UPAYA MEMBANGKITKAN KEMBALI PEMIKIRAN DAN PERADABAN ISLAM

UPAYA MEMBANGKITKAN KEMBALI PEMIKIRAN DAN PERADABAN ISLAM
I.Pendahuluan
Problematika umat yang demikian pahit dan getir membuat sebagian kaum muslimin yang memiliki semangat dan kepedulian terhadap perkembangan Islam dan kaum Muslimin meneteskan air mata dan berusaha mencari jalan keluar dari permasalahan tersebut, akan tetapi sebagian mereka salah dalam mengambil pedoman dan sebagian yang lain masih bingung, dengan apa mereka dapat membangkitkan kembali kejayaan Islam dan kaum Muslimin yang telah lama hilang dan runtuh.
Masing-masing kelompok mencoba mengetengahkan ungkapan yang keluar dari pemahaman atas kondisi saat ini dengan berbagai metode, yang antara satu metode dengan metode yang lain saling bertolak belakang. Setiap kelompok memandang Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan kacamata mazhab fiqih mereka. Dalam soal perbedaan pemahaman Al-Qur’an dan As-Sunnah harus mengikuti pendapat mereka, apalagi yang ada kaitannya dengan soal hukum.
Dinamika ilmu pengetahuan dan pendidikan saat ini juga sedang mengalami kejumudan yang sangat parah. Sangat jarang dan bahkan sedikit sekali para pemuda yang tertarik atau mendalami ilmu agama atau ilmu-ilmu lain yang bermanfaat kemudian menjadi imam atau orang yang sangat menguasai dalam masalah tersebut. Sehingga yang muncul adalah pemahaman yang sepotong-sepotong terhadap segala permasalahan. Setiap orang ingin berbicara dan mengemukakan pendapatnya dalam masalah-masalah yang sebenarnya dia tidak memiliki pijakan dasar dan tidak menguasai dalam masalah tersebut, akhirnya terjadi kerancuan-kerancuan dalam banyak masalah. Masing-masing menganggap bahwa pendapatnyalah yang paling benar, sehingga muncul anggapan bahwa tidak ada kebenaran yang bersifat mutlak, kebenaran hanya bersifat relatif.1
Keyakinan ini menurut penulis sungguh sangat bathil dan bertentangan dengan hukum-hukum Allah SWT. Yang lebih parah lagi ialah pola pikir ini telah meracuni pemikiran sebagian kelompok dalam memahami Islam. Setiap kelompok mengklaim bahwa merekalah yang paling berjasa dan berjuang untuk Islam. Diantara mereka ada yang memahami bahwa Islam hanyalah mengajak orang untuk shalat berjamaah di masjid dan menyibukkan diri dengan melakukan berbagai macam bentuk beribadatan yang hanya tesbatas di masjid dan melupakan aspek-aspek yang lain, sementara orang yang tidak melakukan sebagaimana yang mereka lakukan dianggap tidak berbuat apa-apa. Begitu juga ada yang memahami bahwa Islam adalah kegiatan berpolitik segala sisi kehidupan mereka pandang dengan kacamata politik, mereka merasa paling berjuang untuk Islam dan menganggap bahwa orang yang tidak melakukan sebagaimana yang mereka lakuakan dianggap tidak punya andil terhadap perjuangan kaum Muslimin. Sebagian yang lain menganggap bahwa Islam akan jaya jika ekonominya maju, mereka menyibukkan diri dengan memikirkan masalah ekonomi sedang sisi-sisi yang lain bahkan yang paling mendasar yaitu masalah aqidah mereka abaikan.
Memang benar itu semua bagian dari Islam, akan tetapi itu bukanlah keseluruhan dari Islam. Pada masa-masa akhir ini orang-orang mulai salah dalam memahami Islam. Ketika mereka memahami Islam, mereka memahaminya secara sepotong-sepotong, persis seperti tiga orang buta memegang gajah. Orang yang pertama memegang bagian ekor gajah dan mengatakan bahwa gajah adalah binatang yang kecil bulat memanjang. Orang kedua memegang bagian perut dari gajah dan mengatakan bahwa salah kalau mengatakan bahwa gajah bentuknya bulat dan kecil, gajah adalah binatang yang besar dan lebar seperti tembok. Orang yang ketiga mengatakan bahwa salah kalau mengatakan gajah seperti yang orang pertama dan kedua katakan, gajah bentuknya lonjong, ukurannya sedang dan ujungnya agak melingkar kebawah semakin kebawah semakin kecil, ini benar karena dia memegang belalai gajah. Orang-orang mengatakan ketiga orang ini tsiqah dan jujur dan semuanya mengaku memegang gajah. Tapi apakah yang mereka katakan dapat mewakili dari gajah?

II.Pembahasan (analisis when how dan whay)
1. Tujuan Membangkitkan Kembali Pemikiran Islam
Setiap kelompok ingin terlihat menonjol dari kelompok lainnya. Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah menjelaskan bahwa Islam ibarat bangunan. Dan kita tahu bahwa suatu bangunan tidak mungkin bisa tegak dan kokoh melainkan memerlukan banyak unsur yang membentuknya. Kita dapati pada masa sekarang orang-orang yang memperjuangkan Islam ingin dilihat bahwa kelompoknya lah yang paling memberikan andil dalam Islam. Bagaimana mungkin bangunan Islam akan kokoh dan tampak indah jika masing-masing bagian dari bangunan itu ingin terlihat dari luar? Bisa kita membayangkan seandainya besi yang merupakan bagian fital dari bangunan ingin terlihat dari luar, batu bata, semen, batu kali, dan pasir, sama-sama ingin tampak dari luar maka, bangunan yang terbentuk akan sangat rapuh dan sangat buruk dilihat mata.
Dalam situasi demikian, kaum Muslimin memerlukan petunjuk untuk membebaskan diri dari kondisi yang membelenggu. Mereka mendambahkan seorang tokoh yang berpandangan luas tentang fiqih Islam, mendalami Al-Qur’an dan As-Sunnnah, mengetahui sejarah sejak kurun awal, memahami ilmu ushul fiqih, memengetahui waqie’ (kondisi) kaum muslimin pada masa awal maupun masa-masa akhir.
Saat ini, cakrawala ilmu pengetahuan, kesempatan berdiskusi dan pendalaman agama telah dipersempit sedemikian rupa sehinggga melemahkan pikiran. Jarang ada seorang Ulama Islam yang berani menggali hukum baru. Akibatnya, fiqih Islam telah kehilangan kesempatan untuk maju dan berkembang. Bahkan dapat dikatakan mustahil untuk bisa bertambah dari pusaka fiqih terdahulu. Padahal kemusykilan selalu saja muncul.2
Untuk memperbaiki keadaan tersebut menurut penulis diperlukan seorang pakar pembaharu yang memiliki kemampuan di bidang fiqih dan ushul, telah menekuni perbendaharaan perpustakaan Islam dan menangkap rahasianya. Mamahami Al-Qur’an dan As-Sunnah saat orang lain masih kebingungan, dan mengetahui pula Hadits dengan segala macam tingkatan, dan pengumpulannya dengan sempurna.
Lebih dari itu, dia juga harus menguasai benar terhadap perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqih lengkap dengan referensi dan dalil-dalil mereka di setiap masa. Dia juga mengetahui dengan jelas mazhab-mazhab fiqih yang lain dengan cabang-cabangnya yang amat banyak. Dia tidak melampaui ulama-ulama dalam ber-istinbath (menggali hukum). Dia mengakui kedudukan para imam mujtahid berikut keutamaan dan hak mereka.
Dia menguasai ilmu bahasa sehingga mampu memberikan sanggahan, bahkan dia sangat menguasai ilmu nahwu setingkat dengan pakarya. Dengan kekuatan dan kejeliannya dia mampu memperbaharui periode muhadditsin terdahulu. Dia juga memiliki kecerdasan dan kepribadian yang agung sebagai bukti kesediaannya membangun umat Islam dan menyelamatkan panji-panji Islam. Sehingga dia menjadi bukti kebenaran sabda nabi yang abadi, yang artinya: “Perumpamaan umatku itu seperti hujan. Tidak diketahui apakah yang pertama yang paling baik ataukah yang akhir.” (HR. Tirmidzi).
Adapun tujuan membangkitkan kembali pemikiran Islam adalah supaya umat Islam sendiri mau dan mampu untuk menggali hukum-hukum yang belum terdapat dalam nas Al qur’an maupun hadits, sehingga umat Islam tidak kebingungan manakala menemukan kesulitan-kesulitan yang berhubungan dengan masa kini dan masa mendatang. Islam sebagai rahmatal lil ‘alamiin akan mampu menjawab tantangan zaman yang semakin maju dengan berdasarkan Al qur’an dan as Sunnah.3

2. Pemikiran umat Islam di dunia modern.
Umat Islam harus disiapkan secara teologis memasuki dunia modern, terutama berhadapan dengan isu-isu pemikiran baru atau modern.
Dalam hal ini penulis berpandangan bahwa pemikiran umat Islam di dunia modern berkiblat pada pemikiran Nurcholis Madjid yang sering di sebut dengan Cak Nur, dalam analisisnya, tahun 2020 nanti akan terjadi keseimbangan antara golongan santri dan modernis karena mayoritas masyarakat santri saat itu telah memperoleh pendidikan tinggi yang cukup dan merupakan golongan profesional, yang akan mengimbangi golongan modernis yang telah mendapatkan pendidikan tinggi lebih awal.
Keseimbangan ini berarti menggabungkan khazanah tradisi keagamaan yang kaya, yang dikuasai kaum santri, dengan khazanah modern yang dikuasai golongan modernis. Ungkapan bahasa Arab yang sering dipakai sebagai visi Islam di Indonesia yang ia mimpikan adalah tercapainya sintesis kaum modernis dan tradisionalis (maksudnya Muhammadiyah atau Masyumi, dan NU), di mana mereka akan bersama bekerja secara kreatif untuk "mempertahankan yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik" (al-muhâfazhah `ala al-qadîm al-shâlih, wa al-akhz bî al-jadîd al-ashlah). Visi inilah yang disebutnya "neomodernis".4
Dalam bingkai neomodernis inilah sebenarnya Cak Nur meletakkan fondasi pemikiran Islam. Gagasannya jauh ke depan karena ia amat menyadari, kalau menanam jagung, diperlukan waktu tiga bulan, menanam kelapa diperlukan waktu tujuh tahun. Tetapi, menanam manusia, diperlukan satu generasi. Untuk mengubah karakter umat Islam, dan bangsa Indonesia secara lebih umum, diperlukan investasi waktu sekitar 25 tahun. Apa yang ditanam kini baru diketahui hasilnya baik atau buruk 25 tahun mendatang. Jika kita gagal menanam manusia Indonesia dengan baik, diperlukan satu generasi lagi untuk mendapatkan hasil yang baik. Itu alasannya mengapa Cak Nur begitu penuh perhatian memikirkan kondisi keberagamaan umat Islam Indonesia. Wajah Indonesia, dalam keyakinan Cak Nur, akan ditentukan oleh wajah umat Islam di Indonesia. Dan wajah Islam Indonesia akan ditentukan oleh apa yang ditanam sekarang.5
Atas dasar itu, Cak Nur memikirkan perlunya menumbuhkan wajah Islam yang hanif, yaitu Islam yang toleran dan penuh kelapangan, Islam yang universal dan berorientasi pada kemanusiaan dan peradaban. Dihadapkan persoalan pasca-11 September 2001, di mana ada pembicaraan global mengenai kebangkitan fundamentalisme Islam, Cak Nur memberikan solusi Islam yang hanif itu, dengan menegaskan pentingnya kerja sama dan solidaritas agama-agama. Karena tiap agama bisa memberi kontribusi etika keagamaannya pada masalah global.
Atas keyakinan ini, salah satu isu yang amat penting, yang terus dikemukakan Cak Nur dalam banyak kesempatan, adalah pluralisme. Sebuah masalah yang rupanya masih kontroversial pada masyarakat di Indonesia. Cak Nur menganggap penting pluralisme, bukan hanya dari segi teologis, karena ia sudah meyakini bahwa pluralisme adalah bagian dari ketentuan Tuhan yang tak terelakkan. Tetapi, ia mengembangkannya lebih jauh sehingga merentang pada pentingnya isu pluralisme ini dalam hubungan agama-agama di Indonesia, dengan menaruh pluralisme dalam bingkai civil society, demokrasi, dan peradaban. Jika bangsa Indonesia mau membangun peradaban, pluralisme adalah inti dari nilai keadaban itu-termasuk di dalamnya, dengan sendirinya, penegakan hukum yang adil dan pelaksanaan hak asasi manusia.

3. Pengaruh pada pemikiran Islam
Dalam masa 35 tahun, Cak Nur menyemai bentuk pemikiran Islam yang progresif di Indonesia. Puluhan mahasiswa dari universitas terkemuka di Amerika, Eropa, dan Australia yang menulis disertasi mengenai pemikiran Cak Nur. Charles Kurzman dalam buku daras pemikiran Islamnya, Liberal Islam, A Sourcebook (1998), menganggap Cak Nur sebagai salah satu dari sedikit pemikir Islam liberal di dunia Muslim. Ia menganggap Cak Nur sebagai tokoh liberal syari’ah, maksudnya, Cak Nur mempunyai pemikiran-pemikiran tentang Islam yang amat liberal, dan keliberalannya justru didasarkan pada Al Quran. Mengamati segi ini pada Cak Nur amat menarik, di satu segi ia amat Quranic, karena banyak mengupas hermeneutik Al Quran secara tekstual, tetapi kesimpulan yang dihasilkan amat liberal. Cak Nur pernah mengemukakan, "Kalau begitu yang liberal adalah Al Qurannya sendiri!"

Jika Charles Kurzman benar, bahwa ada enam isu pemikiran Islam kontemporer yang kini menjadi pembicaraan global di dunia Muslim, yaitu: (1) Perlawanan terhadap ide teokrasi atau negara Islam; (2) Pemikiran demokrasi; (3) Masalah hak-hak perempuan; (4) Masalah hak-hak non-Muslim; (5) Kebebasan berpikir; dan (6) Masalah kemajuan, maka Cak Nur selama kariernya telah menggali dan mengemukakan pikiran-pikirannya mengenai keenam isu ini. Hampir semua tulisannya bisa dikategorikan pada salah satu dari enam isu ini.6
Begitu banyak karangan yang telah ditulisnya sehingga bisa membuat sebuah "Ensiklopedi Cak Nur". Dan Cak Nur bukan hanya seorang profesor, tetapi juga seorang ensiklopedis. Begitu banyak pengetahuan mengenai Islam dan dunia kemodernan, sehingga ia selalu menjadi tempat bertanya mulai dari mahasiswa, cendekiawan, ulama, duta besar, sampai calon presiden. Profilnya yang rendah hati dan penuh kesederhanaan, membuat banyak orang mencintai dan menjadikannya sebagai sumber inspirasi pemikiran. Cak Nur memang sumber pemikiran Islam di Indonesia, bukan hanya pada generasinya, tetapi lebih-lebih pada generasi pasca-Cak Nur. Kita boleh mengatakan, begitu komprehensifnya pemikiran keislaman Cak Nur, sehingga pikiran-pikiran Islam pasca-Cak Nur, hanya catatan kaki atas pemikiran Cak Nur-setuju atau tidak setuju. Belum ada pemikiran Islam pasca-Cak Nur, yang melampaui Cak Nur. Perkembangan pemikiran Islam kini, jauh lebih semarak dari masa muda Cak Nur. Dan ini memberi harapan pada pemenuhan mimpi Cak Nur mengenai kebangkitan dunia Islam dari Indonesia. Sebuah mimpi yang penuh harapan, karena pada dasarnya Islam di Indonesia itu moderat. Dengan pemikirannya yang liberal, akan membawa wajah Islam Indonesia berbeda dari wajah Islam Timur Tengah.
4. Faktor- Faktor Kebangkitan Pemikiran Islam
Bermula dari tradisi Islam, pemikiran Umat Islam akan selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu dengan kata lain tajdid (pembaharuan) yang hal ini selalu berusaha mengatasi kemunduran dan kebekuan umat Islam. Kebangkitan ini di asosiasikan dengan munculnya seorang mujaddid (pembaharu) yang akan datang pada setiap abad dengan tugas memperbaiki atau memperbaharui pemikiran umat Islam yang mengalami kebekuan.7
Apabila diletakkan dalam konteks perkembangan kontemporer, kebangkitan pemikiran umat Islam dalam konsep tajdid akan semakin rumit, kerumitan ini disebabkan oleh tiga hal, pertama, aliran-aliran dalam pemikiran dalam Islam semakin, masing-masing mengaku berpangkal pada Al Qur’an. Kedua, apa yang di maksud kebangkitan masih kabur, mungkin saja kebangkitan politik tidak diikuti dengan etik atau budaya. Ketiga, dalam kondisi yang semakin global kebangkitan tersebut harus bermakna global pula, hal ini harus digerakkan oleh seseorang yang memiliki pengaruh besar. Dengan demikian, kebangkitan tersebut dalam konteks tajdid mengandung penafsiran yang bermacam-macam.8

I.Kesimpulan
Pemikiran Islam kontemporer di Indonesia tidak lepas dengan adanya dua fenomena kebangkitan Islam di kawasan Jawa. Pertama, sebagai perluasan dari model pembaruan Islam di Minangkabau. Dari sini, kemudian muncul gerakan yang lebih dikenal dengan sebutan gerakan modernisme Islam. Salah satu fenomena utamanya adalah munculnya organisasi keagamaan Muhammadiyah yang berupaya melakukan perubahan lewat jalur pendidikan. Kedua, sebagai respon dari gerakan pembaruan model Minangkabau. Inilah yang biasa disebut sebagai gerakan tradisionalisme Islam. Salah satu fenomenanya adalah berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) di Jawa Timur.
Selanjutnya pemikiran Islam kontemporer khususnya di Indonesia banyak terpengaruh oleh pemikiran Nurcholis Madjid, baik dari kaum cendikiawan muslim sesudahnya maupun kaum intelektual masa sekarang, sehingga hasil dari pemikiran beliau sering dijadikan referensi atau rujukan dalam mengemukakan argumen suatu permasalahan.










DAFTAR PUSTAKA

Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan praktek, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2004
Nurcholis madjid, Islam Dokrin dan Peradaban, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000
http//www .assyaukanie. com
Htt//www. Media Muslim.Info. com
Syafiq Mughni, Nilai-Nilai Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001

Template by : Kendhin x-template.blogspot.com