KIRI ISLAM HASSAN HANAFI Ideologi Kebangkitan Dunia Islam

KIRI ISLAM HASSAN HANAFI
Ideologi Kebangkitan Dunia Islam

A.Pendahuluan
Tidak terlalu sulit menemukan kiri dan kanan di kehidupan kita, yakni kiri dan kanan dalam pengertian dua haluan atau front kekuatan yang saling bergumul atau berhubungan secara dialektis. Ketika kata kiri digandengkan dengan kata Islam, muncul sejumlah pertanyaan. Apakah yang dimaksud dengan Kiri Islam.1
Bagi Hassan Hanafi, tokoh Kiri kontroversial Mesir yang memperkenalkan karya dengan mengedepankan proyek tradisi dan pembaruan berjudul Kiri Islam menyatakan bahwa penggunaan nama “kiri” sangat penting. Karena dalam citra akademik, “kiri” memiliki konotasi perlawanan dan kritisisme.2 Berbeda dengan wacana kebangkitan Islam yang diusung oleh kalangan “neorevivalis” yang lebih mengedepankan apologi ideologis dan simbol-simbol keagamaan.3
Secara singkat dapat dikatakan, Kiri Islam Hassan Hanafi bertopang pada tiga pilar dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam (revolusi Tauhid), dan kesatuan umat. Pilar pertama adalah revitalitas khazanah Islam klasik. Pilar kedua adalah perlunya menantang peradaban Barat. Kemudian pilar ketiga yaitu analisis atas realitas dunia Islam.4
Dengan demikian pemikiran Hassan Hanafi ini menjadi suatu hal yang sangat penting. Karena secara tidak langsung pemikiran ini memberikan sebuah gagasan untuk membangkitkan kembali peradaban Islam melalui gagasan tauhid dan penentangan dominasi kultural Barat.5
B.Mengenal Hassan Hanafi
Hassan Hanafi lahir di Kairo, ibu kota Republik Arab Mesir (Jumhuriyyat Mishr al-‘Arabiyah), pada tanggal 13 Pebruari 1935. Pendidikannya diawali di pendidikan dasar, tamat tahun 1948, kemudian Madrasah Tsanawiyah “Khalil Agha”, Kairo, selesai 1952. Selama di Tsanawiyah ini, Hanafi sudah aktif mengikuti diskusi-diskusi kelompok al-Ikhwan al-Muslimun, sehingga paham tentang pemikiran-pemikiran yang dikembangkan dan aktifitas-aktifitas sosial yang dilakukan. Selain itu, ia juga mempelajari pemikiran Sayyid Qutb (1906-1966) tentang keadilan sosial dan ke-Islaman.6 Hal ini dikarenakan Hanafi merasakan ketidakpuasan atas cara ber­pikir kalangan muda Islam yang terkotak-kotak.
Setamat Tsanawiyah, Hanafi melanjutkan studi Departemen Filsafat Kairo. Di dalam periode ini ia merasakan situasi yang paling buruk di Mesir. Pada tahun 1954 misalnya, terjadi pertentangan keras antara Ikhwan dengan gerakan revolusi. Kejadian-kejadian yang ia alami pada masa di kampus ini, membuatnya bangkit menjadi seorang pemikir, pembaharu, dan reformis. Keprihatinan yang muncul saat itu adalah mengapa umat Islam selalu dapat dikalahkan dan konflik internal terus terjadi.
Kemudian setelah menyandang gelar sarjana muda, Hanafi melanjutkan ke Universitas Sorbonne Prancis, dengan konsentrasi kajian pada pemikiran Barat pra-modern dan modern. Di Sorbonne, Hanafi sangat tertarik mendalami Idealisme Jerman, terutama filsafat dialektika yang lazim dalam pemikiran Hegel dan Karl Marx. Di samping itu, fenomenologi dari Edmund Husserl yang sangat menghargai individu dalam teori pengetahuan dan kenyataan, juga menarik minatnya.7 Karena itu, meski di kemudian hari ia mengkritik dan menolak Barat, tetapi tidak pelak, ide-ide liberalisme Barat, demokrasi, rasionalisme dan pencerahannya telah mempengaruhinya.8
Mengenai gerak pemikiran Hanafi yang disesuaikan dengan kondisi gerak Intelektual negara Mesir pada saat itu, dilihat dari tiga kecenderungan pemikiran yang muncul,9 Hanafi tidak begitu setuju dengan gerakan pemikiran tersebut, walau di masa perjalanan karir pemikirannya sempat berpihak pada gerakan ikhwan al-Muslimin. Tetapi pemikirannya mengalami proses dengan dipengaruhi oleh gerakan pemikiran yang lain, apalagi setelah ia belajar ke Perancis. Dengan demikian pemikirannya terbangun lewat situasi gerak intelektual di Perancis, yang menjadikan pemikirannya khas dan unik.10

C.Kiri Islam (Kemunculan, Nama dan Artinya)
Hassan Hanafi meluncurkan jurnal berkalanya Al-Yasar al-Islami:Kitabat Fi Al-Nahdla Al-Islamiyah (Kiri Islam: Beberapa Esai tentang Kebangkitan Islam) pada tahun 1981. Majalah ini terbit pasca kemenangan Revolusi Islam di Iran pada Februari 197911 yang bersamaan dengan sedang berkecamuknya kritikan atas rezim politik di Mesir dan juga setelah dipublikasikannya buku al-Hukumah al Islamiyah (Pemerintahan Islam) dan Jihad an-Nafs (Jihad Melawan Diri) karya Ayatullah Khomeini.12
Dalam esai pertama jurnal yang berjudul “apa arti Kiri Islam?.” Hassan Hanafi mendiskusikan beberapa isu penting berkaitan dengan Kebangkitan Islam. Secara singkat dapat dikatakan, Kiri Islam bertopang pada tiga pilar dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam (revolusi Tauhid), dan kesatuan umat. Pilar pertama adalah revitalisasi khazanah Islam klasik. Hassan Hanafi menekankan perlunya rasionalisme untuk revitalisasi khazanah Islam itu. Pilar kedua adalah perlunya ada menantang peradaban Barat. Ia memperingatkan pembacanya akan bahaya imperialisme kultural Barat yang cenderung membasmi kebudayaan bangsa-bangsa yang secara kesejarahan kaya. Ia mengusulkan “Oksidentalisme” sebagai jawaban “Orientalisme” dalam rangka mengakhiri mitos peradaban Barat. Pilar ketiga adalah analisis atas realitas dunia Islam. Untuk analisis ini, ia mengkritik metode tradisional yang bertumpu pada teks (nash), dan mengusulkan suatu metode tertentu, agar realitas dunia Islam dapat berbicara bagi dirinya sendiri. Menurut Hassan Hanafi dunia Islam kini sedang menghadapi tiga ancaman, yaitu, imperialisme, zionisme dan kapitalisme dari luar, kemiskinan, ketertindasan dan keterbelakangan dari dalam. Kiri Islam berfokus pada problem-problem era ini.13
Ketika Hassan Hanafi menjelaskan latar belakang munculnya Kiri Islam, Ia mengkaji beberapa kecenderungan yang menurutnya penting untuk didiskusikan bagi masa depan dunia Arab-Islam. Pertama, ia menggambarkan adanya kecenderungan kooptasi agama oleh kekuasaan, dan praktik keagamaan diubah menjadi semata-mata ritus. Kedua, liberalisme adalah subjek kritik Hassan Hanafi. Ketiga, kecenderungan Marxis Barat yang bertujuan memapankan suatu partai yang berjuang melawan kolonialisme, telah menciptakan dampak-dampak tertentu, namun belum cukup untuk membuka kemungkinan berkembangnya khazanah intelektual Muslim. Keempat, kecenderungan revolusi nasional terakhir telah membawa banyak perubahan fundamental dalam struktur sosial dan kebudayaan Arab-Islam, tapi perubahan itu tidak mempengaruhi kesadaran massa Muslim.14 Dan tugas Kiri Islam adalah mengatasi kecenderungan-kecenderungan itu dan merealisasikan tujuan-tujuannya, termasuk revolusi nasional yang berbasis pada prinsip revolusi sosialisme melalui khazanah intelektual umat.
Meskipun jurnal Kiri Islam hanya satu edisi yang berhasil diterbitkan,15 namun jurnal ini menjadi salah satu jurnal yang paling penting sebagai bahan kajian dikarenakan beberapa sebab:
1.Jurnal Kiri Islam adalah kelanjutan Al-Urwah al-Wutsqa dan Al-Manar dilihat dari keterikatannya dengan agenda Islam al-Afghani; yaitu melawan kolonialisme dan keterbelakangan, menyerukan kebebasan dan keadilan sosial, serta mempersatukan kaum muslimin ke dalam blok Islam atau blok Timur.16
2.Kiri Islam berakar pada pemikir Islam revolusioner Ali Syariati dan upayanya membangun anatomi revolusi yang merupakan fajar pembuka revolusi Islam di Iran di bawah komando Imam Khomaeni.
3.Kiri Islam merupakan penyempurnaan agenda modern Islam yang mengungkapkan realitas dan tendensi sosial politik kaum Muslimin. Ia tidak muncul dari ruang hampa dan bukan sesuatu yang mengada-ada dalam gerakan Islam kendati pun ia muncul di tengah-tengah kekosongan setelah agenda Al-Afghani mengalami krisis dan terdistorsi di dalam Al-Manar, terlebih di dalam majalah-majalah Al-Wa’dh wa al-Irsyad dan Al-Dakwah ila Sabil al-Rasyad.17
4.Kiri Islam juga sebuah teks tentang pembaruan pemikiran Islam. Melalui pengujian argumen-argumen Hassan Hanafi, terutama tentang Mu’tazilah (Kiri yang dipuji-puji Hassan Hanafi), dan tentang Asy’ariyah (Kanan yang ditolak Hassan Hanafi. Dengan isu ini, kita dapat meneliti kaitan-kaitan antara kekuatan politik, kesejahteraan Muslim, dan isu rasionalisme.
Sedangkan mengenai penamaan Kiri Islam sendiri, ini menggambarkan arus yang berkembang dalam esai-esai di dalamnya. Ia adalah nama ilmiah, sebuah istilah ilmu politik yang berarti resistesi dan kritisisme dan menjelaskan jarak antara realitas dan idealitas. Ia juga terminologi ilmu-ilmu kemanusiaan secara umum. Misalnya, terdapat Kiri Freud dalam psikologi. Kiri Hegel dalam Filsafat, dan Kiri Keagamaan dalam ilmu-ilmu sejarah agama-agama.
Hassan Hanafi sendiri menyadari, walaupun dengan nama Kiri Islam akan menyebabkan perlawanan datang dari dua arah. Pertama Kelompok “Persaudaraan Allah” akan berkata: tidak ada Kiri dan Kanan dalam Islam. Islam adalah satu, umat Islam satu dan Tuhan satu. Sementara perlawanan kedua dari kalangan pembela status quo (baik politik, ekonomi dan status sosial) yang menolak perubahan akan mengatakan bahwa Kiri dan Kanan itu adalah permainan kata-kata, untuk memecah belah umat, menyebar intrik dan fitnah. Kiri adalah pengkhianat, pembangkang, penghasut dan tidak senang pada kebaikan manusia.18

D.Kiri Islam dan Revitalisasi Khazanah Klasik
Kiri Islam juga berupaya merekonstruksi khazanah klasik Islam. Tujuannya adalah untuk membangun kembali paradigma ilmu pengetahuan Islam setelah sekian waktu luput dari agenda kehidupan umat Islam.
Reaktualisasi tradisi keilmuan Islam berarti mengaktualkan (menghidupkan) kembali tradisi keilmuan Islam. Dengan mengaktualkannya, berarti kita selama ini tidak actual atau tidak sejalan dengan kenyataan yang ada sehingga diperlukan upaya untuk menjadikannya real melalui modifikasi atau reformasi.19
Karena Turats bukanlah wujud yang terlepas dari realitas yang dinamis, berubah dan berganti, yang mengekspresikan semangat zaman, pembentukan generasi dan fase perkembangan sejarah.20 Turats sendiri bukanlah masalah kajian zaman bahula semata yang sering dilupakan, selalu di museum dan diteliti hanya oleh para arkeolog, tetapi juga merupakan bagian dari realitas dan muatan psikologisnya.21
Oleh karena itu Kiri Islam Hassan Hanafi berupaya merekontruksi, mengembangkan dan memurnikan kembali khazanah lama (Turats) yang dimana khazanah lama kita terdiri dari tiga macam ilmu pengetahuan, yaitu: ilmu-ilmu normative-rasional (al-uum an-naqliyah al-‘aqliyah), semisal ilmu usuludin, ilmu ushul fiqh, ilmu-ilmu hikmah, dan tasawuf. Ilmu-ilmu rasional semata (al-‘aqliyah), semisal matematika, astronomi, fisika, kimia, kedokteran dan farmasi. Dan ilmu-ilmu normative tradisional (an-naqliyah), semisal ilmu al-Qur’an, ilmu hadits, sirah Nabi, fiqh dan tafsir.22
Dalam bidang ilmu usuluddin,23 Kiri Islam sebagai paradigma independent pemikiran keagamaan memandang Mu’tazilah sebagai refleksi gerakan rasionalisme, naturalisme dan kebebasan manusia. Dengan demikian Kiri Islam menyepakati lima prinsip Mu’tazilah (ushul al-khamsah) dan berusaha merekonstruksi prinsip Mu’tazilah itu setelah tenggelam pada abad ke-5 Hijriah. Kemudian juga dalam ilmu fiqh dan ushul fiqh, Kiri Islam mengikuti paradigma fiqh dan ushul fiqh Maliki karena ia menggunakan pendekatan kemaslahatan (mashalih mursalah) serta membela kepentingan umat. Selanjutnya dalam filsafat Kiri Islam mengikuti paradigma Ibnu Rusyd. Ia menghindari iluminasi dan metafisika, dengan mendayakan rasio untuk menganalisis hukum alam. Dengan demikian Kiri Islam hadir untuk menegaskan komitmennya pada pemikiran rasionalistik-ilmiah, yang telah dirintis dan dikembangkan oleh al-Kindi dan Ibnu Rusyd di dunia filsafat Islam. Untuk tasawuf, Kiri Islam menolaknya, karena tasawuf dipandang sebagai penyebab dekadensi kaum muslimin24 yang ditengarai oleh Ibnu Taimiyah, al-Kawakibi dan Imam Khomeini sebagai orang-orang yang sok suci.25
Kiri Islam juga mempunyai akar pada ilmu-ilmu normative-tradisional murni. Dalam ilmu hadits, Kiri Islam lebih memprioritaskan pada makna hadits, bukan pada perawinya, dan selanjutnya memprioritaskan pada kata-kata nabi daripada pribadinya. Dalam ilmu tafsir, Kiri Islam melampaui tafsir historis yang digunakan banyak ahli tafsir. Akan tetapi Kiri Islam membangun tafsir perspektif (asy-syu’uri) agar al-Qur’an mendeskripsikan manusia, hubungannya dengan manusia lain, tugasnya di dunia, kedudukannya dalam sejarah, membangun system sosial dan politik. Kemudian sebagai ahli fiqh, Kiri Islam lebih tertarik pada pengembangan muamalah daripada ibadah.26

E.Kiri Islam Dan Peradaban Barat.
Kiri Islam hadir untuk menantang dan menggantikan kedudukan barat. Jika Al Afghani mengingatkan akan imperialisme militer, maka kita pada awal abad ini tengah menghadapi ancaman imperialisme ekonomi berupa korporasi multi nasional, sekaligus mengingatkan akan ancaman imperialisme kebudayaan. Kiri Islam memperkuat umat Islam dari dalam dari tradisinya sendiri dan berdiri melawan pembalakan yang pada dasarnya bertujuan melenyapkan kebudayaan Nasional dan memperkokoh dominasi kebudayaan barat.27
Tugas Kiri Islam adalah melokalisasi barat, artinya mengembalikan pada batas-batas alamiahnya dan menepis mitos “Mendunia”, yang selama ini dibangun melalui upaya yang menjadikan dirinya sebagai pusat peradaban dunia dan berambisi menjadikan kebudayaannya sebagai paradigma kemajuan bagi bangsa-bangsa yang lain.28
Tugas Kiri Islam juga menarik peradaban barat bersama kekuatan militernya kedalam batas-batas barat, setelah imperialisme terpecah, dan menjadikannya objek studi dari peradaban non barat bahkan membangun ilmu baru bernama oksidentalisme untuk menandingi orientalisme lama.dengan demikian study tentang peradaban Eropa sebagai sebuah objek studi yang independen dapat dilakukan dari dua arah, pertama dari perkembangannya dan kedua dari strukturnya.29
Perlu diketahui, kekuatan Barat terletak pada proyek epistemologis “Aku berfikir, maka aku ada”, yang mengawali babak awal modern Barat. Barat berperan sebagai subjek pengetahuan, dengan menjadikan Non Barat sebagai objek pengetahuan. Sementara Barat menciptakan orientalisme, maka non Barat bisa menciptakan oksidentalisme untuk mengkaji fenomena yang disebut “Barat”, sumber-sumber peradabannya, fase-fase sejarahnya, struktur serta masa depannya. Karena Barat perlu melihat gambaran dirinya menurut perspektif Non Barat, mendapatkan objektivikasi dan historisasi sebagaimana dialami budaya lain.30
Namun oksidentalisme yang dimaksud Hassan Hanafi dalam Kiri Islam sesungguhnya bukan lawan orientalisme melainkan sebuah hubungan dialektis yang saling mengisi dan melakukan kritik antara yang satu terhadap yang lain sehingga terhindar dari relasi hegemonik dan dominatif dari dunia Barat atas dunia Timur.31

F.Realitas Dunia Islam
Kiri Islam menggambarkan situasi dunia Islam tidak secara normatif untuk memberi nasihat dan petunjuk. Realitas dan angka-angka statistik dibiarkan berbicara sendiri tentang dirinya. Sementara pemikiran keagamaan kita selama ini hanya bertumpu pada model pengalihan yang hanya memindahkan bunyi teks kepada realitas yang dapat berbicara sendiri. Padahal metode teks seperti itu banyak mengandung kelemahan.
Pertama; teks adalah teks dan bukan realitas ia hanyalah deskripsi linguistik terhadap realitas yang dapat menggantikannya. Kedua, Berbeda dengan rasio atau eksperimentasi yang memungkinkan manusia mengambil peran untuk turut menentukan, teks justru menuntut keimanan apriori terlebih dahulu. Sehingga argumentasi teks hanya dimungkinkan untuk orang yang percaya. Dan ini Elitis. Ketiga; Teks bertumpu pada otoritas Al Kitab dan bukan otoritas Rasio. Keempat; teks adalah pembuktian (al burhan) asing, karena ia datang dari luar dan tidak dari dalam realitas. Kelima; Teks selau terkait denagn acuan realitas yang ditunjuknya. Keenam: Teks bersifat unilateral yang selalu terkait dengan teks-teks lainya. Ketujuh: Teks selalu dalam ambiguitas pilihan-pilihan, yang tidak luput dari pertimbangan untung rugi. Kedelapan: posisi sosial seorang penafsir menjadi basis bagi pilihannya terhadap teks sehingga didalam realitas, perbedaan dan pertikaian para penafsir akan menjadi sumber pertikaian diantara kekuatan yang ada. Sembilan: Teks hanya berorientasi pada keimanan, emosi keagamaan dan berbagai pemanis dalam apologi para pengikutnya, tetapi tidak mengarah pada rasio dan kenyataan keseharian mereka. Sepuluh: Metode teks lebih cocok untuk nasihat daripada untuk pembuktian, karena dia hanya memperjuangkan Islam sebagai suatu prinsip tetapi tidak memperjuangkan muslim sebagai rakyat. Terakhir: Walaupun mengarah pada realitas metode teks secara maksimal hanya akan memberikan status tetapi tidak menjelaskan perhitungan kuantitatif.32
Sedangkan metode Kiri Islam adalah metode kuantitatif dengan angka-angka dan statistic sehingga realitas dapat berbicara mengenai dirinya sendiri. Teks selalu mengacu konteksnya (asbab an-nuzul), dan Kiri Islam langsung merujuk secara obyektif pada konteks tersebut dan mendefinisikannya secara kuantitatif. Dalam sejarah pengetahuan, kuantifikasi seperti ini selalu lebih detil dan akurat daripada sekedar identifikasi abstrak.33

G.Penutup
Kiri Islam Hassan Hanafi sangat jelas makna merupakan salah satu bentuk perlawanan dan juga sebagai pembelaan terhadap orang-orang yang hidup di bawah kediktatoran para penguasa, tertindas, miskin dan terbelakang. Ini bisa di “raba” dari tiga agenda besar Kiri Islam yang mengedepankan “Turats wa Tajdid”.
Mu’tazilah disebut-sebut sebagai pemikiran keagamaan yang lebih diambil Kiri Islam dengan menyepakati lima prinsip yang dikandung gerakan pemikiran tersebut. Dengan mengintroduksi Mu’tazilah, Kiri Islam mengembangkan rasionalisme, kebebasan, demokrasi, dan eksplorasi alam.
Namun demikian, meski pemikiran Hassan Hanafi tersebut mengandung butir-butir yang sangat berarti bagi kemajuan dan perkembangan peradaban Islam ke depan, selalu saja ada yang pro dan kontra. Karena bagaimanapun buah pemikiran tidak perlu selalu membutuhkan kesepakatan.





















DAFTAR PUSTAKA

A.Khudori Soleh (ed), Pemikiran Islam Kontemporer, cet.1 Yogyakarta: Jendela, 2003.

Abad Badruzzaman, Kiri Islam Hassan Hanafi: Menggugat Kemapanan Agama dan Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005.

Ahmad Hasan Ridwan, Pemikiran Hassan Hanafi: Studi Gagasan Reaktualisasi Tradisi Keilmuan Islam, Yogyakarta: Tesis UIN SuKa, tidak diterbitkan, 1997.

Eko Prasetyo, Islam Kiri: Jalan Menuju Revolusi Sosial, Yogyakarta: INSIST Press, 2003.

Hassan Hanafi, Aku Bagian dari Fundamentalisme Islam, alih bahasa Kamran As’ad. I. dan Mufliha. W. Yogyakarta: Islamika, 2003.

-----------------, Cakrawala Baru Peradaban Global, alih bahasa M. Saiful, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.

-----------------, Dari Akidah ke Revolusi: Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama, alih bahasa Asep Usman dkk, Jakarta: Paramadina, 2003.

-----------------, Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, alih bahasa M. Najib B. Jakarta: Paramadina, 2000.

-----------------, Turas dan Tajdid, alih bahasa Yudian W. Asmin, Yogyakarta: Titian Ilahi Press Kerja sama Pesantren Pasca Sarjana Bismillah Press, 2001.

Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi, cet. 1, Jakarta: Teraju, 2002.

John L. Esposito, Ensiklopedi Islam, alih bahasa Eva Y. N dkk, Bandung: Mizan, 2001.

Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan Posmodernisme: Telaah kritis Pemikiran Hassan Hanafi, alih bahasa M.Imam Aziz, Yogyakarta: LKiS, 2001.

Musdah Mulia, Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal, Jakarta: Paramadina, 2001.

Template by : Kendhin x-template.blogspot.com