalah tentang hukum keharaman anggur dari kurma kering (nabidz) karena adanya kesamaan ‘illat dengan keharaman meminum khamar yang terdapat di dalam al-Qur’an, yaitu memabukan.
Penemuan ‘illat hukum dalam sebuah kasus yang terdapat dalam teks secara garis besar dapat dilakukan dengan dua metode yaitu sah (valid), metode-metode yang keabsahannya diakui oleh para jurist, dan dugaan (probable) (zhanniyyah atau mutawahhamah), yang keabsahannya masih bersifat dugaan dan kemungkinan.60 Metode yang pertama terbagi menjadi dua yaitu ijma’ (consensus) dan nass (the text). Nass terbagi menjadi dua lagi yaitu nass yang eksplisit (sharih) dan implisit (ima wa tanbih). Sementara itu, metode yang kedua yang bersifat dugaan ada lima, yaitu: munasabah (kesesuaian), syabah (keserupan), thard atau tharadi (kebersamaan atau kebetulan), dawran (perputaran), juga disebut thard wa’aks (kebersamaan dan kespesifikan) dan sabr wa taqsim (penyelidikan dan klasifikasi).61 Selain metode tersebut, masih ada perdebatan di kalangan ulama tentang jumlah dan jenis lainnya. Misalnya, fuqaha menganggap metode tanqih al-manath (pembersihan dan dasar ketetapan hukum), tahqiq al-manath (verifikasi atau realisasi dasar ketetapan hukum) dan takhrij al-manath (pengambilan dasar ketetepan hukum) dapat digunakan sebagai metode penetapan ‘illat. Ketiga metode ini ditolak oleh al-Ghazali dan al-Amidi.62
Al-Ghazali sendiri lebih sering menggunakan metode munasabah. Metode ini yang akan kita bahas di samping metode tard wa’aks dan as-sabr wa at-taqsim. Setidak-tidaknya ketiga metode ini dikemukakan Hallaq secara panjang lebar. Ia mengatakan bahwa metode munasabah (kesesuaian) ini banyak dipergunakan al-Ghazali.63 Menurut al-Ghazali kereteria untuk menentukan kesesuaian atau kelayakan (munasabah) adalah keterkaitannya dengan kemaslahatan.64 Artinya, kesesuaian tersebut adalah bahwa ‘illat dimaksud, dilihat dari segi kemaslahatannya, memang menghendaki ditetapkannya hukum bersangkutan dan al-ausaf al-munasib (atribut yang sesuai) atau munasib adalah alasan yang didasarkan pada kemaslatan. Selanjutnya, munasib ini dibedakan menjadi 3 yaitu: munasib efektif (mu’ashshir), munasib selaras (mula’im) dan munasib ganjil (garib). Misalnya, ‘illat ditetapkannya perwalian harta atas anak dibawa umur adalah keadaan dibawah umur (as-siqar). Hukumnya di sini adalah ditetapkannya perwalian atas harta; ‘illat hukum tersebut adalah keadaan sang anak yang masih di bawah umur. Keadaan di bawah umur ini adalah al-wasf al-munasib65 karena menurut pikiran sehat memang pantas atau sesuai bahwa anak di bawa umur ditempatkan di bawah perwalian dalam hal mengurus hartanya sebab anak tersebut belum bisa mengurus harta sendiri. Melalui perwalian kemaslahatan anak menyangkut hartanya dapat dilindungi. Metode ini tentunya berbeda sekali dengan dua metode berikutnya.
Metode tard wa’aks (istilah ini sering digunakan al-Amidi dan Ibn al-Hajib) dalam istilah usul fiqh lebih dikenal dengan dawran (rotation) adalah apabila ada kualitas hukum tertentu maka hukum juga ada bersamaan dengannya dan jika kualiatas hukum tersebut tidak ada maka hukum pun tidak ada. Misalnya, diperbolehkan meminum jus anggur selama tidak memabukan dan tidak diperbolehkan jika memabukan, dan juga dibolehkan jika ia berubah menjadi cuka.66 Selanjutnya, metode as-sabr wa at-taqsim yaitu metode klasifikasi dan eliminasi secara berturut-turut. Metode ini menyortir semua alasan yang dianggap kandidat dan dengan proses eliminasi berturut-turut, akan sampai pada sebuah alasan yang tetap. Misalnya, roti tidak menjadi objek transaksi yang berbau riba. Menurut mazhab Syafi’i ada tiga alasan larangan yang mungkin: dapat ditakar dengan timbangan, dapat ditakar dengan isi dan dan dapat dimakan. Akan tetapi, roti dikatakan tidak dapat dijual dengan timbangan dan tidak dapat dijual dengan isi sehingga yang tersisa adalah alasan dapat dimakan.67 Kalau begitu, metode ini dalam logika disebut juga dengan preposisi bersyarat yang terpisah (as-syarath al-munfashil), sejenis silogisme yang digunakan untuk menemukan sebab-sebab rasional (‘illa al-aqliyyah) dalam persoalan rasional (ma’qulat).68
Berdasarkan cara-cara penemuan ‘illat hukum dalam qiyas di atas maka kita dapat menganalisa lebih jauh lagi. System berfikir ‘illat sangat erat kaitannya dengan system logika Aristoteles maupun Stoic. System penemuan ‘illat dengan syabah sangat terpengaruh oleh model silogisme Aristoteles. Misalnya, as-Syafi’i menegaskan bahwa niat sahnya wudu’ berdasarkan analogi tayamum. Niat tidak berkaitan dengan kesucian tetapi ia berkaitan dengan ibadah. Jika demikian, dapat disusun silogisme dengan gambaran sebagai berikut:
Premis mayor : niat sesuai dengan ibadah
Premis minor : ibadah mensyaratkan kesucian, atau kesucian sesuai dengan ibadah
Middle term : ibadah
Kesimpulan : Niat sesuai dengan kesucian
Sebagai kesimpulan, asy-Syafi’i membuktikan berdasarkan qiyas syabah bahwa niat penting bagi wudu’.69 Struktur qiyas tersebut menunjukan bahwa ia memiliki kesamaan dengan silogisme Aistoteles, sekalipun tidak dapat dibuktikan secara pasti bahwa para fuqaha’ meminjam dari sana. Sesuatu yang permanent dalam logika qiyas adalah komposisi yang sama dengan fungsi yang sama pula seperti terdapat dalam komposisi Aristoteles, sedangkan yang berubah adalah kebutuhan akan premis mayor yang bersumber dari sesuatu yang lebih “suci” dalam pengertian sumber.
Tidak hanya itu, logika fiqh terutama qiyas tidak hanya mengakses pada logika Aristoteles, lebih jauh lagi ia lebih banyak bersinggungan dengan logika Stoik. Hal ini dapat dibuktikan dengan pengunaan conditional sentence “jika…maka…” yang terdapat dalam, terutama, penemuan ‘illat dengan metode tard wa’aks atau dawran. “jika ada kualitas hukum maka ada hukum dan jika tidak ada kualitas hukum maka tidak ada hukum.” Seperti halnya logika Mutakalim maka logika fiqh pun memiliki kesamaan dalam hal ini.70 Hal ini juga diperkuat dengan penelitian Josef van Ess. Ia mengatakan jika diproyeksikan ke dalam ide Stoic maka model dawran ini tidak lebih dari kereteria validitas klausa bersyarat dan mungkin sebanding dengan logika materil pada masa Hellenistik.71 Selanjutnya, metode sabr wa taqsim dalam penemuan ‘illat juga menggunakan logika preposisi disjungtif bersyarat yang terdiri dari dua proposisi yang saling terkait satu dan yang lain sebagai dua alternative atau pemisah yang saling meniadakan satu sama lainnya :”apakah nomor ini genap atau ganjil.”72 Sementara itu, silogisme disjungtif ditemukan dalam logika Stoik seperti juga silogisme hipotesis. Dengan demikian, dalam logika qiyas telah mengalami pembauran antara logika Aristoteles dan logika Stoik, namun dari penjelasan tentang penemuan ‘illat hukum, logika Stoik lebih mendominasi dari logika Aristoteles.
Berbeda halnya dengan apa yang dituliskan oleh Muhammad Roy bahwa yang mempengaruhi perkembangan usul fiqh terutama konsep qiyas adalah logika Aristoteles. Menuutnya pengaruh ini dimulai pada masa kodifikasi ushul fiqh dan pembakuan qiyas menjadi metode ijtihad yang mempunyai syarat-syarat tertentu, seperti pada masa asy-Syafi’i. Roy sepakat untuk mengatakan bahwa asy-Syafi’i sejak awal sudah terpengaruh logika Aristoteles dengan tiga alasan. Pertama, logika Aristoteles telah masuk ke dunia Islam melalui ilmu kalam dan imam asy-Syafi’i juga seorang teolog. Kedua, asy-Syafi’i menguasai bahasa Yunani sebagaimana keterangan yang dibuat oleh Abi Abdullah al-Hakim dalam bukunya Manaqib asy-Syafi’i. Ketiga, adanya persamaan konsep antara teori qiyas asy-Syafi’i dan teori silogisme Aristoteles yaitu penggunaan term dengan genus dan differentia-nya, premis mayor, premis minor, konklusi dan fungsi masing-masing premis.73
Bagi penulis sendiri, keterkaitan antara konsep qiyas dan logika Aristotles atau juga Stoik terjadi pada masa setelah asy-Syafi’i bukan pada masa asy-Syafi’i. Hal ini didasarkan pada pendifinisian qiyas yang dilakukan asy-Syafi’i. Ia mengemukakan bahwa qiyas adalah metode berfikir yang dipergunakan untuk mencari kejelasan hukum dari contoh-contoh serupa yang terdapat dalam nash al-Qur’an dan Sunnah (hadis). Adapun adanya ‘illat merupakan salah satu dari dua proedur qiyas yang ia kemukakan. Dalam Bab Istbaat al-Qiyas wa al-Ijtihad dari kitab ar-Risalah-nya, asy-Syafi’i tidak membedakan antara qiyas yang diinginkan dengan ijtihad.
berdasar apakah Anda menyatakan bahwa persoalan yang tidak ada nashnya di dalam al-kitab, sunnah atau ijma’, harus ditentukan dengan qiyas? Apa sesungguhnya qiyas itu nas khobar lazim?
+ saya berkata: apabila sesuatu telah ditegaskan dalam kitab atau Sunnah, anda harus mengatakan “ini perintah Allah” atau “ini perintah Rasulullah”, jangan anda katakana “ini qiyas”
apakah qiyas itu juga ijtihad? Atau ada bedanya?
+ keduanya punya arti yang sama
apakah dasar umum dari keduanya?
+ semua persoalan yang terjadi dalam kehidupan seorang muslim tentu ada hukum yang jelas dan mengikat atau sekurang-kurangnya ada ketentuan umum yang menunjukan kepadanya. Jika tidak, maka ketentuan hukum tersebut harus dicari dengan ijtihad, dan ijtihad tidak lain adalah qiyas (analogi).74
Selanjutnya, pendapat ini tidak disetujui oleh imam al-Ghazali. Ia mengatakan: sebagian fuqaha’ berpendapat bahwa qiyas berarti ijtihad. Pendapat ini tidak benar karena ijtihad lebih komprehensif ketimbang qiyas dan ijtihad dilakukan dengan menyelidiki hal-hal umum (‘umumat), makna inti kata-kata (daqa’iq al-lafazh) dan semua metode penalaran (thuruq al-adilah), di samping qiyas.
Berdasarkan pernyataannya, al-Ghazali ingin menunjukan bahwa definisi qiyas yang diberikan asy-Syafi’i secara logis cacat karena difinisi tersebut tidak spesifik (mani’), mengandung masalah-masalah yang didasarkan pada ra’y yang disebut ijtihad dan tidak meyeluruh karena ia tidak meliputi jenis-jenis qiyas, seperti qiyas jali (analogi yang jelas), di mana penggunaan qiyas tidak mengusahakan apapun.75 Dari kritik ini, dapat dilihat bahwa struktur qiyas yang dimaksud oleh ulama setelah asy-Syafi’i yang disebut-sebut memiliki kesamaan dengan logika Aristoteles tidak persis sama dengan logika asy-Syafi’i. Seharusnya asy-Syafi’i tidak mendistorsi logika Aristoteles, apalagi dikatakan bahwa ia mengetahui dan memahami bahasa Yunani. Nampak dari pemahamannya tentang qiyas awal hanyalah sekedar membatasi kebebasan berfikir di satu sisi76 dan mengembangkan ajaran hukum Islam di sisi lain karena pada masa itu terdapat dua mazhab hukum yaitu ahl hadis yang cenderung tektualis dan ahl ra’y yang cenderung tidak membatasi penggunaan ra’y.77 Agaknya, dimungkinkan masuknya logika Aristoteles ke dalam qiyas terjadi pada masa ulama’ setelahnya, terutama pada masa al-Ghazali yang secara terang-terangan menjadikan mantiq Aristo sebagai salah satu syarat sah ijtihad.78
Keterpengaruhan asy-Syafi’i terhadap Aristoteles sebagaimana yang diduga oleh Joshep Schacht79 yang kemudian diakui oleh M. Roy tidak dapat dibuktikan secara jelas, karena batasan keterpengaruhan seseorang dengan pemikiran lain tidak dapat ditunjukan hanya dengan melihat persamaan konsep. Kemungkinan keterpengaruh itu lebih pada kemungkinan adanya kutipan langsung yang bersifat “membentuk” karakter pemikir yang mengutip, bukan dalam bentuk kutipan dengan kepentingan “menolak” (reaksi). Sedangkan asy-Syafi’i tidak pernah menyebutkan pemikiran Aristoteles langsung ataupun tidak, baik sebagai “pembentuk” maupun “reaksi” pemikirannya. Tidak ada proses referensial antara asy-Syafi’i dengan Aristoteles.
Sungguhpun demikian, model qiyas sekarang telah memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap pengembangan keilmuan islam, terutama dalam hukum. Hal ini terlihat juga ketika muncul satu tesis tentang gerak ganda yang digagas Fazlur Rahman.
Logika Teori Double Movment Fazlur Rahman80
Ketentuan-ketentan hukum yang sudah ada dalam al-Qur’an dan al-hadis bagi pembuat hukum klasik tidak akan dilakuakan penafsiran lebih jauh. Mereka cenderung menerima apa yang telah tercantum dalam al-Qur’an dan al-hadis tersebut. Misalnya, seperti yang telah ditegaskan sebelumnya, keyakinan bahwa al-Qur’an dan sunnah nabi telah mencakup berbagai persoalan hukum menyebabkan imam asy-Syafi’i harus membuat teori hukum yang langsung disandarkan kepada kedua sumber tersebut yang dikenal dengan teori qiyas. Sementara itu, seiring dengan perkembangan zaman dan penyebaran Islam, bentuk hukum Islam yang bukan hanya di tanah Arab an sich, harus menemukan bentuk-bentuk yang berbeda (kontekstual).
Penerapan hukum berdasarkan apa yang tersurat dalam al-Qur’an maupun hadis dipandang sebagian sudah tidak kontekstual, walaupun ada juga yang masih relevan dengan zaman dan tempat ia diberlakukan. Sementara itu, usaha yang sudah dilakukan oleh ulama-ulama untuk reinterpretasi al-Qur’an dan hadis sebagai usaha reformasi, belum menghasilkan “sesuatu” yang memuaskan.81 Untuk menjawab kegelisahan ini, maka munculah ulama-ulama yang mencoba menawarkan teori untuk memenuhi kehampaan epistemology dan aksiologi secara khusus dalam hukum Islam, dan secara umum dalam studi Islam, menjadikannya relevan disetiap tempat dan masa (shahih li kulli zaman wa makan). Salah satu diantaraya adalah teori double movement yang ditawarkan Fazlur Rahman.
Rahman dalam satu karyanya menjelaskan cara-cara pemahaman al-Qur’an yang belakangan dikenal dengan teori double movement:
first, one must understand the import or meaning of a given statement by studying the historical situation or problem to which it was the answer. Of course, before coming to the study of specific text in the light of specific situation, a general study of the macrosituation in term society, religion, customs, and institution, indeed, of life as a whole in Arabia on the eve of Islam and particularly in and around Mecca –not excluding the Perso-Byzantine wars- will have to the made. The first step of the first movement, then, consists of understanding the meaning of the qur’an as a while as well as in term of the specific tenets that constitute responses to specific situation. The second step is to generalize those specific answers and enunciate them as statements of general moral-social objectives that can be “distilled” from specific text in light of sociohitorical back ground and the often-stated rationes legis. 82
Whereas the first movement has been from the specifics the Qur’an to the elicting and systematizing of its general principles, values, and long-range objectives, the second is to be from this general view to the specific view that is to be formulated and realized now. That is, the general has to be embodied in the present concrete sociohistorical context. This once again reguires the careful study of the present situation and the analysis of its various component elements so we can asses the current situation and change the present to whatever extent necessary, and so we can determine priorites afresh in order to implement the Qur’anic values afresh. To the exten that we achive both moments of this double movement successfully, the Qur’anic’s imperatives will become alive and effective once again. While the first task is primarly the work of the historian, in the performance of the second the instrumentality of the social scientist is abviously indispensable, but the actual “effective orientation” and “ethical engineering” are the work of he ethist.83
Jika dicermati lebih seksama maka akan ditemukan beberapa hal penting dalam pernyataannya. Pertama, memahami dan memaknai pernyataan dengan melihat situasi sosio-historis pada saat statement itu muncul. Kedua, membuat kesimpulan terhadap statemen tersebut dengan mengklasifikasikan asperk “ideal moral” dan legal formal yang spesifik. Pengklasifikasian ini didasarkan atas kombinasi antara aspek sosio-historis dengan rationes legis yang terkadang dinyatakan. Ketiga, “ideal moral” yang didapatkan sebagai kesimpulan terhadap pemahaman dan pemaknaan statement tersebut dibawa ke kontek sekarang sesuai dengan sosio-historinya yang konkrit.
Konsep “ideal moral” sangat menarik untuk dicermati karena melibatkan sesuatu yang umum. Struktur logika yang digunakan Rahman untuk pembacaan ulang terhadap ayat al-Qur’an memiliki kesamaan dengan struk logika yang digunakan dalam teori qiyas yaitu melibatkan rasio legis (‘illat hukum atau ma’na dalam istilah asy-Syafi’i). Tentunya Rahman juga terpengaruh oleh model-model logika fikih dalam menemukan hukum, hanya saja Rahman memiliki cakupan lebih luas karena ia tidak berbicara pada persoalan hukum an sich, tetapi lebih pada pembacaan al-Qur’an. Sungguhpun begitu, kita tidak dapat menyimpulkan bahwa stuktur logika double movement sama persis dengan logika qiyas, tentunya, kita akan menemukan berbagai perbedaan.
Perbedaan yang mencolok apa yang telah dilakukan Rahman adalah ia melibatkan konteks (sosio-historis) dulu dan sekarang. Tidak hanya itu, lebih jauh lagi, sebagai syarat penemuan “ideal moral” yang akan dijadikan alasan pembuatan hukum untuk konteks sekarang pun harus melibatkan dua hal yaitu alasan hukum (ratio legis) yang kadangkalah eksplisit (dinyatakan dalam teks itu sendiri) dan kadangkalah semi-eksplisit (tidak dinyatakan tetapi ada petunjuk), dan kontek sosio-historis yang memberikan pemahaman mengapa sebuah aturan diturunkan. Aturan khusus yang merupakan jawaban terhadap kasus khusus kemudian digeneralisir berdasarkan kondisi sosio-historis karena aturan khusus tersebut telah dibatasi oleh rasio legis. Dengan demikian, logika ini adalah induktif.84
Logika induktif dalam cara-cara pengungkapan “ideal moral” dari sebuah aturan, yang dikemukakan Rahman, jika diproyeksi ke dalam logika qiyas akan bertemu dengan pengungkapan ‘illat yang zhani.85 Hanya saja kita tidak dapat mengatakan bahwa Rahman telah melakukan pengiyasan menjawab persoalan sekarang dengan persoalan yang terdapat dalam al-Qur’an disertai dengan mencari sebab aturan yang ada dalam al-Qur’an.86 Hal ini disebabkan karena, pertama, ia tidak mengungkapan kasus perkasus tetapi lebih umum sehingga tidak ditemukan muqayyas ‘alaih dan muqayyis, sekalipun ada contoh-contoh kasus. Kedua, “ideal moral” yang merupakan kombinasi rasio legis dan kontek sosio-histois tidak untuk menjawab kasus-kasus yang benar-benar tidak terdapat dalam al-Qur’an, tetapi juga untuk menjawab persoalan yang ada sekarang sekalipun aturan itu sudah ada dalam al-Qur’an87. Hal ini tentunya menyalahi hukum qiyas (yang sistematis), sekalipun al-Ghazali mendifinisikan ‘illat sebagai sesuatu yang dilandaskan pada kemaslahatan,88 namun Rahman tidak melandasinya pada konsep kemaslahatan karena “ideal moral” adalah basic ĕlan dari al-Qur’an itu sendiri yaitu semangat moral, ide-ide keadilan social dan ekonomi.89 Ketiga, kesimpulan akhir dari persoalan yang akan dijawab tidak harus sama dengan jawaban terhadap kasus yang ada dalam al-Qur’an (legal spesifik). Jawaban itu boleh sama persis dengan jawaban yang ada dalam al-Qur’an, boleh berbeda dan bahkan bertentangan.90 Hal ini disesuaikan dengan formulasi antara “ideal moral” dan konteks sekarang yang diinginkan.
Terlepas dari persoalan di atas, logika Rahman tentang teori double movement tetap memiliki kemiripan dengan model-model ulama fiqh menjelaskan teori qiyas karena keduanya menggunakan rasio legis. Dalam konteks ini, dari aspek kesejarahan pemikiran tentunya logika qiyas ini memberi pengaruh penting dalam logika double movement. Raman dalam satu artikelnya mengelaborasi tentang qiyas dan mengkritik ulama yang tidak seragam mempraktekakkan qiyas dengan mencari rasio legis, mereka terkadang menerapkan prinsip qiyas terlalu ketat dan terkadang terlalu liberal, sehingga sebagian dari mereka mengemukakan prinsip lain seperti maslahah dan istihsan. Padahal jika fuqaha mengeluarkan prinsip-prinsip secara sitematis lewat penyarian ‘illat al-hukm dari aturan al-Qur’an, serta telah mensistematisasikannya secara hierarkis dalam term-term yang lebih umum dan lebih khusus, yang lebih fundamental dan kurang fundamental maka mereka pasti telah bisa memasukan prinsip-prinsip yang lebih rendah ke perinsip-prinsip yang lebih tinggi.91 Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa gerakan pertama dari double movement adalah penyempurnaan terhadap penemuan ‘illat hukum model qiyas dengan mengkombinasikan antara rasio legis yang mungkin disebutkan atau semi eksplisit dan kontek sosi-historis, yang tujuannya menemukan tujuan al-Qur’an atau “ideal moral”.
Lebih jauh lagi, tentunya, double movement adalah contoh model logika induktif untuk gerakan pertama dan logika deduktif untuk gerakan kedua, namun ia memadukan antara model substansi dan bentuk (universal dan particular) dalam logika Aristoteles untuk menentukan rasio legis dengan model logika hipotesis Stoik dengan mengambil premis-premis tidak dalam bentuk tunggal tetapi banyak. Hal ini karena factor yang menyebabkan sesuatu dilihat berdasarkan kondisi social, ekonomi, politik dan sebagainya secara komprehensif. Namun, untuk gerakan pertama proposisi-proposisi bisa saja berbentuk tunggal. Jadi, logika Fazlur Rahman dalam teori double movement adalah perpaduan antara dua logika sekaligus yaitu induktif yang secara cikal bakalnya dari Stoic bahkan Plato dan logika deduktif yang cikal bakalnya dari Aristoteles.
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan beberapa hal:
1.struktur logika dalam hukum Islam (qiyas) memiliki kesamaan dengan struktur logika kalam, sedangkan struktur logika kalam dalam beberapa hal memiliki persamaan dengan logika Aristoteles dan lebih banyak juga mengakses logika Stoik. Namun, struktur hukum Islam, dalam hal ini qiyas, tidak dapat dipastikan diadopsi dari pemikiran Aristoteles, walaupun harus diakui bahwa ulama fiqh, semisal asy-Syafi’i, tidak hanya seorang fuqaha tetapi juga Mutakalimmun. Selanjutnya, kita dapat memastikan bahwa perkembangan qiyas setelah asy-Syafi’i memang benar-benar mengadopsi pemikiran Aristoteles, misalnya, apa yang telah dilakukan al-Ghazali dan lain-lain. Pelacakan struktur logika fiqh, lebih jauh lagi, ternyata banyak menggunakan logika Stoic, terutama dalam usaha menemukan ‘illat hukum. Hal ini sama seperti yang terjadi dalam dunia kalam. Komponen yang permanen dari logika hukum Islam (qiyas) adalah model silogisme yang terdapat dalam logika Aristoteles dan juga diadopsi oleh Mutakalimmun, sedangkan yang mengalami perubahan adalah ketentuan premis mayor yang harus didapatkan dari sumber yang ”suci” sebagai ciri khas pemikiran Islam.
2.logika teori double movement yang dikemukakan Fazlur Rahman adalah perpaduan antara logika induktif dan deduktif. Pada gerakan pertama adalah logika induktif yang bertujuan untuk menemukan “tujuan” atau “ideal moral” yang dalam pelacakannya ternyata merupakan usaha penyempurnaan terhadap qiyas yang sudah ada (karena qiyas yang sudah ada tidak dapat menemukan ‘illat hukum dengan klasifikasi yang sistematis). Pada gerakan pertama, tentunya, Rahman terpengaruh oleh model berfikir qiyas, karena ia pun menjelaskan prosedur qiyas yang menurutnya belum sempurnah. Selanjutnya, gerak kedua adalah model logika deduktif, yaitu manarik hal yang umum sebagai hasil dari gerak pertama kepada hal-hal yang khusus yang sedang dihadapi masyarakat sekarang dengan mempertimbangkan kondisi objektif.

Bibliografi
Al-Munawir Kamus Arab Indonesia, Ahmad Warson Munawir, Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984
Anwar, Syamsul, ” Teori Konformitas dalam Metode Penemuan Hukum Islam al-Ghazali,” dalam Amin Abdullah, dkk., Antologi studi Islam: Teori dan Metodologi, Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000
Arkoun, Muhammad, Membedah Pemikiran Islam, alih bahasa: Hidayatullah, Bandung: Pustaka, 2000
Baihaqi, A.k, Ilmu Mantik: Teknik Dasar Berfikir Logik, ttp: Darul Ulum Press, 1996
Coulsen, N.J., a History of Islamic Law, Edinburgh: Edinburgh University Press, 1964
Danusiri, “Epistemologi Syara’”, dalam Noor Ahmad, dkk, Epistemologi Syara’: Mencari Format Baru Fiqh Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Ess, Josef Van, “The Logical Structure of Islamic Theology,” dalam Issa J Boullata (ed.) An Antology of Islamic Studies, McGill: Institute of Islamic Studies McGill University, 1970
Ghazali, Muhammad al-, Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Ushul, 2 jilid, ttp: Dar al-Fikr, tt
Hallaq, Wael B., A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh, Cambridge: Cambridge University Press, 1997
Haleem, M. Abdul, “Early Kalam”, dalam Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leman (ed.), History of Islamic Philosophy (Part 1), London: Routledge, 1996
Hasan, M. Ali, Ilmu Mantiq Logika, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992
Hasan, Ahmad, The Early Development of Islamic Juresprudence, Delhi: Adam Publishers and Distribution, 1994
____________, Analogical Reasoning In Islamic Jurisprudence: A Studi of the Juridical Principle of Qiyas, Delhi: Adam Publishers and Distribution, 1994
Husni, Muhammad, Pengantar Logika dan Pengembangan Kreatifitas dalam Berfikir, Yogyakarta: Gama Exacta Corporation, 1995
Ibn Khaldun, Muqaddimah, alih bahasa: Ahmadi Thoha, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000
Jabiri, Muhammad Abed al-, Formasi Nalar Arab Kritik Tradisi Menuju Pembebasan Dan Pluralisme Wacana Interreligius, alih bahasa: Imam Khoiri, Yogyakarta: Ircisod, 2003
Syafi’i, Muhammad Idris asy-, ar-Risalah li al-Imam al-Muthalibi Muhmmad ibn Idris asy-Syafi’I, tahqiq: Muhammad Sayid Kailani, Kairo: Dar al-Fikr, 1969
Kamali, Muhammad Hashim, Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam (Usul Fiqh), alih bahasa: Noorhadi, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1996
Kamus Filsafat, Tim Penulis Rosada, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995
Kamus Filsafat, Loren Bagus, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000
Kamus Ilmiah Populer, Pius A Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Surabaya: Arkola,1994
Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, Ali Mudhofir, Yogyakarta: Gaja Mada University Press, 1996
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, edisi kedua, Yogyakarta: Tirai Wacana, 2003
Madkour, Ibrahim, Aliran dan Teori Filsafat Islam, alih bahasa: Yudian Wahyudi Asmin, cet. Ke-2, Jakarta: Bumi Aksara, 2002
Khatibi, Muhammad 'Ajaj al-, Ushul al-Hadits 'Ulumuhu wa Mustalahuhu, Beirut: Dar al-Fikr, tt
Minhaji, Akh., “Hak-hak Asasi Manusia dalam Hukum Islam: Ijtihad Baru tentang Posisi Minoritas Non-Muslim,” dalam Amin Abdullah, dkk., Antologi studi Islam: Teori dan Metodologi, Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000
Muchtar, Kamal, dkk, Ushul Fiqh jilid 1, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995
Mu’in, Taib Thahir Abd., Ilmu Mantiq (Logika), Jakarta: Widjaya, 1981
Mundiri, Logika, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001
Nasir, Sahilun A., Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta: Rajawali, 1991
Nasution, ­­­­Khoiruddin, Fazlur Rahman tentang Wanita, Yogyakarta: Tazzfa dan Academia, 2002
Poespopradjo, W. dan T.Gilarso, Logika Ilmu Menalar: Dasar-dasar Berfikir Logis, Kritis, Analisis, Dialektis, Mandiri dan Tertib, Bandung: Remaja Karya, 1989
Prent C.M, K., dkk. Kamus Latin-Indonesia, Semarang: Penerbitan Yayasan Kanisius, 1969
Rahman, Fazlur, Islam, alih bahasa: Ahsin Mohammad, cet ke-2, Bandung: Pustaka, 1994
­­­_________, Membuka Pintu Ijtihad, alih bahasa: Anas Mahyuddin, cet.ke-3, Bandung: Pustaka, 1995
_________, “Islamic Modernisme: Its Scope, Method and Alternatives”, dalam International Journal of Middle Eastern Studies, Vol.I, (1970), 317-33
_________, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago: the University of Chicago, 1919
_________, “Menafsirkan al-Qur’an,” dalam Tufik Adnan Amal (penerjemah dan penyunting), Metode dan Alternative Neomodernisme Islam Fazlur Rahman, cet-5, Bandung: Mizan, 1993, diterjemahkan dari Fazlur Rahman, “interpreting the Qur’an”.
_________, “Ke Arah Perumusan Metodologi Hukum Islam Syaikh Yamani Tentang ‘Kepentingan Umum’ dalam Hukum Islam, dalam Tufik Adnan Amal (penerjemah dan penyunting), Metode dan Alternative Neomodernisme Islam Fazlur Rahman, cet-5, Bandung: Mizan, 1993, diterjemahkan dari artikel Rahman “Towards Reformulating the Methodology of Islamic Law: Syaikh Yamani on ‘Publik Interest’ in Islamic Law”
________, “Catatan Otobiografis: Usaha Membangkitkan Kembali Visi al-Qur’an,” dalam Fazlur Rahman, Cita-Cita Islam, Sufyanto dan Imam Musbikin (ed. dan penerjemah), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000),3-14. Diterjemahkan dari artikel Fazlur Rahman “An Authobiographical Note”
Roy, Muhammad, Ushul Fiqh Mazhab Aristoteles: Pelacakan Logika Aristoteles dalam Qiyas Usul fiqh, Yogyakarta: Safira Insni Press, 2004
Russell, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat, alih bahasa: Sigit Jatmiko, dkk, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002
Salam, Burhanuddin, Logika Formal (Filsafat Berfikir), Jakarta: Bina Aksara, 1998
Searles, Herbert L., Logika dan Metode-metode Ilmiah Pelajaran Pendahuluan, alih bahasa: Soejono Soemargono dan Sriboedah Soeharto, Yogyakarta: Yayasan Pembinaan Fak. Filsafat UGM, tt
Smith, Robin, “Logic,” dalam Joathan Barnes (ed.), The Cambridge Companion to Aristotle, USA: Canbridge University Press, 1995
Soekadijo, R.G., Logika Dasar: Tradisional, Simbolik dan Induktif, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991
Syahrūr, Muhammad, Al-Kitāb wa Al-Qur’ān: Qira'ah Mu'āşira, Damaskus: Al-Ahali lil-Tiba'ah wa an-Nashr wa at-Tauzi, 1991
--------------, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, alih bahasa: Sahiron Samsuddin dan Burhanudin, Yogyakarta: el Saq Press, 2004
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid I, Jakarta: Logos wacana Ilmu,1997
Syatibi, Abu Ishaq Ibrahim al-Lakhmi al-Qirnati asy-, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, cet ke-3, Bairut: Dar al-Ma’rifah, 1997
Tidman, Paul dan Howard Kahane, Logic and Philosophy: a Moderen Introduction, USA: Wadsworth Publishing Company, 1999
Wahyudi, Yudian, Ushul Fikih versus Hermeneutika: Membaca Islam dari Kanada dan Amerika, Yogyakarta: Nawasea, 2006
Wolfson, Harry Austryn, The Philosophy of the Kalam, U.S.A: Harvard University Press, 1976
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh, alih bahasa: Saefullah Ma’sum, dkk, cet. Ke 9, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005

Template by : Kendhin x-template.blogspot.com