ISLAM DAN DEMOKRASI (Telaah Pemikiran Husein Haikal)

A.Pendahuluan
Salah satu tema diskursus keislaman dan kemodernan dewasa ini adalah demokrasi. Ide ini dikenal dunia Islam utamanya lewat kolonialisme Barat yang ditandai dengan pendudukan Napoleon di mesir dan jalur pengiriman mahasiswa Muslim ke Eropa dan Amerika Serikat. Padahal jika dapat secara cepat memahami watak Islam yang sesungguhnya dalam hubungannya dengan demokrasi, dunia Islam lebih mendahului dunia Barat beberapa abad. Ini jelas terlihat dari beberapa prinsip-prinsip dasar yang di bawa Islam mengenai persamaan, kemerdekaan dan penghormatan terhadap sesama manusia telah dikukuhkan Islam pada tahap awal. Prinsip-prinsip inilah yang juga diusung menjadi prinsip-prinsip dasar demokrasi masa sekarang. Oleh karena itu, Islam kaitannya dengan demokrasi sangat viable, tidak antagonistik.
Namun dalam khazanah pemikiran Islam, demokrasi masih menjadi persoalan kontroversi. Paling tidak ada tiga aliran pemikiran. Yang menerima sepenuhnya, yang menolak, dan yang menyetujui prinsip-prinsipnya tetapi dipihak lain mengakui adanya perbedaan.1
Diakui ataupun tidak, demokrasi terus bertahan dan begitu digandrungi karena menghasilkan kebijakan yang bijak, suatu masyarakat yang adil, suatu masyarakat yang bebas, keputusan yang memajukan kepentingan rakyat atau manfaat bersama, menghargai hak-hak individu-di mana individu-individu diposisikan sebagai hakim bagi kepentingannya sendiri, memajukan pengetahuan dan kegiatan intelektual. Demokrasi bahkan mempunyai efek menyatukan masyarakat.2
Tampaknya sebagai salah satu pemikir kontemporer, Husein Haikal bisa dikatakan merupakan salah satu representasi sarjana yang menyuarakan dan menghidupkan semangat demokrasi pada masanya. Dengan model aliran pemikiran yang berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan.

B.Biografi Intelektual Muhammad Husain Haikal.
1.Riwayat Hidup Muhammad Husein Haikal
Muhammad Husein Haikal dilahirkan pada 30 Agustus 1888 di desa Kafr Ghanam, wilayah distrik Sinbillawain, propinsi Daqahlia yang terletak di Delta Nil, sekitar 140 km dari Kairo, ibu kota Mesir. Tahun kelahiran Haikal bersamaan dengan tahun kelahiran ‘Ali ‘Abd al-Raziq (1888-1966) dan Abu al-Kalam Azad, tokoh nasionalis India (1888-1958). Ketika itu Mesir diperintah oleh Khadewi Tawfiq (1879-1892), salah seorang keturunan Muhammad ‘Ali (1805-1848) dari Turki.
Haikal berasal dari keluarga bangsawan yang berada, terpandang, dan berpengaruh di desanya. Ia adalah anak tertua dari Husain Efendi salim, seorang petani terampil dan dan berpikiran maju. Kakeknya Salim Haikal adalah seorang kepala negeri (Syaykh al-Balad). Diantara saudara-saudaranya dia adalah yang paling tua. Karena itu, dia mengelola semua hak milik dan kekayaan keluarga besar tersebut.
Pendidikan Haikal di mulai di sebuah kuttab (semacam pendidikan dasar untuk mengaji dan menghafal al-Qur’an bagi anak-anak) yang dipimpin oleh Syaykh Ibrahim Jad. Haikal berhasil menghafal hampir sepertiga dari isi al-Qur’an pada waktu tamat dari kuttab tersebut. Sejak kecil dia sudah menunjukkan penghargaannya yang besar terhadap pentingnya waktu. Kalau anak desa-anak desa lainnya menggunakan masa libur dikampung untuk bermain-main pergi ke ladang, Haikal lebih suka menghabiskan waktunya untuk membaca.
Dalam usianya yang masih tujuh tahun ia dikirm ke Kairo. Disana ia tinggal bersama pamannya yang mengajar di al-Azhar. Di Kairo, Haikal masuk sekolah dasar milik pemerintah yang terletak di distrik al-Jamaliyah dan selesai pada 1901. Kemudian, untuk pendidikan Sekolah Menengah, Haikal pindah ke sekolah al-Khedewiyah dan lulus pada 1905. Di sekolah ini semua mata pelajaran, kecuali pelajaran Bahasa dan Sastra Arab, disajikan dengan pengantar bahasa Inggris. Haikal amat menggandrungi pelajaran Sastra Arab, baik yang klasik maupun modern.
Selama tahun 1903-1905, Haikal mengisi masa liburannya dengan menerbitkan semacam brosur yang diberi nama al-Fadlilah yang di dalamnya dimuat tulisan-tulisan yang berkaitan dengan masalah kesehatan rakyat dan peningkatan pendidikan.
Haikal bermaksud melanjutkan studinya ke Fakultas Tekhnik di Inggris. Ada juga riwayat yang mengatakan ia ingin melanjutkan ke Fakultas Kedokteran. Tetapi, menjelang berangkat kakeknya, Salim Haikal, meninggal dunia dan diantara yang datang melayat adalah Ahmad Luthfi al-Sayyid (1871-1963),3 tokoh pembaru Mesir, yang juga salah seorang kerabat dan kawan dekat ayahnya. Ketika itulah Luthfi al-Sayyid menyarankan agar Haikal melanjutkan studinya ke Fakultas Hukum di Kairo dengan janji bahwa setelah lulus dari Sekolah Tinggi Hukum nanti ia akan membantu mengirimnya ke luar negeri untuk mengambil gelar doktor. Dari sinilah Luthfi al-Sayyid mulai ikut mengarahkan masa depan Haikal.
Mengikuti saran Luthfi al-Sayyid, Haikal melanjutkan studinya di Sekolah Tinggi Hukum Kairo pada 1905. Di masa inilah Haikal mulai mempelajari buku-buku yang ditulis oleh para tokoh pembaharu dalam Islam. Ia membaca buku al-Radd ‘ala al Dahriyin karangan Jamal al-Din al-Afghani (1838-1897), al-Islam wa al-Nashraniyah karya Muhammad ‘Abduh (1845-1905), Tarikh al-Syaykh Muhammad ‘Abduh karya Muhammad Rasyid Ridla (1865-1935), dan dua buku yang ditulis Qasim Amin (1865-1908) masing-masing berjudul Tahrir al-Mar’ah dan al-Mar’ah al-Jadidah. Setelah membaca buku-buku tersebut, Haikal mulai menyadari pentingnya kebebasan berpikir dan perlunya ijtihad.
Haikal meraih gelar licence dalam bidang hukum pada 1909. Seterusnya ia dikirim ke Paris untuk mengikuti pendidikan pascasarjana Sorbonne. Selama belajar di Paris, Haikal aktif di al-Jami’iyah al-Mishriyah (Organisasi Pemuda Mesir) dan di al-Jami’iyah al-Islamiyah (Organisasi Pemuda Islam).
Pada 1912, ia meraih gelar doktor dalam ilmu hukum. Ia merupakan putra pertama Mesir yang menyandang gelar kesarjanaan seperti itu. Kehidupan Haikal selanjutnya dapat dibagi dalam tiga fase. Pertama, sebagai pengacara dan ini berlangsung selama kurang lebih 10 tahun, yaitu antara 1912 dan 1922. Kedua, sebagai wartawan dan anggota partai. Fase ini berlangsung sekitar 15 tahun (1922-1937). Ketiga, sebagai politisi sekaligus sebagai pejabat dalam pemerintahan. Fase ini juga berjalan sekitar 15 tahun (1937-1952).4
Dalam tulisan-tulisannya, Haikal sangat dipengaruhi oleh pemikiran pembaru dalam Islam, terutama al-Afghani dan Abduh, di samping pengaruh pemikir-pemikir Barat, seperti Jean-Jacques Rousseau dan Auguste Comte, khususnya mengenai pentingnya kebebasan manusia dan keadilan sosial. Artikel pertama Haikal yang dimuat dalam al-Jaridah adalah tentang kebebasan wanita. Ketika itu masyarakat Mesir sedang ramai membicarakan buku Qasim Amin yang isinya membela kebebasan kaum wanita, dan tampaknya Haikal menyokong pendapat Qasim Amin tersebut.5
Setelah Revolusi Juli 1952 Haikal sama sekali mundur dari pentas politik, dan menghabiskan waktunya untuk membaca dan menulis sampai wafat dalam usia 68 tahun pada tanggal 8 Desember 1956, dengan meninggalkan nama harum sebagai pujangga Islam yang berbobot, pelopor pembharuan berpikir yang berani, dan negarawan yang bersih.6


2.Latar Belakang Pemikiran Husein Haikal
Ada asumsi bahwa setiap pemikir merupakan produk zamannya. Artinya, gagasan-gagasan yang dikemukakan oleh seorang pemikir pada dasarnya adalah hasil interaksi antara si pemikir dan lingkungan sosio-historis yang mengitarinya. Berdasarkan asumsi tersebut, dalam rangka menguak gagasan-gagasan dan pemikiran Husein Haikal penulis mencoba memaparkan sedikit gambaran mengenai lingkungan sosio-historis yang melingkupi kehidupan Husein Haikal.
Jika mengacu pada kondisi Sosio Kultural Mesir, meskipun Mesir bukan tempat lahirnya agama-agama besar dunia, pengaruhnya terhadap sebagian besar agama-agama tersebut sangatlah nyata. Hal ini, antara lain disebabkan oleh kedudukan khusus Mesir dalam kaitannya dengan tempat asal agama-agama tersebut, dan kedudukan peradaban Mesir sebagai salah satu peradaban umat manusia yang tertua.
Abad modern Mesir dimulai dengan pemerintahan Muhammad ‘Ali (memerintah tahun 1805-1848) panglima tentara yang dikirim oleh Sultan Turki. Haikal sendiri dilahirkan pada tahun 1888, yaitu enam tahun setelah pendudukan Inggris atas Mesir (1882).7 Dimana pada tahun-tahun ini diperintah oleh raja-raja yang berkuasa secara absolut. Tanah dan sumber-sumber hidup lainnya dimiliki oleh raja dan golongan bangsawan yang dekat dengan raja.8
Secara umum kondisi sosial bangsa Mesir di masa itu, sebagaimana digambarkan Haikal, amat memprihatinkan. Penduduk, terutama yang bermukim di pedesaan hidup dalam belenggu kemiskinan dan keterbelakangan. Kemudian dari segi pendidikan kondisi Masyarakat Mesir pada waktu itu sangat memprihatinkan. Kondisi ini tergambar pada data Tahun 1905 yang menunjukkan tingkat buta huruf penduduk Mesir yang yang mencapai angka 99,4 % bagi populasi penduduk wanita dan bagi populasi penduduk laki-laki sebanyak 91,2 %.
Kondisi sosio politik Mesir, dimana pemerintahan Mesir setelah Muhammad ‘Ali (1805-1848) sampai meletusnya “Revolusi Juli” pada 1952 banyak dipengaruhi oleh Inggris melalui kebijakan moneternya.
Intervensi Inggris dalam urusan pemerintahan Mesir, khususnya dalam bidang politik, semakin menguat setelah pemberontakan ‘Urabi Pasya. Sampai pada 1935 Mesir berada di bawah pengawasan Konsul Inggris (British Proconsular Rule). Lalu mulai tahun 1936 sampai 1952 Mesir telah memiliki kemerdekaan terbatas sebagai hasil perjanjian Inggris-Mesir.
Kemudian mengenai kondisi intelektual Mesir pada abad ke-20, menurut Ibrahim Abu Rabi’ dapat dipolakan ke dalam tiga kecenderungan pemikiran. Pertama, The rational scientific and liberal trend (Kecenderungan rasional ilmiah dan pemikiran bebas). Tokoh-tokoh yang paling menonjol di dalam aliran ini, antara lain Ahmad Luthfi al-Sayyid, ‘Ali ‘Abd al-Raziq (1888-1966), dan Thaha Husayn. Kedua, The Islamic Trend ( Kecenderungan pada Islam). Tokoh-tokoh yang dipandang mewakili aliran ini antara lain, Rasyid Ridla dan Hasan al-Banna. Ketiga, The Synthetic Trend (Kecenderungan melakukan sintesa). Tokoh-tokoh utama aliran ini antara lain, Muhammad Abduh dan Qasim Amin.9
Berbeda dengan kategorisasi Ibrahim Abu Rabi’ di atas, Hasan al-Syafi’I melihat ada empat aliran pemikiran yang muncul di Mesir pada abad ke-20 ini, yaitu Faraonisme, Mediteraneanisme, Arabisme, dan Islam. Berdasarkan empat pola pemikiran tersebut, Hasan al-Syafi’i memasukkan Haykal dalam golongan pemikir Faraonis.10

C.Pemikiran Politik Husein Haikal
Husein Haikal termasuk dalam paham kelompok yang berpendapat bahwa Islam tidak menentukan sistem dan bentuk pemerintahan yang harus diikuti oleh Umat.11 Kalaupun ingin mengetahui sistem pemerintahan Islam, menurut Haikal kita harus kembali kepada prinsip-prinsip utama yang telah ditetapkan dan yang dijadikan sebagai landasan kehidupan manusia. Manakala kita sudah mengetahui dan mencamkan prinsip-prinsip tersebut, tidak ada lagi keraguan bahwa sesungguhnya Islam dan demokrasi sinkron dalam semua hal yang esensial. Kita juga tidak meragukan bahwa sesungguhnya sistem mana saja yang tidak mengakui kebebasan individu, solidaritas sosial, dan pengambilan keputusan berdasrkan suara mayoritas adalah tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Singkatnya, setiap sistem yang tidak berdiri di atas prinsip-prinsip demokrasi adalah tidak sesuai dengan kaidah-kaidah utama yang ditetapkan dan diserukan oleh Islam.12
Haikal sendiri menyatakan sistem pemerintahan yang berdasarkan permusyawaratan13 model Islam harus dapat mewujudkan kebebasan, persaudaraan dan persamaan bagi manusia- sebanding atau bahkan melebihi dari yang dapat diberikan oleh sistem-sistem demokrasi dalam pengertian sekarang.
1.Prinsip-prinsip Negara Islam Demokrasi
a)Prinsip persaudaraan
Dalam menetapkan prinsip ini, wawasan Islam luas sekali. Islam tidak memasang rintangan dan batasan apapun. Persaudaraan dalam Islam tidak hanya merupakan pemanis bibir atau sekadar basa-basi, melainkan suatu prinsip yang sangat esensial. Persaudaraan Islam juga suatu akidah yang harus ditumbuhkan dalam jiwa setiap muslim dan tercermin dalam tindakan manusia. Atau, kalau tidak, ia akan menjadi orang yang lemah imannya.14
Sebenarnyalah, selama ini arti solidaritas manusia yang kita semua dambakan dan kita kampanyekan dengan sungguh-sungguh, sampai beberapa hal berikut ini terwujud. Yaitu, persaudaraan di antara sesama manusia dan di antara bangsa-bangsa. Sampai setiap individu dan setiap bangsa benar-benar menyadari bahwa sesungguhnya kewajiban persaudaraan menuntut seseorang merasa bahagia melihat saudaranya mendapat kebahagiaan yang sama seperti apa yang ia rasakan.
b)Persamaan Dalam Islam
Adapun persamaan dalam Islam merupakan contoh yang tertinggi yang patut diteladani. Bagi Islam, persamaan tidak hanya sebatas yang ditetapkan undang-undang, tetapi lebih dari itu juga mencakup persamaan di hadapan Allah. Persamaan Islam sama sekali tidak memperhitungkan keterpautan rezeki, keterpautan ilmu, dan berbagai keterpautan lain yang bersifat duniawi.15
Apabila kepercayaan terhadap konser persamaan di depan undang-undang adalah salah satu sendi demokrasi, apalagi kepercayaan terhadap konsep persamaan di hadapan Allah. Allah adalah sumber setiap hukum dan segala sesuatu, kekuatan satu-satunya yang menciptakan dan mengatur alam.
c)Kebebasan, Prinsip Islam Yang Termulia
Dewasa ini, kebebasan bisa berarti mempunyai hak dan boleh menggunakan sekehendak anda,16 asal Anda tidak merugikan dan tidak mengganggu kebebasan orang lain. Dalam kenyataannya, Islam memang memberikan kebebasan penuh kepada manusia, kecuali, tentu dalam hal-hal yang dikenai sanksi dan syara’nya.
Hanya saja, menurut Haikal bentuk kebebasan yang tersurat dan tersirat dalam semboyan Revolusi Perancis adalah yang terpenting, kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat. Orang mungkin tidak percaya bahwa kebebasan ini juga telah ditetapkan dalam ajaran Islam, justru dalam bentuk dan makna yang lebih luas. Secara historis kebebasan ini lebih banyak dipraktekkan dalam dunia Islam pada zaman klasik dan pertengahan. Pada masa-masa itu, tulis Haikal tidak dikenal adanya batasan bagi kebebasan berpikir, selama kebebasan berpikir itu tetap berada dalam jalur benar.17 Kita lihat misalnya bagaimana di kalangan kaum muslimin Ahli Sunnah terdiri dari empat madzhab. Seluruh kaum Muslimin menghormati keempat madzhab tersebut, kendati di antara mereka ada perbedaan dalam berpikir dan berpendapat. Madzhab-madzhab ini ditetapkan oleh para imam yang diakui kelebihannya oleh segenap kaum musllimin, dalam tingkat keimanan dan kedudukan mereka yang tinggi.
Dengan bahan-bahan diatas tersebut menjadi bukti bahwa gagasan demokrasi juga terkandung dalam ajaran Islam, bahkan dengan bentuk yang lebih sempurna. Sedang prinsip persaudaraan, persamaan dan kebebasan adalah sangat esensial dalam Islam, sebagaimana dalam paham demokrasi.
2.Implementasi Prinsip-Prinsip Negara Islam Demokrasi
a)Tasyri’ (Perbuatan Undang-undang) dan Hukum
Kebebasan, persaudaraan dan persamaan yang merupakan semboyan demokrasi dewasa ini juga termasuk di antara prinsip-prinsip utama Islam. Prinsip-prinsip itulah yang menjadi dasar terciptanya solidaritas sosial dan bagi tegaknya sistem pemerintahan demokrasi atau pemerintahan Islam.
Prinsip-prinsip ini secara nyata menuntut suatu bangsa melakukan pengambilan keputusan melalui suatu lembaga perwakilan yang benar, perdebatan yang bebas dan menerima prinsip suara mayoritas. Dalam hal pengambilan keputusan ini gejala pertama yang tampak adalah tentang masalah tasyri’ (legislation) dan masalah hukum. Karenanya, seseorang, betapa tinggi kedudukannya, tidak berhak menetapkan sesuatu keputusan secara paksa. Atau menetapkan undang-undang suatu Negara yang tidak dikehendaki oleh kehendaknya yang bebas.18
Hakim yang adil di Negara Islam selalu memiliki kekuasaan dan tidak memihak, seperti yang juga dimiliki oleh hakim adil di semua Negara demokrasi. Tak seorangpun dapat menguasai atau mendikte hakim semacam ini, yang kekuasaannya menjangkau seluruh masyarakat. Dan selama masyarakat dapat menerima keadilannya, sang hakim dibenarkan melakukan ijtihad kalau memang menemukan caranya.
b)Islam, dan Bentuk-bentuk Pemerintahan Demokrasi
Haikal menyatakan secara jelas, bahwa ada sementara orang yang mencoba menggambarkan Islam dengan cara yang berbeda. Dan untuk menopang pendapatnya, ia mengatakan bahwa sesungguhnya tasyri’ dan hukum Islam sangat terikat oleh al-Qur’an. Dan itu, katanya, merupakan kendala bagi perkembangan yang amat tidak disukai oleh sistem demokrasi.
Sebenarnya menurut Haikal apabila kita menyimak kembali pemerintahan islam dari era-era permulaan, tepatnya dari 1.400 tahun lebih yang lalu, kita akan menemukan bahwa prinsip utama demokrasi sebenarnya prinsip milik Islam. Boleh jadi bentuk sistem pemerintahannya berbeda dengan yang kita kenal sekarang, namun dan tujuan dan prinsipnya tetap sama.
Kalau menengok kembali peristiwa pembai’atan Abu Bakar, Umar dan Utsman kita akan menemukan secara gamblang maknanya yang hakiki. Dimana para khalifah hanya memiliki kekuasaan eksekutif, sebagaimana dalam sistem demokrasi. Boleh jadi kekuasaan eksekutif itu tidak memiliki lembaga pengawasa, yang memungkinkan mereka bertindak sebagai dictator tanpa harus mempertanggung jawabkannya kepada siapa pun. Atau harus mempertanggungjawabkannya, mereka diawasi oleh sebuah lembaga pengawasan seperti fungsi parlemen seperti di Negara-negara Eropa, atau lembaga legislative seperti di Amerika. Jika tindak-tanduk khalifah diawasi, apapun bentuknya, tak perlu diragukan lagi bahwa pemerintahan Islam itu juga menerapkan sistem demokrasi. Meskipun bentuknya tidak sama seperti yang kita kenal sekarang, namun prinsip dan dasarnya sungguh ideal.19
c)Masa Jabatan Pemimpin Islam
Masa-masa pertama masa jabatan seorang pemimpin Islam tidak dibatasi seperti yang berlaku pada pemimpin republik sekarang. Yang jelas pemikiran kea rah itu belum dirasakan penting oleh orang-orang Islam terdahulu, lantaran adanya pertimbangan yang cukup penting. Kemudian mengenai kehidupan Internasional yang jelas, Islam tidak melalaikan hubungan dengan dunia internasional, yang telah dikenalnya sejak awal pertumbuhannya. Hubungan internasional ini dikenal ratusan bahkan ribuan tahun sebelum Islam. Akan tetapi yang mengherankan sementara orang adalah seruan Islam menjalin hubungan dan kerjasama internasional. Inilah kemudian diwujudkan oleh Negara-negara demokrasi pada tahun 1919.
Dalam kenyataannya, gagasan tersebut merupakan perwujudan makna demokrasi dalam kehidupan internasional. Dan yang dijadikan landasan ialah asas kebebasan, persaudaraan dan persamaan; persamaan antarbangsa, bangsa kecil dan bangsa besar.
Dengan cara itu, bangsa-bangsa bebas menyatakan pendapat terhadap setiap masalah yang dihadapi, mewujudkan saling membantu dan meningkatkan persaudaraan, demi terciptanya perdamaian menghindari perang.
Salah satu prinsip penting yang ditetapkan oleh Islam adalah menghormati perjanjian dan tidak merusaknya. Prinsip ini sangat esensial dalam kehidupan internasional Islam. Begitu pentingnya, sampai kaum muslim terdahulu rela berkorban besar demi menghormati perjanjian.20
Bagaimana Islam dan demokrasi bertemu dalam segala hal yang mendasar. Dalam pembahasan terdahulu sudah ditegaskan, bahwa keduanya bertemu dalam prinsip-prinsip umum. Juga dalam asas legislative (tasyri’) dan hukum, dalam sistem pemerintahan, serta dalam aturan tentang hubungan internasional.

D.Penutup
1.Kesimpulan
Husein Haikal termasuk dalam paham kelompok yang berpendapat bahwa Islam tidak menentukan sistem dan bentuk pemerintahan yang harus diikuti oleh Umat. Haikal juga berpendapat bahwa sistem pemerintahan yang berdasarkan permusyawaratan model Islam harus dapat mewujudkan kebebasan, persaudaraan dan persamaan bagi manusia- sebanding atau bahkan melebihi dari yang dapat diberikan oleh sistem-sistem demokrasi dalam pengertian sekarang.
Sedangkan prinsip-prinsip negara demokrasi Islam menurut Haikal adalah prinsip persaudaraan yaitu persaudaraan di antara sesama manusia dan di antara bangsa-bangsa. Prinsip persamaan dalam Islam, persamaan ini tidak hanya sebatas yang ditetapkan undang-undang, tetapi lebih dari itu juga mencakup persamaan di hadapan Allah. Dan yang terakhir prinsip kebebasan yang merupakan prinsip Islam yang termulia.

























DAFTAR PUSTAKA

A.Khudori Soleh (ed), Pemikiran Islam Kontemporer, cet.1 Yogyakarta: Jendela, 2003.

Abad Badruzzaman, Kiri Islam Hassan Hanafi: Menggugat Kemapanan Agama dan Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005.

Ahmad Hasan Ridwan, Pemikiran Hassan Hanafi: Studi Gagasan Reaktualisasi Tradisi Keilmuan Islam, Yogyakarta: Tesis UIN SuKa, tidak diterbitkan, 1997.

Eko Prasetyo, Islam Kiri: Jalan Menuju Revolusi Sosial, Yogyakarta: INSIST Press, 2003.

Hassan Hanafi, Aku Bagian dari Fundamentalisme Islam, alih bahasa Kamran As’ad. I. dan Mufliha. W. Yogyakarta: Islamika, 2003.

-----------------, Cakrawala Baru Peradaban Global, alih bahasa M. Saiful, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.

-----------------, Dari Akidah ke Revolusi: Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama, alih bahasa Asep Usman dkk, Jakarta: Paramadina, 2003.

-----------------, Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, alih bahasa M. Najib B. Jakarta: Paramadina, 2000.

-----------------, Turas dan Tajdid, alih bahasa Yudian W. Asmin, Yogyakarta: Titian Ilahi Press Kerja sama Pesantren Pasca Sarjana Bismillah Press, 2001.

Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi, cet. 1, Jakarta: Teraju, 2002.

John L. Esposito, Ensiklopedi Islam, alih bahasa Eva Y. N dkk, Bandung: Mizan, 2001.

Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan Posmodernisme: Telaah kritis Pemikiran Hassan Hanafi, alih bahasa M.Imam Aziz, Yogyakarta: LKiS, 2001.

Musdah Mulia, Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal, Jakarta: Paramadina, 2001.

Template by : Kendhin x-template.blogspot.com