Konstruksi Pemikiran Islam M. Arkoun; Kritik terhadap Nalar Islami dan Nalar Modern

Konstruksi Pemikiran Islam M. Arkoun;
Kritik terhadap Nalar Islami dan Nalar Modern

Abstract

Arkoun finds even secularist and reformist Muslims who are still prisoners, in their discourse of the problematics thrown up by the Modernity of the Classical Age (1800-1950), imposed by the so-called revolutionary civilized Europe until at least 1950. In order to transcend this impasse, Muslims must undertake a radical double critique: western Modernity and the Islamic heritage, with the aim of transcending both, instead of just trying to come to terms with the European modernity while still prisoner to a heritage that is uncritically re appropriated.

Keywords: Arkoun, Nalar, Islami, Modern, Islam, Logosentrisme.

A. Pendahuluan

Perkembangan pemikiran Islam selalu mengalalami perubahan dan perluasan kualitas keilmuan. Setidaknya, dalam pandangan sejarah terdapat lima tipologi pemikiran Islam berdasarkan masa dan dominasi pemikiran saat itu. Pertama, tipe fundamentalistik, yaitu kelompok pemikiran yang mempercayai sepenuhnya doktrin Islam sebagai sebuah alternatif utama kebangkitan umat manusia. Kedua, tipe tradisionalistik (salaf), yaitu kelompok pemikiran yang memegang teguh pada tradisi-tradisi yang telah mapan. Secara kolektif, mereka melakukan islamisasi segala aspek kehidupan. Ketiga, tipe reformistik, yaitu kelompok pemikiran yang berusaha merekonstruksi ulang warisan-warisan budaya Islam dengan cara memberi tafsiran-tafsiran baru. Keempat, tipe postradisionalistik, yaitu kelompok pemikiran yang berupaya mendekonstruksi warisan-warisan budaya Islam berdasarkan standar-standar modernitas. Kelima, tipe modernistik, yaitu kelompok pemikiran yang hanya mengakui sifat rasional ilmiah dan menolak cara pandang agama serta kecenderungan mistis yang tidak berdasarkan nalar praksis.
Permasalahan yang muncul disini adalah pertautan dua term yang berbeda antara nalar Islami dan nalar modern. Nalar Islami yang didasarkan pada landasan tekstual cenderung otoritatif dan kaku. Sedangkan nalar modern yang mengedepankan rasionalitas terlihat ”ngambang” tanpa landasan yang cukup kuat, hingga sering terhenti pada sebuah asumsi dan wacana semata.
Dalam hal ini, Arkoun yang termasuk pada pemikiran postradisionalistik, berupaya membongkar otoritas teks. Menurutnya, teks suci dan tradisi tidak bisa lepas dari sejarah, tetapi sebaliknya, justru sepenuhnya terbentuk dan terbakukan dalam sejarah. Oleh karena itu, penulisan makalah ini berusaha membahas tentang pemikiran Islam Arkoun dan kritik nalar Islami dan nalar modern.

B. Logosentrisme Agama dan Nilai Kebenaran Islam
Dengan melihat kembali pada suatu sejarah integral, kita diingatkan pada sebuah penjelasan mengenai struktur-struktur mental dan mekanisme kerja di dalam suatu ruang budaya tertentu. Pertautan antar berbagai aspek keilmuan, seperti historologi, sosiologi, antropologi, etnologi, dan linguistik, telah menampilkan nilai perjuangan baru dalam ranah transdisplin keilmuan. Tidak jauh dari itu, sikap kritis kita diuji untuk menentukan makna terselubung dibalik ilmu-ilmu tadi. Seakan-akan dalam pembahasan ini, kita diarahkan pada pemahaman terhadap tekstual dan kontekstual –untuk sampai pada penafsiran tentang logosentrisme yang benar-.
Pemaknaan terhadap logosentrisme, diawali dari bangsa Yunani kuno. Kata logos, menurut interpretasi filsafat sepanjang sejarah diartikan sebagai makna tuturan-nalar. Bahasa Arab menempatkan satuan yang bernilai ganda itu dengan nutq atau wicara terungkap, menjadi wicara yang tedas. Hubungan antara wicara dan nalar ditegaskan oleh mantiq: logika atau bidang wacana bernalar dan oleh natiq, atau suatu sosok yang berbicara dengan menggunakan nalar tertentu.
Perubahan-perubahan yang terjadi menentukan hidup logos, artinya hidup roh yang terungkap di dalam suatu bahasa dan melahirkan berbagai bahasa baru. Setiap bahasa pada saatnya dapat tetap berada pada tahap wicara, atau membeku dalam sebuah tulisan. Di bawah ini terdapat skema yang merangkum semua perbedaan dan hubungan itu:
Pembicara Bahasa Penulis-Pembaca

Wicara Bahasa-bahasa Tulisan (Teks)

Pembaca (-penulis)

Mengenai nilai kebenaran Islam, perlu pemahaman substantif terhadap referensi-referensi tekstual. Hampir setiap teks, meletakkan pembaca di hadapan suatu tipe penulisan dan suatu tipe pembacaan yang dilakukan oleh penulis. Pembacaan I’lam merupakan suatu upaya menemukan kembali unsur-unsur dan mekanisme-mekanisme pembentuk dalam tulisan, kemudian prinsip-prinsip pembacaan. Penunjukkan terhadap suatu subjek kolektif lebih penting artinya dalam hal I’lam karena karya itu bukan karya seni, melainkan sebuah tulisan yang merumuskan hubungan gambaran-gambaran dan keyakinan-keyakinan yang merupakan milik bersama suatu masyarakat luas.
Penulisan dalam I’lam menggunakan suatu leksikon dan pola-pola budaya yang telah membelenggu, dihayati, dan dikumpulkan dalam buku-buku ajar yang menegaskan tingkat keluasannya. Mafalih al-‘ulum, Fihrist, Kitab al-Sina’atain sebenarnya bukan sekedar pendampingan berbagai terminologi, definisi, dan disiplin teknis yang dapat dirujuk secara terpisah oleh para pakar; ketiganya mengungkapkan penggunaan baru dari bahasa dan budaya oleh suatu generasi yang menyeluruh. Dalam hal ini, perlu dikaji secara khusus penggunaan suatu leksikon dan suatu budaya oleh penulis.
Pertama, mengenai penggunaan suatu leksikon, banyak orang tergoda untuk menentukan kadar oposisi atau penyelerasan yang terjadi di antara kedua kecenderungan yang digarisbawahi sejak di judul: suatu kajian ilmiah (al-I’lam) mengenai agama Islam. Pada kenyataannya, kosa kata yang bersifat filsafat-ilmiah dan kosakata yang bersifat keagamaan terasa seimbang. Beberapa istilah yang paling sering digunakan, seperti ‘aql (40 kali), ‘aqil (14), ’ilm (46), sina’ah (dalam makna teknik ilmiah) (49); sejajar dengan itu, din, adyan (43 + 55), millah, milal (17), ibadah (32), i’tiqad, i’tiqadat (24), dan lain sebagainya.
Dalam hal ini, oposisi antara nalar dan iman, ilmu dan agama tidak terlalu penting, karena bersifat sekunder. Oposisi itu muncul setelah perluasan budaya filsafat, yang berhadapan dengan fakta Qur’an (atau Injil di kalangan umat Kristen); oposisi itu mengungkapkan dengan bantuan wacana yang berbeda (mistis, teologis, fundamentalis: usuli, filsafati), suatu oposisi asal di antara wacana Qur’an yang berstruktur mitos, dan wacana logosentris, atau mungkin lebih tepat, di antara ungkapan simbolis kaya dari segala makna dan rumusan konseptual yang berkaitan dengan satu makna.
Kedua, mengenai penggunaan suatu budaya. Penempatan I’lam menentukan suatu permasalahan yang dapat diterapkan pada seluruh pemikiran Islam dan bahkan pemikiran Barat, sebab I’lam membahas kebenaran agama dengan mengacu pada rasionalitas yang dianggap paling modern dalam budaya Arab-Islam, yaitu falsafah. Maksudnya adalah membentengi Islam dengan suatu rekapitulasi dari masalah-masalah mendasar dan prosedur-prosedur perwujudan budaya Arab-Islam sebagaimana yang pernah dihasilkan sebelumnya. Pada posisi ini, I’lam meletakkan kita di hadapan suatu budaya, seperti teknik pemaparan, kriteriologi; dan kredo.

C. Konstruksi Nalar Islami dan Nalar Modern
Banyaknya aliran yang berkembang, menuntut kita untuk jeli dalam menyelaraskan yang telah terjadi sebelumnya di antara nalar abadi dan ajaran yang diwahyukan, tidak hanya aliran-aliran pemikiran Islam, tetapi juga aliran-aliran dalam agama Yahudi dan Kristen. Nalar sekaligus ditransendenkan dan tunduk pada determinasi semantis dari Kalam Allah. Setiap nama Qur’an (ism) memberikan pada benda/hal, kenyataannya yang intrinsik sesuai dengan pengetahuan Allah, kehadirannya yang obyektif (kaun) dalam alam ciptaannya, status legalnya (hukm) dalam eksistensi manusia yang historis. Maka, seluruh pemikiran Islam berkembang atas dasar suatu kepercayaan yang dikonkretkan oleh sebuah korpus bahasa tertentu: Qur’an, kemudian ditambah oleh campur tangan asy-Syafi’i Sunah. Inilah acuan utama untuk membicarakan nalar Islami.
Selain itu, tema semacam itu telah banyak ditulis dengan kandungan perian formal mengenai nalar itu, yaitu tentang produksi dan evolusinya, namun belum ada dekonstruktif dan kritik epistemologis prinsip-prinsip, prosedur-prosedur, kategori-kategorinya, tentang tematiknya, tentang yang tak terpikirkan yang timbul dari tatanan khas dari yang dipikirkan. Ada beberapa alasan pentingnya dilakukan penelitian terhadap hal tersebut, yaitu:
1. Dilihat dari sudut pandang sejarah umum permikiran, ada keperluan mendesak untuk menerapkan metodologi dan problematik baru berkaitan dengan perluasan historis, linguistis, semiotis, antropologis, filsafati; penelitian kondisi sosial dari produksi dan reproduksi nalar dalam kajian Islam untuk menanggulangi kekurangan dan bahaya sejarah gagasan yang bersifat linear dan abstrak.
2. Perkembangan Islam politis dewasa ini menyatakan dirinya didasari oleh suatu tatanan nalar-nalar yang mengacu kembali ke fungsi yang mengabsahkan dari nalar Islam klasik: penting untuk mempertanyakan sejauh mana pretensi semacam itu memiliki dasar yang kuat dari segi agama, sejarah, dan filsafat. Berdasarkan nalar keislaman, hal-hal diatas berhubungan erat dengan tiga kelompok berikut:
Ø Nalar Islami Klasik.
Ø Islam (-Islam), Nalar ortodoks dan akal praktis
Ø Wacana Arab Kontemporer dan Nalar Islami
Menurut Arkoun, Islam oleh banyak kalangan diterjemahkan ke dalam bahasa perancis, yang berarti tunduk patuh (istislam). Penerjemahan ini menurutnya tidak benar, sebab orang beriman itu bukan tunduk patuh di hadapan Allah, tetapi ia merasakan getaran cinta kepada Allah dan mempunyai keinginan kuat untuk menyandarkan diri kepada semua perintah-Nya. Melalui wahyu, Allah meninggikan manusia kepada-Nya, sehingga dalam dirinya timbul prasangka baik terhadap Allah. Islam harus dipandang sebagai agama yang penuh dengan muatan-muatan spiritual demi kepuasan batin manusia.
Arkoun memandang hal tersebut sesuai dengan pandangan Izutsu, seorang ilmuwan ternama asal Jepang. Pada masa pra-Islam, kata Islam berarti “menyerahkan” atau “memasrahkan” sesuatu yang sangat mulia. Dalam al-Qur’an pengertian itu ditransformasikan menjadi tindakan penyerahan diri yang mengandung otonomi demi kepentingan manusia sendiri. Dalam konteks ini, Islam berkaitan dengan iman dan kepercayaan. Sebagaimana muslim yang dicirikan oleh penyerahan seluruh wujud diri sepenuhnya kepada Allah.
Dalam bahasa Arab, Islam diartikan sebagai “menyerahkan sesuatu kepada seseorang”, yang berarti bahwa “keadaan di mana seseorang menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Namun para pakar sejarah Arab menemukan arti lain dari Islam, dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak delapan kali untuk menggunakan Islam dalam arti “mengembalikan jiwa kepada Tuhan”.
Mengenai modernitas, Arkoun tidak secara tegas merumuskan batasan modernitas. Sikap Arkoun yang semacam ini dianggap cukup bijaksana, sebab jika ia mendefinisikannya –sebagaimana yang dipahami sekarang ini- maka tidak dapat ditentukan secara pasti modernitas mendapatkan momentumnya. Kecenderungan Arkoun dalam masalah ini adalah dengan memberikan batasan sesuai koridor masa. Contohnya modernitas masa klasik Eropa, yang dipastikan muncul pada abad ke-16 hingga tahun 1950-an. Modernitas mengalami kemajuan pada masa kuno (Yunani-Romawi) dan masa abad pertengahan (bertepatan dengan masa keemasan Islam). Sehingga menurut Arkoun, antara abad ke-7 dan ke-12 terdapat kemajuan pesat di dunia Islam yang tidak lepas dari pengaruh Yunani melalui gelombang helenisme.
Pada abad XIX, kaum ulama terkungkung dalam situasi yang berpengetahuan sempit, suatu fungsi pengelola modal keagamaan, pengawal tradisi, beberapa diantaranya membuka diri pada gagasan-gagasan Barat melalui filter pengetahuan dan kepercayaan Islam. Dengan masuknya sistem pendidikan modern, peningkatan suatu sektor ekonomi bercorak kapitalis, penyebarluasan gagasan-gagasan liberal, peranan ulama relatif mundur dan mulai bergabung dengan elite penguasa. Keadaan makin berubah, ketika aliran liberal dan revolusioner yang secara terang-terangan menyatakan diri sebagai pendukung ilmu, estetika, ekonomi, cara hidup, berbagai ideologi dari Barat, khususnya dengan melihat data sebagai berikut:
Secara politis, pada tahun 50-an terdapat garis pemisah antara zaman ketergantungan dan zaman kemerdekaan yang direbut kembali. Unsur-unsur yang membiarkan diri dipengaruhi oleh gagasan liberal –kerasionalan ilmiah, kesekuleran, kesederajatan, kebebasan, pemisahan kekuasaan...- selama penjajahan, lalu dicurigai, atau diserang dengan keras di dalam konteks perjuangan pembebasan yang baru. Kemudian di dalam konteks pembangunan nasional.
Secara sosiologis, kelompok orang yang menyerap kebudayaan Barat masih terbatas dibandingkan dengan penduduk lainnya; sebelum tahun 1950, skolarisasi yang diawasi oleh kekuatan-kekuatan asing tetap terbatas di kalangan keluarga-keluarga yang diistimewakan di kota-kota; di negara kebangsaan-kebangsaan, pengajaran kehilangan namun meningkat cakupannya; keadaan buta huruf bagaimanapun tetap dominan.
Secara ideologis, pemberian sifat cendekia terhambat oleh pemaknaan terhadap Nahdah dan Sawrah, karena para penggeraknya masing-masing telah mempertahankan kesadaran naif terhadap gejala ideologi yang menguasai. Untuk memahami situasi ini, perlu dijelaskan tipe kemodernan cendekia, atau, mungkin lebih baik, epistemologi yang menjadi ajang kerja bagi setiap generasi. Melihat sejarah sebelumnya, ketika Ali Abdul Raziq dan Taha Husain pada tahun 20-an menulis kedua karya yang paling berani dalam makna kritik kesejarahan dan demitologisasi masa lalu Arab-Islam, sebenarnya mereka telah mengalihkan metode-metode filologis dan historis yang diperoleh di Sarbonne pada awal abad ini, ke dalam kasus-kasus budaya yang rumit.
Secara filsafati, kaum modernis di negeri Islam telah membiarkan menumpuk yang tidak dipikirkan, yang lebih berat dicerna dewasa ini karena menyangkut warisan yang ditinggalkan oleh pemikiran Islam klasik, dampak kesinambungan budaya paling tidak sejak abad V/XI, berbagai kesulitan baru yang dimasukkan, namun tidak dilampaui oleh Barat: seluruhnya dengan serempak meningkatkan kualitas pendidikan para peneliti, dengan kontribusi epistemologi para cendekiawan.
Yang tidak terpikirkan, adalah keseluruhan masalah manusiawi, takdir kolektif yang melibatkan berbagai keputusan politis dan ekonomi yang diambil oleh para pakar asing, kemudian ditegaskan oleh rekan-rekan "Muslim", namun tetap sangat asing bagi data yang dipermasalahkan disini. Kekuasaan para pakar dan pengambilan keputusan politis sangat kontras dengan ketakmaknawian sosial dari 'para cendekiawan' sehingga mereka ini merasakan serba salah dan patah semangat.
Arkoun mengartikan modernitas yang didasari pengertian filosofis, lebih dari sekedar pengertian historis maupun sosiologis. Arkoun membedakan antara modernitas “material” dan modernitas “intelektual” atau “kultural”. Yang pertama berarti pelbagai kemajuan yang terjadi pada bingkai luar dari wujud manusia, sedangkan yang kedua mencakup metode, alat analisis, dan sikap intelektual yang memberi kemampuan dalam memahami realitas.

D. Penutup
Dari pemaparan makalah diatas, maka terdapat beberapa catatan penting mengenai kritik nalar Islami dan nalar modern Arkoun, khususnya berkaitan dengan logosentrisme agama dan nilai kebenaran Islam, serta konstruksi nalar islami dan nalar modern. Bahwa dalam memaknai suatu nalar diperlukan pemahaman komprehensif terhadap aspek historis, sosio-kultural, sosio-politik, dan keagamaan. Termasuk juga untuk melihat pada persoalan yang tekstual dan kontekstual.

Template by : Kendhin x-template.blogspot.com