Fenomena Nikah di Bawah Tangan dikalangan Masyarakat Indonesia

Fenomena Nikah di Bawah Tangan dikalangan Masyarakat Indonesia



Prologue

Pernikaha merupakan sebuah aplikasi dari surat Ar-RRum ayat 21 yang berbunyi

                     
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (Ar-Rrum : 21)”.
Ada sebagian Ulama’ fiqh berpendapat tentang ayat di atas bahwasanya sudah jelas bahwasanya tujuan dari sebuah pernikahan adalah supaya merasakan tenang dari kedua belah pihak, baik laki-laki ataupun perempuan 1. Dan pernikahan di sini termasuk kategori ibadah Muamalah, karena di dalam pernikaha sendiri terdapat aqad (Ijab-Qobul) antara wali dengan mempelai laki-laki. Dan salah satu usaha untuk membuat tenang antara pihak laki-laki, terlebih pihak perempuan maka Negara dan Agama menyarankan untuk dicatatkan, dan terbitlah sebuah aturan atau Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang tata cara perniakahan yang di dalamnya juga terdapat sebuah aturan yaitu tentang pencatatan pernikahan. Sebagaimana pernikahan merupakan sebuah ikatan (misyaqon) yang kita sendiri tidak tahu akankah bertahan lama?, Menurut fatwa tarjih Muhammadiyah, keharusan mencatatkan perkawinan dan pembuatan akta nikah dalam hukum Islam, diqiyaskan kepada pencatatan mudayanah (hutang piutang) yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatnya, seperti disebutkan dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 282:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya … .Akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian yang sangat kuat (mitsaqon gholizho) seperti yang disebutkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 21:

وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقاً غَلِيظاً

Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan. oleh karena itulah pentingnya pernikahan dicatatkan. Namun banyak fenomena yang berbicara lain tentang pernikahan yang tidak dicatatkan. Dikalangan masyarakat sendiri masih banyak praktek nikah dibawah tangan (sirri), yang pernikahan itu sudah bertentangan dengan al-Quran dan Undang-Undang No.1/74 tentang pencatatan pernikahan.
Jika kita melihat teks perundang-undangan yang mengatur perkawinan di Indonesia, antara lain di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada Bab 1 pasal 2 ayat 1 yang menyebutkan bahwa “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Kemudian dalam ayat 2 disebutkan “ tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Dalam peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yang merupakan peraturan pelaksanaan perundang-undangan Nomor 1 Tahun 1974 pada Bab II Pasal 2 ayat 1 disebutkan pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam dilakukan oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana dimaksud didalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954tentang pencatatan Nikah dan Rujuk. Ayat mengenai tata cara pencatatan pernikahan dimulai dengan, pemberitahuan kehendak melaksanakan perkawinan2. Pelaksanaan akad nikah dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh saksi3, kemudian penandatanganan akta perkawinan oleh kedua saksi, pegawai pencatat nikah, wali dan kedua mempelai4.
Di dalam KHI juga telah dijelaskan bahwasanya tujuan pencatatan perkawinan yang dilakukan dihadapan, dan dilakukan di bawah pengawasan petugas pencatat pernikahan adalah untuk terselenggaranya ketertiban perkawinan sebagaimana yang tertuang di dalam KHI pada pasal 1 ayat 1.
Kalau kita cermati sepintas dari teks perundang-undangan yang tersebut di atas tampak bahwa fungsi dari pencatatan pernikahan adalah hanya sekedar urusan administrasi, bukan merupakan syarat sahnya suatu perkawinan, sebagaimana juga diakui oleh Khoirudin Nasution5.
Sementara itu kalau kita melihat di dalam hukum Islam sendiri, syarat sahnya sebuah perkawinan adalah apabila telah dipenuhi berbagai persyaratan dan rukun perkawinan yang terdiri dari : adanya kedua mempelai yaitu laki-laki dan wanita, adanya wali dari kedua mempelai, adanya ijab qobul, dan adanya dua orang saksi. Kedua hal tersebut memunculkan pandangan dikotomis didalam masyarakat yaitu adanya perkawinan yang sah menurut hukum Islam tetapi tidak diakui oleh undang-undang, dan perkawinan yang sah menurut hukum Islam dan diakui oleh undang-undang. Hal ini memunculkan peluang timbulnya perkawinan yang tidak memenuhi persyaratan perundang-undangan yang berlaku, hal ini terbukti dengan banyaknya sebagian masyarakat yang melakukan perkawinan di bawah tangan atau lebih populer dikenal dengan sebutan nikah sirri.


Pengertian Nikah Sirri
Istilah sirri berasal dari bahasa Arab sirrun yang sembunyi atau rahasia6. Nikah secara etimologi berarti suatu akad dan ada juga yang mengartikan persetubuhan, sedangkan secara terminologi yaitu akad yang menghalalkan seseorang untuk melakukan persetubuhan7. Pada masa-masa awal, perkawinan sirri ditujukan untuk sebuah perkawinan yang tidak dihadiri oleh saksi, sehingga perkawinan sirri merupakan sebuah perkawinan yang tidak memenuhi syarat rukunnya8. Sedangkan Khoirudin Nasution berpendapat bahwasanya nikah sirri adalah sebuah pernikahan yang secara sengaja dirahasiakan, oleh pihak-pihak yang terlibat dalam pernikahan tersebut, sekalipun memenuhi syarat dan rukunnya pernikahan namun apabila sengaja untuk dirahasiakan maka hukumnya tidak sah9.
Didalam perkembangannya yang berlaku di Indonesia istilah perkawinan sirri telah mengalami pergeseran makna dimana perkawinan sirri mempunyai arti perkawinan yang dilakukan dengan terpenuhinya syarat dan rukunnya perkawinan menurut hukum Islam tetapi tidak tercatatkan dalam akta pernikahan atau tidak dihadiri oleh petugas yang berwenang dalam hal ini adalah PPN, atau dengan kata lain, perkawinan sirri di Indonesia adalah sebuah perkawinan yang tidak diakui oleh Undang-Undang yang berlaku di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI.

Kapan Sebuah Perkawinan Dianggap Sah Oleh Negara ?
Sebuah perkawinan akan dianggap sah oleh negara bilamana memenuhi Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, pasal 2 ayat (1) dan ayat (2). Ayat (1) berbunyi : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan ayat (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku . Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) ini diberi penjelasan resmi yang termuat dalam penjelasan umum Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, angka 4 huruf b yang berbunyi : “bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Rumusan peraturan yang termuat dalam pasal 2 ayat (1) dan (2) diatas, harus kita pahami sebagai satu kesatuan aturan hukum, bukan ketentuan aturan yang terpisah. Artinya ayat (1) tidak berdiri sendiri dan ayat (2) juga tidak berdiri sendiri. Oleh karena itu, sebuah perkawinan akan menjadi sah menurut hukum agama dan negara bilamana ketentuan kedua ayat itu dipenuhi dan dilaksanakan. Dengan melaksanakan ayat (1) saja, perkawinan menjadi tidak sah, karena perkawinan tersebut tidak dicatat oleh negara. Begitu pula dengan hanya melaksanakan ayat (2) saja, tetapi tata cara pelaksanaan perkawinan itu bertentangan dengan hukum masing-masing agama seperti yang disebutkan dalam ayat (1), maka perkawinan itu tidak sah. Perkawinan baru sah menurut hukum Negara, apabila bunyi pasal 2 ayat (1) dan (2) ini dilaksanakan secara utuh sebagai satu kesatuan peraturan hukum. Untuk pencatatan bagi warga negara Muslim yang kawin menurut agama Islam, dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan, dan untuk mereka yang beragama Katholik, Kristen, Hindu dan Budha, dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS). Pasal ini mengandung pengertian bahwa bagi umat Islam, jika suatu perkawinan (baca : pernikahan) telah memenuhi syarat-syarat dan rukun nikah sesuai dengan syari’at Islam, atau pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya (bagi umat Kristen atau Katholik), dan perkawinan itu dicatat oleh negara, maka perkawinan tersebut sah menurut hukum negara. Karena itu, dalam penjelasan resmi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 diatas dijelaskan, “disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Perkataan ‘harus dicatat’, berarti perkawinan itu wajib dicatat berdasarkan hukum. Petugas memiliki kewajiban mencatat dan calon mempelai atau walinya wajib mencatatkannya kepada pemerintah dengan cara memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan pasal 2 beserta penjelasan resmi Undang-Undang Perkawinan diatas, maka perkawinan yang tidak diberitahukan dan tidak tercatat di Kantor Urusan Agama atau di Kantor Catatan Sipil, adalah perkawinan yang tidak sah, ilegal dan melanggar hukum negara. Apalagi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 pasal 10 ayat (3) mengatur, bahwa disamping tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya, perkawinan juga harus “dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi” 10.


Nikah Sirri Merugikan Kaum Perempuan dan Anak
Secara tidak kita sadari ketika kita melakukan pernikahan sirri atau pernikahan di bawah tangan, maka kita telah membuka lebar-lebar pintu untuk kaum perempuan merasakan kerugian dari pernikahan tersebut. Karena ada beberapa hal yang bisa berakibat fatal ketika pernikahan sirri itu terjadi dan itu dominan dirasakan oleh pihak perempuan antara lain.
1.Tidak adanya payung hukum yang melindungi perempuan ketika ditengah-tengah pernikahan sirri itu terjadi perselisihan dan menyebabkan harus bercerai.
2.Ketidak jelasan status anak dari hasil pernikahan di bawah tangan. Tidak sahnya status pernikahan bawah tangan menurut hukum negara memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum negara, yakni: Status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya (pasal 42 dan pasal 43 UU Perkawinan, pasal 100 KHI). Di dalam akte kelahirannya pun statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya. Ketidakjelasan status si anak di muka hukum, mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya.
Yang jelas merugikan adalah, anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya.
Anak-anak juga sangat rentan dengan kekerasan. Mereka kurang memperoleh kasih sayang yang utuh dari ayah dan ibunya, karena hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut bukan anak kandungnya. Akibatnya, anak jadi terlantar dan tidak dapat bertumbuh dengan baik. Alhasil, anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan sirri dapat dikatakan sebagai seorang anak yang tidak mempunyai ayah.
3.Status istri dan anak tidak diakui dalam penentuan penggajian karyawan
Hal ini terkait dengan pemberian tunjangan istri dan anak kepada karyawan yang bersangkutan, karena ada beberapa perusahaan yang juga mempertimbangkan status pernikahan dan jumlah anggota keluarga dalam penentuan gaji karyawannya.
4.Tidak ada kekuatan hukum bagi istri dan anak dalam harta warisan ketika terjadi
sebuah perceraian. Anak dan istri seharusnya mendapatkan bagian dari harta yang diperoleh selama bersama. Itu merupakan penghapusan terhadap hak-hak yang seharusnya di peroleh oleh istri
5.Sedangkan secara sosial, isteri sirri akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan bawah tangan sering dianggap masyarakat tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan (alias kumpul kebo) malahan banyak yang dianggap sebagai istri simpanan. Akibatnya akan mengurangi hak-hak sipil mereka sebagai warga negara. Mereka rentan untuk dipermainkan oleh laki-laki yang tidak bertanggung jawab karena mereka tidak memiliki kekuatan hukum untuk menggugat, mudah ditelantarkan, tidak diberi nafkah dengan cukup dan tidak ada kepastian status dari suami, karena nikah sirri tidak diakui oleh hukum.



Beberapa Solusi Mengurangi Nikah Sirri
Dalam pasal 1 Undang-undang Perkawinan di jelaskan bahwa perkawinan itu adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Sementara itu, dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam, pasal 2 berbunyi : perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqon ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Pasal 3, perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah11. Timbul pertanyaan di benak kita, apakah dengan nikah sirri, tujuan perkawinan diatas dapat dicapai ?. Jawabnya, tentu tidak.
Suatu perjuangan yang sulit untuk meraih keluarga yang bahagia dan kekal, yang sakinah, mawaddah dan rahmah, manakala salah satu pihak, dalam hal ini isteri, bukanlah isteri yang sah menurut hukum. Kedudukan isteri menjadi inferior dan suami menjadi superior. Suami dapat berbuat apa saja terhadap isterinya, melakukan kekerasan (KDRT), menelantarkannya, meninggalkannya tanpa berita, atau menceraikannya sewenang-wenang tanpa nafkah atau harta warisan.
Oleh karena itu, membina dan mengarahkan masyarakat mencapai tujuan perkawinan, seyogianya menjadi kewajiban pemerintah, karena pemerintah adalah pelindung dan pengayom masyarakat. Untuk mencapai tujuan perkawinan ini, pemerintah seyogianya melakukan upaya-upaya sebagai berikut :
Pertama, Departemen Agama Kabupaten dengan KUA memprogramkan biaya penelitian untuk mensurvey dan mendata masyarakat yang melakukan nikah dibawah tangan (nikah sirri) dengan klasifikasi sebagai berikut: a) kelompok yang menikah pertama kali, tetapi belum memiliki anak, b) kelompok yang menikah pertama kali, tetapi sudah memiliki anak, c) kelompok yang menikah kedua kali, tapi tidak memiliki ijin Pengadilan. Pelaksana pendataan di kecamatan diserahkan sepenuhnya kepada Kepala KUA Kecamatan.
Kedua, Departemen Agama Kabupaten dengan KUA melakukan kerjasama dengan Pengadilan Agama, untuk mempelajari kemungkinan mengupayakan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama ( bila perlu gratis) bagi kelompok yang menikah pertama kali tetapi sudah memiliki anak dan mereka yang menikah kedua kali tanpa ijin pengadilan. Sementara bagi mereka yang sudah menikah tetapi belum memiliki anak, dapat ditangani oleh KUA sendiri, dengan melakukan pencatatan perkawinan dan atau ijab qabul ulang. Target KUA hanya satu, bagaimana supaya pasangan yang melakukan nikah sirri dapat memperoleh akta nikah sebagaimana pasangan lainnya yang nikahnya tercatat di KUA, agar supaya si isteri mendapat pengesahan sebagai isteri yang sah dan anak-anaknya memperoleh pengakuan sebagai anak yang sah. Sehingga hak-hak sipil mereka tidak dikurangi dan kendala-kendala hukum yang menjadi penghalang mereka untuk meminta keadilan hukum tidak ada lagi.
Ketiga, Departemen Agama Kabupaten perlu menganggarkan biaya program pembinaan dan kesadaran hukum bagi masyarakat, terutama remaja yang belum menikah dan yang akan menikah di Kecamatan, tentang perlunya pencatatan perkawinan dan mendapatkan akta nikah dari pemerintah. Program ini dapat dilaksanakan oleh para penghulu dan P3N Kecamatan, serentak dengan pembinaan keluarga sakinah di perdesaan.
Keempat, Departemen Agama RI perlu mengkaji ulang beberapa pasal dan ayat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yang tidak sesuai lagi dengan perubahan jaman dan perkembangan teknologi dewasa ini. Perlu dipertimbangkan pasal-pasal baru yang tidak merugikan pihak perempuan, pasal yang mencantumkan sanksi dan hukuman yang berat bagi pasangan yang melakukan nikah sirri, termasuk mereka yang menyuruh atau yang memfasilitasi nikah sirri. Disamping itu, perlu penegasan dalam undang-undang, bahwa perkawinan yang sah itu adalah perkawinan yang terdaftar dan tercatat dengan KUA atau KCS dan dilaksanakan menurut agama atau kepercayaan yang dianutnya.
Epilog
Bisa kita tarik sebuah kesimpulan dengan melihat realitas banyaknya pernikahan di bawah tangan atau nikah sirri yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, itu membuktikan bahwa main stream yang terbentuk di masyarakat adalah hokum islam yang menyatakan ketika pernikahan yang sah adalah pernikahan yang telah cukup syarat dan rukunnya. Dan juga pemerintah perlu memperhatikan faktor-faktor yang melatar belakangi masyarakat melakukan nikah sirri, dan menurut hemat penulis factor yang paling dominan adalah faktor kurangnya pengertian mereka terhadap hokum positif. Karena biasanya ketika ada sosialisasi baik darai P.A atau KUA tentang hokum positif yang diundang adalah tokoh-tokoh masyarakat, dan yang menjadi pertanyaan apakah cukup hanya seperti itu saja bentuk sosialisasi yang harus dilakukan?. Karena banyak pelaku nikah sirri itu adalah para remaja-remaja yang ada di desa-desa. Maka dipandang perlu juga ketika ada sosialisasi, para remaja juga diberikan pembinaan tentang pentingnya pencatatan pernikahan.
Oleh karean itu penulis telah menawarkan beberapa konsep tentang cara untuk meminimalisir tingginya angka pernikahan sirri yang terjadi di tengah masyrakat. Antara lain
Pertama, Departemen Agama Kabupaten dengan KUA memprogramkan biaya penelitian untuk mensurvey dan mendata masyarakat yang melakukan nikah dibawah tangan (nikah sirri) dengan klasifikasi sebagai berikut: a) kelompok yang menikah pertama kali, tetapi belum memiliki anak, b) kelompok yang menikah pertama kali, tetapi sudah memiliki anak, c) kelompok yang menikah kedua kali, tapi tidak memiliki ijin Pengadilan. Pelaksana pendataan di kecamatan diserahkan sepenuhnya kepada Kepala KUA Kecamatan.
Kedua, Departemen Agama Kabupaten dengan KUA melakukan kerjasama dengan Pengadilan Agama, untuk mempelajari kemungkinan mengupayakan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama ( bila perlu gratis) bagi kelompok yang menikah pertama kali tetapi sudah memiliki anak dan mereka yang menikah kedua kali tanpa ijin pengadilan. Sementara bagi mereka yang sudah menikah tetapi belum memiliki anak, dapat ditangani oleh KUA sendiri, dengan melakukan pencatatan perkawinan dan atau ijab qabul ulang. Target KUA hanya satu, bagaimana supaya pasangan yang melakukan nikah sirri dapat memperoleh akta nikah sebagaimana pasangan lainnya yang nikahnya tercatat di KUA, agar supaya si isteri mendapat pengesahan sebagai isteri yang sah dan anak-anaknya memperoleh pengakuan sebagai anak yang sah. Sehingga hak-hak sipil mereka tidak dikurangi dan kendala-kendala hukum yang menjadi penghalang mereka untuk meminta keadilan hukum tidak ada lagi.
Ketiga, Departemen Agama Kabupaten perlu menganggarkan biaya program pembinaan dan kesadaran hukum bagi masyarakat, terutama remaja yang belum menikah dan yang akan menikah di Kecamatan, tentang perlunya pencatatan perkawinan dan mendapatkan akta nikah dari pemerintah. Program ini dapat dilaksanakan oleh para penghulu dan P3N Kecamatan, serentak dengan pembinaan keluarga sakinah di perdesaan.
Keempat, Departemen Agama RI perlu mengkaji ulang beberapa pasal dan ayat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yang tidak sesuai lagi dengan perubahan jaman dan perkembangan teknologi dewasa ini. Perlu dipertimbangkan pasal-pasal baru yang tidak merugikan pihak perempuan, pasal yang mencantumkan sanksi dan hukuman yang berat bagi pasangan yang melakukan nikah sirri, termasuk mereka yang menyuruh atau yang memfasilitasi nikah sirri. Disamping itu, perlu penegasan dalam undang-undang, bahwa perkawinan yang sah itu adalah perkawinan yang terdaftar dan tercatat dengan KUA atau KCS dan dilaksanakan menurut agama atau kepercayaan yang dianutnya.
Jika cara-cara ini betul-betul di lakukan maka, angka pernikahan sirri bisa tertanggulangi. Meskipun tidak menutup kemungkinan masyarakat masih ada yang melakukan praktek pernikahan sirri namun, setidak-tidaknya bisa diminimalisir angka pernikahan sirri di masyarakat.



Daftar Pustaka
Departemen Agama, 2006. Membina Keluarga Sakinah. Jakarta : Dirjen Bimas Islam
Departemen Agama. 2001. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan Jakarta : Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji
Hosen, Ibrahim. Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan. (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2003)
Maksum,Ali K.H., Munawwir, Abidin, Zaenal, KH, Kamus Al-Munawwir. (Yogyakarta : Pustaka Progresif, 1997)
Nasution, Khoirudin, Status Wanita Di Asia Tenggara, (Jakarta : INIS, 2002)
PP No. 9 Tahun 1975
Sugiarti, Eni, Perkawinan Bawah Tangan di Lingkungan Kampus, Loka Karya Penelitian Sosial Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial The Toyota Fondation 1998)
Qardhawi-al Yusuf Zawaj al Misyar, Haqiqotuhu wa Hukmuhu. Kairo : MaktabWahbah 1999

Template by : Kendhin x-template.blogspot.com